Film horor yang baik tidak sekadar menakutkan, melainkan juga mampu menstimulus alam pikir dan menghibur. Entah itu dengan membuat penonton tercenung, tertawa, hingga tercekam. Film ”Us” mampu menjaga nalar film horor itu.
Tahun 2017 lalu, publik film dunia, terutama Amerika, terperangah oleh film Get Out, debut film horor garapan Jordan Peele. Meskipun tidak berhasil membawa piala Oscar, film ini setidaknya mendapatkan tiga nominasi dan mengantongi 245,4 juta dollar AS, jauh melampaui film-film box office 2017 lainnya, seperti Wind River yang mengandalkan pesona Jeremy Renner atau American Made yang dibintangi Tom Cruise.
Dalam menampilkan pesona film Get Out, Jordan Peele antara lain berhasil memadukan horor psikologis dan humor. Selain itu, dia juga telaten menyuguhkan premis demi premis untuk membangun logika cerita. Dengan demikian, meskipun logika film tidak sebangun dengan logika umum, cerita di dalamnya tetap masuk akal.
Formulasi itu masih dia pegang dan terapkan saat membangun film Us. Film ini berkisah tentang keluarga yang tengah berlibur, tetapi malah diburu sekelompok orang yang menyerupai mereka. Upaya menyelamatkan diri itu menjadi pintu masuk beragam pesan, kengerian, juga kelucuan.
Film ini dapat dimasukkan dalam kategori horor psikologis (psychological horror) sekaligus horor suasana (atmospheric horror). Peele dengan telaten menyusun premis demi premis untuk membangun logika yang mandiri dalam film ini. Untuk menguatkan logika itu, dia menggunakan simbol-simbol yang secara awam mudah dikenali, seperti kode angka 11:11, mirip dengan Jeremiah 11:11.
Itu juga menyimbolkan cermin atau refleksi. Ini cocok jika mengacu pada konsep Doppelgänger, yang memercayai bahwa setiap orang memiliki sosok kembar meski tanpa hubungan darah. Logika inilah yang menjadi tulang punggung cerita film Us bahwa setiap kita pasti mempunyai kembaran.
Tentu menjadi menyeramkan ketika kembaran kita itu tidak menyukai kita, dan malah memburu untuk membunuh kita.
Peele layak dipuji karena dia setia untuk tidak tergoda menggunakan jump scare (efek ngaget-ngagetin dengan visual ataupun suara). Banyak film horor, terutama buatan sineas Indonesia, yang mudah sekali terperosok menggunakan jump scare, hanya untuk menimbulkan efek takut pada penonton.
Peele menata detail dan plot dengan amat hati-hati sehingga tidak memunculkan banyak pertanyaan. Dengan kata lain, penonton pun sebaiknya memperhatikan setiap detail yang menjadi petunjuk keutuhan cerita.
Kadang kala, Peele seolah memuluskan dugaan-dugaan penonton terhadap adegan yang akan terjadi berikutnya sehingga ada rasa plong ketika dugaan itu sesuai. Tetapi, dalam banyak adegan, Peele memelintirnya (plot twist). Nah, pada titik inilah sensasi film horor ini menemukan pesonanya.
Namun, Peele tetaplah Peele yang sebelumnya terkenal sebagai komedian. Keahlian melucu itu dia selipkan secara cantik dan halus dalam beberapa adegan. Dengan cara itu, film ini tidak hanya mampu memacu jantung, tetapi juga sekaligus mengendurkannya lewat sensasi tawa. Mencekam sekaligus lucu.
Cara pandang
Di balik itu, Peele menjadikan film Us sebagai pernyataan politik. Dalam film sebelumnya, Get Out, Peele memberikan gambaran tentang cara pandang diskriminatif atau rasis kulit putih terhadap kulit hitam. Metafora itu dengan gamblang dapat dibaca.
Dalam film Us, Peele seolah menegaskan tentang ketakutan kita sebagai manusia modern terhadap orang lain. Sebab, dalam suasana hidup sangat kompetitif ini, semua orang bisa jadi musuh yang akan menggeser posisi kita dalam pekerjaan atau merebut pasangan hidup kita. Orang yang kita anggap baik suatu saat dapat berubah menjadi monster yang menjungkirbalikkan hidup.
Lewat tokoh Adelaide Thomas yang diperankan Lupita Nyong’o, Peele secara cerdas mengajak kita berefleksi. Siapa sesungguhnya yang jadi monster. Apakah benar orang-orang di sekeliling kita. Jangan-jangan kitalah monster itu.
Lewat tokoh yang sama, juga dapat ditafsirkan bahwa orang baik dapat berubah menjadi jahat bergantung pada pengalaman dan motivasi hidupnya. Begitu sebaliknya, orang yang semula jahat dapat berubah menjadi penyayang dan pelindung bagi orang-orang yang dia cintai.
Pada lapisan lain, film ini seolah mengajak kaum mapan untuk mempersempit kesenjangan dengan kaum papa. Sebab, kesenjangan menjadi bahan bakar yang efektif memicu konflik sosial. Ketika kelompok mapan menikmati segala kemewahan hidup, pada saat yang sama terdapat kelompok lain yang bersusah payah untuk sekadar dapat mengunyah selapis roti atau sesuap nasi.
Awal Februari lalu, majalah Time melansir infografik yang memprediksi jumlah penduduk dunia akan mencapai 8,6 miliar pada tahun 2030. Ironisnya, sebanyak 47 persen kekayaan di kolong langit ini dikuasai oleh hanya 1 persen penduduk bumi. Terbayang betapa kesenjangan itu menganga sedemikian lebarnya.
Kelompok yang selalu sengsara karena jauh dari kemewahan hidup ini bisa saja mengamuk sewaktu-waktu jika tidak diajak berinteraksi dengan baik. Dimanusiakan. Diberi kesempatan untuk menaikkan taraf hidupnya sembari mengurangi keserakahan pemilik modal. Jika tidak, Anda dapat menilai sendiri sebenarnya siapa yang menjadi monster.
Dengan menggunakan tafsir itu, film Us mengajak kita untuk menjaga kemanusiaan sekaligus kesehatan bernalar. Dari plotnya pun, film ini dapat menjadi acuan nalar sehat dalam menyuguhkan film horor.