Pemerintah tetap kukuh membangun tanggul laut untuk mencegah pasang laut dan tsunami di Teluk Palu, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Tanggul laut dinilai opsi terbaik melindungi pesisir, termasuk dari terjangan tsunami. Namun, sejumlah kalangan menolak rencana yang dinilai tak berbasis mitigasi itu.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
PALU, KOMPAS - Pemerintah tetap kukuh membangun tanggul laut untuk mencegah pasang laut dan tsunami di Teluk Palu, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Tanggul laut dinilai opsi terbaik melindungi pesisir, termasuk dari terjangan tsunami. Namun, sejumlah kalangan menolak rencana yang dinilai tak berbasis mitigasi itu.
Dalam rencana rekonstruksi pascagempa Sulteng, tanggul laut dibangun sepanjang 7 kilometer di pesisir Teluk Palu, tepatnya dari Kelurahan Silae hingga Kelurahan Talise. Tingginya bervariasi, 1,5 -3 meter. Tanggul tersebut dibangun dari batu. Belum bisa dipastikan kapan tanggul itu dibangun, tetapi diperkirakan dimulai 2019 ini.
Di belakang tanggul nanti ditanam pepohonan sebagai ruang terbuka hijau. Infrastruktur itu dikombinasi dengan jalan raya untuk logistik dan wisata teluk. Lebar jalan sekitar 7 meter dengan konstruksi agak tinggi. Jalan itu juga masih berfungsi sebagai semacam “tanggul” kedua untuk meredam energi tsunami jika suatu saat petaka itu terjadi.
Pada tsunami 28 September 2018, wilayah pesisir Teluk Palu luluh lantak. Jangkauan tsunami ke darat dari 50 hingga 200 meter. Mengacu pada kejadian itu, titik terjauh jangkauan tsunami ditetapkan sebagai zona terlarang untuk pembangunan rumah atau pun bangunan komersial. Saat ini, begitu pasang air laut menjangkau darat hingga 100 meter.
“Tanggul berfungsi sebagai pelindung tebing teluk yang mengalami penurunan. Kami menata pesisir agar wilayah itu tetap bermanfaat baik secara sosial maupun ekonomi,” kata Kepala Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Sulteng Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Arie Setiadi Moerwanto di Palu, Sulteng, Kamis (4/4/2019).
Tanggul berfungsi sebagai pelindung tebing teluk yang mengalami penurunan. Kami menata pesisir agar wilayah itu tetap bermanfaat baik secara sosial maupun ekonomi,
Saat ditanya mengapa tak memilih mangrove sebagai solusi untuk meredam tsunami, Arie menyatakan kondisi pesisir Teluk Palu tak memungkinkan ditanami mangrove. Karena gempa dan tsunami lalu, pinggir pantai teluk langsung dalam. Penanaman mangrove tak bisa dilakukan karena mangrove tumbuh di titik pasang-surut dengan kondisi tanah berlumpur. “Tsunami tetap akan melampau tanggul dan jalan yang dibangun, tetapi energinya bisa diredam,” katanya sambil menyebutkan rancangan pembangunan di pesisir Teluk Palu turut melibatkan ahli dari Belanda.
Neni merujuk hutan mangrove di Kelurahan Kabonga Besar, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala. Saat tsunami lalu, rumah-rumah warga yang ditutup mangrove tak alami kerusakan. Di RW 002, misalnya, ada rumah warga yang berjarak hanya 5 meter dari bibir pantai. Karena mangrove tebal, rumah itu tak alami kehancuran. Hal berbeda terjadi di RW 001, sejumlah rumah hancur karena hutan mangrove di sekitarnya tipis.
Berdasarkan survei yang dilakukan ahli tsunami Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Widjo Kongko dan tim, hutan mangrove di Kabonga Besar melemahkan energi dan ketinggian tsunami dari 3-5 meter menjadi 1-1,5 meter (Kompas, 29/3/2019).
Sekretaris Jenderal Pasigala Centre, Konsorsium Lembaga Swadaya Masyarakat untuk Pengawasan Pascabencana Sulteng, Andika mengingatkan tsunami lalu menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk mengembalikan kawasan pesisir sebagai zona konservasi dengan penanaman mangrove. Dengan langkah itu, kawasan pesisir menjadi pelindung daratan dari tsunami dan abrasi, ekowisata, serta rumah bagi biota laut. Fungsi mitigasinya lebih lengkap daripada tanggul laut.