PALU, KOMPAS Pemerintah bersikukuh membangun tanggul laut untuk mengantisipasi pasang laut dan tsunami di Teluk Palu, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Tanggul laut dinilai opsi terbaik melindungi pesisir, termasuk dari terjangan tsunami. Namun, sejumlah kalangan menolak rencana yang dinilai tak berbasis mitigasi itu.
”Tanggul berfungsi sebagai pelindung tebing teluk yang mengalami penurunan. Kami menata pesisir agar wilayah itu tetap bermanfaat, baik secara sosial maupun ekonomi,” kata Kepala Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Sulteng Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Arie Setiadi Moerwanto di Palu, Kamis (4/4/2019).
Dalam rencana rekonstruksi pascagempa Sulteng, tanggul laut dibangun sepanjang 7 kilometer di pesisir Teluk Palu, tepatnya dari Kelurahan Silae hingga Kelurahan Talise. Tingginya bervariasi, 1,5-3 meter. Tanggul tersebut dibangun dari batu. Belum bisa dipastikan kapan tanggul itu dibangun, tetapi diperkirakan dimulai 2019 ini.
Di sisi tanggul akan ditanam pepohonan sebagai ruang terbuka hijau. Infrastruktur itu dikombinasi dengan jalan raya untuk logistik dan wisata teluk. Lebar jalan sekitar 7 meter dengan konstruksi agak tinggi. Jalan itu juga berfungsi sebagai ”tanggul” kedua untuk meredam energi tsunami.
Pada tsunami 28 September 2018, wilayah pesisir Teluk Palu luluh lantak. Jangkauan tsunami ke darat dari 50 hingga 200 meter. Mengacu pada kejadian itu, titik terjauh jangkauan tsunami ditetapkan sebagai zona terlarang untuk pembangunan rumah ataupun bangunan komersial. Saat ini, begitu pasang, air laut menjangkau darat hingga 100 meter.
Sekretaris Jenderal Pasigala Centre, Konsorsium Lembaga Swadaya Masyarakat untuk Pengawasan Pascabencana Sulteng, Andika mengingatkan, tsunami lalu menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk mengembalikan kawasan pesisir sebagai zona konservasi dengan penanaman mangrove. Dengan langkah itu, kawasan pesisir menjadi pelindung daratan dari tsunami dan abrasi, ekowisata, serta rumah bagi biota laut. Mitigasi dengan menanam mangrove dinilai lebih lengkap daripada tanggul laut.
Merujuk pada hutan mangrove di Kelurahan Kabonga Besar, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala, saat tsunami lalu, rumah-rumah warga yang ditutup mangrove tidak mengalami kerusakan. Di RW 002, misalnya, ada rumah warga yang berjarak hanya 5 meter dari bibir pantai. Namun, karena mangrove cukup lebat, rumah itu tidak hancur. Hal berbeda terjadi di RW 001. Sejumlah rumah hancur karena hutan mangrove di sekitarnya tipis.
Menanggapi hal itu, Arie menyatakan, kondisi pesisir Teluk Palu tak memungkinkan ditanami mangrove. Hal ini karena teluk itu tidak memiliki pantai yang landai, tetapi langsung laut dalam. ”Tsunami memang tetap akan melampau tanggul dan jalan yang dibangun, tetapi energinya bisa diredam,” kata Arie.