Perbaikan Layanan untuk Warga Perbatasan Harus Menjadi Perhatian
›
Perbaikan Layanan untuk Warga ...
Iklan
Perbaikan Layanan untuk Warga Perbatasan Harus Menjadi Perhatian
Perbaikan pelayanan kesehatan bagi warga di daerah perbatasan, khususnya di Maluku, harus segera menjadi perhatian pemerintah.
Oleh
FRANSIKUS PATI HERIN
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS - Bantuan Pemerintah Timor Leste, yang berulang kali menyediakan angkutan pesawat serta pelayanan rumah sakit gratis bagi para pasien asal Pulau Lirang, Maluku, menjadi pukulan telak bagi Pemerintah Indonesia. Perbaikan pelayanan kesehatan bagi warga di daerah perbatasan itu harus segera menjadi perhatian pemerintah.
Hal itu dikemukakan anggota DPRD Provinsi Maluku Anos Yeremias kepada Kompas di Ambon, Rabu (3/4/2019). Amos mengungkapkan itu saat dimintai komentar ihwal pelayanan kesehatan di pulau yang masuk dalam Kabupaten Maluku Barat Daya tersebut. "Masa, itu warga negara kita, tapi mereka harus diurus negara lain. Malu kita," ujarnya
Pulau Lirang berada di perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Anggota Fraksi Partai Golkar yang mewakili Kabupaten Maluku Barat Daya dan Kepulauan Tanimbar itu mengakui telah mengetahui buruknya pelayanan kesehatan di daerah tersebut.
Ia pun berjanji segera berkoordinasi lagi dengan pemerintah kabupaten setempat untuk mendorong agar dicarikan solusi. Pemerintah kabupaten dianggap lebih memahami kondisi di sana. Dalam waktu dekat, dirinya akan melakukan kunjungan kerja ke sana.
Waktu itu air ketuban sudah pecah. Adrasina dibawa untuk menjalani proses melahirkan ke Dili, Timor Leste, pada Sabtu (30/3).
Selama bertahun-tahun, warga Pulau Lirang menggantungkan urusan kesehatan mereka pada Timor Leste. Pada pekan lalu, Adrasina Nusamara (30), ibu hamil asal pulau itu, mengalami kesulitan saat hendak melahirkan. Keluarga membawanya ke puskesmas terdekat, tapi tidak ada dokter dan fasilitas yang memadai.
”Waktu itu air ketuban sudah pecah. Adrasina dibawa untuk menjalani proses melahirkan ke Dili, Timor Leste, pada Sabtu (30/3). Beruntung, prosesnya berhasil. Kini, bersama bayinya, dia masih berada di Timor Leste,” kata Royke Ang (61), tokoh masyarakat Pulau Lirang. Royke menceritakan kisah itu melalui sambungan telepon seluler pada Rabu (3/4) siang.
Royke menuturkan, sebelum ke Dili, Adrasina dibawa menggunakan perahu cepat ke Pulau Atauro, salah satu pulau yang masuk wilayah Timor Leste. Waktu tempuh dari Lirang ke Atauro adalah 1 jam. Tiba di Atauro, Adrasina sempat dirawat di pusat pelayanan kesehatan setempat, tapi fasilitasnya juga belum memadai sehingga otoritas sempat menghubungi pihak berwenang di Dili.
Satu jam kemudian, pesawat Cessna Caravan milik maskapai Mission Aviation Fellowship (MAF) Timor Leste datang menjemput Adrasina bersama keluarganya. Tiba di Dili, mereka dijemput ambulans kemudian dibawa ke rumah sakit. Dokter memutuskan untuk melakukan operasi. Adrasina dan bayinya pun selamat. Diperkirakan pekan depan, setelah kondisi ibunya mulai membaik, mereka baru diizinkan pulang ke Lirang.
Semua pelayanan itu, baik angkutan transportasi pesawat serta pelayanan di rumah sakit, diberikan secara cuma-cuma kepada pasien. Syaratnya, pasien dan keluarga harus membawa surat keterangan dari kepala desa setempat yang menerangkan bahwa mereka merupakan warga Pulau Lirang. ”Kalau tidak ada pesawat, mungkin pasien dan bayinya tidak akan selamat. Terima kasih, Timor Leste,” ujar Royke.
Kompas pernah datang ke sana pada April 2016. Kondisi layanan kesehatan saat itu tidak beda jauh dengan sekarang. Dalam hal kesehatan, warga Lirang sangat bergantung pada Timor Leste. Banyak dari mereka yang berobat ke sana. Banyak pasien gawat darurat meninggal, baik ketika di Dili maupun dalam perjalanan dari Lirang ke Dili. Tahun 2013, seorang warga meninggal, kemudian 1 orang pada 2014, 2 orang pada 2015, dan 1 orang pada 2016.
Henrique Marques (31), biarawan Katolik yang juga kepala di salah satu sekolah kejuruan di Dili, lewat pesan singkat, mengatakan, masyarakat Timor Leste menganggap warga di Pulau Lirang dan sekitarnya adalah bagian dari keluarga dan sahabat mereka. Mereka memiliki irisan kultur yang tidak jauh berbeda. Banyak warga di dua daerah itu memiliki hubungan darah.
"Hal ini sudah terjadi saat bersama Indonesia, yang mana Timor Leste menjadi provinsi ke-27 saat itu. Hubungan itu terjaga dan berkembang hingga saat ini. Torang semua basudara (kita semua bersaudara)," katanya.
Pesan itu disampaikan Henrique setelah membaca cerita tentang Adrasina di laman ini beberapa jam yang lalu.
Stenly Ruff (42), kakak dari suami Adrasina, berharap pemerintah daerah hingga pusat segera mencari solusi terkait pelayanan kesehatan di wilayah perbatasan, termasuk Lirang. "Kami sudah sering sampaikan hal ini. Rasanya sudah bosan," ujarnya.