Hari-hari Jeihan di Cicadas
Setiap pelukis terkenal memiliki masa-masa penting dalam menemukan jati dirinya, termasuk pelukis Jeihan Sukmantoro (81) asal Surakarta, Jawa Tengah, yang menetap di Bandung, Jawa Barat.
Pameran ”Jeihan: Hari-hari di Cicadas” menguak masa-masa penting itu di antaranya ketika Jeihan menemukan karakter karya ”mata hitam” yang kemudian dikenal para pencinta seni rupa di dunia.
”Lukisan-lukisan ini semuanya dengan model. Ada lukisan dengan model istri dan anak saya, tetapi sebagian besar model para tetangga saya di Cicadas, dan ada juga model perempuan dari Perancis ketika datang ke Cicadas,” ujar Jeihan dalam perbincangan dengan wartawan di ruang pamerannya di Museum Seni Modern dan Kontemporer di Nusantara (Museum Macan) Jakarta, Jumat (6/4/2019).
Sebanyak 30 lukisan potret dan beberapa puisi Jeihan dipamerkan selama dua bulan, 26 Maret sampai 26 Mei 2019. Selain melukis, Jeihan juga menciptakan beberapa puisi nakal di Cicadas, yang kemudian dikenal sebagai puisi ”mBeling”.
Semasa kecil Jeihan suka melukis dan sempat menyalurkan minatnya di Himpunan Budaya Surakarta (HBS). Jeihan mengenang masa remajanya ketika itu sudah sakit-sakitan, hingga studinya pun terganggu.
Setelah merampungkan tingkat sekolah menengah atas di Surakarta, pada 1960 Jeihan pindah ke Bandung untuk menempuh studi di Fakultas Seni Rupa dan Desain di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Jeihan tidak merampungkan studi akademisnya itu. Disampaikan penulis kritik seni Bambang Bujono, Jeihan dikenal sebagai mahasiswa yang suka memberontak. ”Bagi mahasiswa ITB yang belum mencapai tingkat tiga waktu itu kalau berpameran lukisan harus seizin dosennya. Jeihan tidak menghiraukan aturan itu,” kata Bambang Bujono.
Menurut Jeihan, sebelum menginjak tahun ketiga di ITB, ia pernah membuat pameran tahun 1963 tanpa seizin dosennya. Jeihan pun menjawab, pameran itu memakai uangnya sendiri, mengapa harus dilarang atau harus minta izin kepada dosennya.
Penyair Sapardi Djoko Damono dan Remy Sylado turut hadir di Museum Macan. Mereka teman sekolah Jeihan di Surakarta. Sapardi menimpali soal kesukaan Jeihan yang memberontak.
”Sewaktu bersekolah harus dengan seragam celana panjang seperti pada umumnya, tetapi Jeihan pernah memakai celana jins yang ditempeli paku-paku (studs). Ini terjadi sekitar tahun 1950-an,” kata Sapardi.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, warga sempat dilarang menggunakan atribut yang berbau budaya Amerika. Jeihan memberontak dan berani mengenakan celana jins koboi Amerika. ”Hidup ini milik para pemberani,” ujar Jeihan.
Karya lukisan Jeihan dalam rentang waktu pembuatan antara 1963 sampai 1981 dikenal sebagai periode Cicadas. Sebuah karya berjudul ”Gadis” berukuran 30 x 40 sentimeter dengan media minyak di atas kanvas pada tahun 1965 menjadi tonggak karyanya yang bermata hitam.
Mata hitam
”Cicadas waktu itu daerah yang miskin,” kenang Jeihan. Ketika ditanya mengapa bermata hitam, Jeihan mengatakan, sampai saat ini pun masih mencari tahu dan selalu berujung pada ketidaktahuan. Dengan ketidaktahuannya itu, Jeihan menemukan rasa kebahagiaannya dan itu sekaligus sebagai jawabannya.
”Saya melukis dari dalam diri saya. Ini jujur dan spontan, tetapi yang lebih penting itu membahagiakan saya,” kata Jeihan. Lukisan berjudul ”Gadis” itu cenderung memiliki warna datar. Kontur warnanya terbangun oleh sapuan kuas yang spontan dan lugas.
Warna dasar hitam untuk rambutnya yang panjang dan untuk sepasang matanya. Warna coklat tua untuk warna kulit dan warna putih untuk bajunya. Warna coklat muda untuk latarnya. Lukisan wajah gadis itu dengan warna datar yang sederhana.
Pengembangan ke dalam karya-karya berikutnya dengan sapuan kuas lebih halus, pose model makin dinamis dan beragam.
Sebagian besar karya lukisan itu tidak berjudul. Jeihan lupa nama-nama tetangganya yang menjadi model. Beberapa ada yang tidak terlupa, misalnya gadis dari Perancis, Agnes Maulet, yang dijadikan judul karya dengan media cat minyak di atas kanvas 55 x 40 sentimeter tersebut. Karya ini dibuat Jeihan pada 1973.
Jeihan tidak mengingat beberapa nama model anak laki-laki. Beberapa yang diingat dan dibubuhkan sebagai judul lukisan di antaranya ”Udin” (1982), ”Udjang” (1981), ”Nanang” (1980-1981), ”Dido II” (1981), dan ”Mang Endas” (1966).
Begitu pula dengan beberapa lukisan dengan model perempuan tanpa diberi judul atau ”Unknown Title”. Untuk beberapa karya diberi judul yang sangat umum, seperti ”Lelaki” (1974), ”Tetangga” (1972), ”Mbok” (1971), ”Melati” (1972). Ada pula yang diberi judul ”Lari Mengejar Hari” (1980).
Menurut Koordinator Pameran Ady Nugeraha dari Museum Macan, semua karya yang dipamerkan atas pilihan tim kurator Museum Macan. Karya-karya tersebut selama ini juga belum pernah dipamerkan di ruang publik.
”Kami menyeleksinya langsung dari gudang penyimpanan lukisan di rumah Jeihan,” kata Ady. Jeihan mengaku kaget dengan pilihan-pilihan lukisan yang dipamerkan tersebut. Sebagian besar karya itu tidak dilihatnya selama berpuluh-puluh tahun lamanya.
”Saya kaget melihat karya lama, di antaranya karena karya-karya itu lebih berwarna,” ujar Jeihan. Hari-hari Jeihan melukis di Cicadas justru menggoreskan warna yang kini membuatnya kaget. Jeihan berulang kali menuturkan, semasa tinggal di Cicadas menjadi masa-masa sulit bagi dirinya maupun masyarakat di sekelilingnya.
Pada masa itu banyak orang di Cicadas kesulitan makan. Jeihan memotretnya menjadi karya lukisan orang-orang yang kurus dan bermata cekung.
Di tahun 1965 melalui karya ”Gadis” itu, Jeihan melahirkan kekhasan dengan mata hitamnya. Jeihan tidak mengaitkannya dengan situasi politik masa itu.
Jeihan menyimpan misteri mata hitamnya. Tetapi, tersirat Jeihan bertutur ulang tentang sejarah jangan pernah dilupakan. ”Luka-luka sejarah juga harus diobati supaya tidak menjadi sebuah dendam sejarah,” kata Jeihan. (NAWA TUNGGAL)