Setelah 34 bulan berlalu, penyesalan terus menggema di berbagai penjuru Inggris. Mereka yang tidak menggunakan hak pilih pada 23 Juni 2016 adalah pihak yang paling menyesal atas keadaan Inggris saat ini.
Pada tanggal itu, setelah berbulan-bulan berkampanye, Inggris menggelar referendum untuk memutuskan, apakah negara itu tetap atau meninggalkan Uni Eropa. Dari 46,5 juta pemilih terdaftar, 33,5 juta orang hadir ke bilik suara pada Kamis pagi hingga sore yang diselingi hujan itu.
Setelah kotak suara ditutup, diketahui 17,4 juta pemilih setuju Inggris meninggalkan UE alias Brexit. Sementara 16,1 juta pemilik suara menolak Brexit dan ingin Inggris tetap bersama UE. Adapun 12,9 juta pemilih lainnya tidak hadir di bilik suara. Dengan hasil referendum itu, Inggris memulai proses keluar dari UE.
Namun, bayangan indah Brexit, seperti ditawarkan penyokongnya itu, ternyata tidak—atau setidaknya tak kunjung—terwujud. ”Seluruh proses Brexit, dari referendum hingga cara pemerintah menindaklanjutinya, sangat merusak reputasi Inggris sebagai salah satu ’surga’ tempat berbisnis,” kata William Wright, pendiri dan Direktur Pengelola New Financial.
Lembaga riset independen di London itu mencatat, lebih dari 250 perusahaan perbankan dan keuangan memindahkan atau dalam proses memindahkan bisnis, pekerja, aset, dan badan hukumnya dari Inggris ke kota- kota lain di Eropa. Bank of America, misalnya, dilaporkan telah menghabiskan hampir 400 juta dollar AS dalam mengantisipasi Brexit. Sebagian besar dana itu digunakan untuk membangun kantor pusat di Dublin, Irlandia.
Ketidakpastian
Brexit menimbulkan ketidakpastian pada perekonomian Inggris. Di berbagai penjuru Inggris dan Eropa, para pebisnis merasakan hal itu.
Ketidakpastian akan masa depan Inggris membuat Nissan membatalkan pembangunan pabrik di Sunderland. Sementara Honda akan menutup pabrik di Swindon secara bertahap hingga 2021. Penutupan pabrik itu membuat 3.500 orang akan kehilangan pekerjaan.
Alasan utama aneka perusahaan dari berbagai negara berinvestasi di Inggris adalah status negara itu sebagai salah satu anggota UE. Status itu berarti memberi akses ke pasar Inggris dan UE. Inggris juga menawarkan kestabilan berusaha.
Selepas referendum Juni 2016, kedua hal itu tidak ada lagi. "Inggris telah mengingkari tawaran itu,” kata Peter Dixon, seorang ekonom keuangan global dari Commerzbank AG di London.
Brexit menimbulkan ketidakpastian pada perekonomian Inggris.
Kamar Dagang Inggris (BCC) pada Maret 2019 menyatakan, pertumbuhan ekonomi Inggris pada 2019 tak sebaik perkiraan sebelumnya. BCC menyebut, ekonomi Inggris hanya akan tumbuh 1,2 persen pada 2019 atau lebih rendah dari perkiraan semula, yakni 1,3 persen.
Investasi bisnis juga diperkirakan turun 1 persen pada 2019 atau paling rendah sejak krisis finansial 2009. ”Prospek investasi dan perdagangan semakin lemah di tengah berlanjutnya ketidakpastian Brexit dan pertumbuhan ekonomi global yang lebih lambat,” kata BCC dalam situsnya.
Penyesalan
Pengajar Ilmu Politik pada Universitas Strathclyde, John Curtice, mengungkap, separuh pemilih yang tidak hadir pada referendum menyesal menjadi golput. Dalam penelitian Curtice dan sejumlah lembaga jajak pendapat ditemukan, separuh mereka yang golput pada Juni 2016 itu sebenarnya menolak Brexit.
Dengan kata lain, kubu penolak Brexit kehilangan lebih dari 6 juta suara gara-gara golput. Lembaga jajak pendapat GQR juga mengajukan data senada. Hingga 55 persen dari mereka yang golput saat referendum itu sebenarnya menolak Brexit.
Jika mereka memutuskan hadir, lanjut Curtice seperti dikutip media Inggris, The Independent, hasil referendum tentu akan berbeda. Alih-alih hanya mendapat 16,1 juta suara, kubu penolak Brexit akan mendapat hingga 22 juta suara.
Mantan PM Inggris David Cameron bolak-balik merisaukan soal golput itu. Sejumlah jajak pendapat sebelum referendum menunjukkan, pendukung Brexit lebih bersemangat ke bilik suara dibandingkan penolak Brexit. Penghitungan suara dan penelitian Curtice serta sejumlah lembaga jajak pendapat selepas referendum membuktikan itu.
Mereka, orang-orang yang golput pada hari referendum, menyesal setelah tahu hasilnya. Mereka berharap bisa hadir di pemungutan suara. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Mereka harus ikut merasakan ketidakpastian Brexit. Merasakan dampak pilihan mereka tidak ke bilik suara pada Juni 2016.