Mengawal Suara, Menjaga Demokrasi
Berbagai gerakan yang umumnya digagas anak muda saat ini muncul untuk mengawal pemilu. Kepedulian masyarakat menjadi faktor penting dari keberhasilan gerakan yang punya peran penting dalam perkembangan demokrasi di Indonesia ini.
Dua mantan anggota Komisi Pemilihan Umum, Hadar Nafis Gumay dan Ferry Kurnia Rizkiyansyah, hari-hari belakangan ini sibuk menjaring sukarelawan untuk gerakan Kawal Pemilu Jaga Suara 2019.
Aktivitas itu membuat Hadar dan Ferry, yang kini menjadi peneliti senior di Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Jumat (5/4/2019) sekitar pukul 16.00, menemui Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah Sunanto. Mereka mengajak Sunanto dan PP Pemuda Muhammadiyah bergabung dalam gerakan Kawal Pemilu Jaga Suara (KPJS) 2019. Malam harinya, Hadar dan Ferry menemui anggota Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) untuk tujuan yang sama.
KPJS 2019 diinisiasi sejumlah kelompok gerakan masyarakat sipil, seperti Netgrit, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), dan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP).
Sebagai gerakan pemantauan penghitungan hasil pemilu, KPJS 2019 sebenarnya bukan hal baru. Pada 2014, gerakan serupa pernah dilakukan, yakni Kawal Pemilu. Kepedulian masyarakat menjadi kunci dari keberhasilan KPJS 2019.
”Kami mengerahkan semua tenaga dan sumber daya untuk merekrut sukarelawan. Tidak ada imbalan apa pun dari kegiatan pemantauan ini. Hal itu harus ditegaskan dari awal karena memang kami murni bergerak berbasis kesukarelawanan dan urun daya,” kata Hadar.
Kami mengerahkan semua tenaga dan sumber daya untuk merekrut sukarelawan. Tidak ada imbalan apa pun dari kegiatan pemantauan ini. Hal itu harus ditegaskan dari awal karena memang kami murni bergerak berbasis kesukarelawanan dan urun daya
Perekrutan sukarelawan KPJS 2019 ini akhirnya juga bagian dari pendidikan politik. Masyarakat perlu disadarkan bahwa keberhasilan pemilu sebagai perwujudan demokrasi adalah kerja semua pihak.
Terkait hal ini, kelompok muda diharapkan aktif dalam gerakan seperti KPJS 2019. Pasalnya, semua sarana yang dipakai gerakan ini untuk pemantauan pemilu memakai perangkat yang dekat dengan kalangan milenial, seperti telepon pintar, internet, dan media sosial. Perekrutan bahkan dilakukan secara terbuka melalui kode-kode referral yang dibagikan melalui media sosial.
”Mereka yang bersedia bergabung tinggal mengeklik kode referral yang dibagikan pengundang, lalu log in ke sistem melalui Facebook untuk bisa mengunggah foto-foto dari C1 plano (tabulasi hasil penghitungan di tempat pemungutan suara),” kata Hadar.
Mereka yang telah bergabung dalam gerakan ini bisa mengundang teman atau anggota jaringan lainnya secara berjenjang. Dengan sistem ini, diharapkan satu anggota bisa merekrut puluhan atau ratusan sukarelawan lain. KPJS 2019 menargetkan ada 809.500 pemantau di seluruh Indonesia, seperti jumlah TPS di pemilu mendatang.
Gerakan lain
Dalam pemantauan tahapan pemilu, Netgrit tidak sendirian. Kelompok pemantauan juga dibentuk elemen masyarakat sipil lainnya, seperti gerakan Teman Rakyat yang memantau rekam jejak calon anggota legislatif (caleg). Komunitas yang berdiri tahun 2017 ini dimotori sekelompok anak muda berlatar belakang pegawai agensi periklanan. Saat ini, mereka banyak muncul di Instagram melalui gerakan ”unboxing caleg” untuk mengupas rekam jejak caleg lintas dapil.
Selain dilakukan para anggota komunitas, Teman Rakyat juga mengajak publik bersama-sama mengulas sepak terjang caleg dan menyebarkannya di situs temanrakyat.id. Bentuknya dapat berupa ulasan tulisan pendek, video, dan infografik mengenai caleg bersangkutan.
Penggiat Teman Rakyat, Zaky Muzakir, menuturkan, awalnya banyak anggota Teman Rakyat yang ingin golput atau tak menggunakan haknya di pemilu karena tidak tahu caleg yang harus dipilih. Kondisi ini yang memunculkan gerakan unboxing.
”Seperti beli gadget, beli sepatu, pasti kita unboxing, kupas habis spesifikasi dan kondisinya. Memilih caleg seharusnya juga seperti itu, jangan sampai beli kucing dalam karung,” katanya.
Gerakan lain digagas sejumlah anak muda melalui www.jariungu.com. Situs itu menyertakan fitur ”Saring Calegmu!” untuk menyaring caleg.
”Kami menyediakan data secara transparan. Biar publik yang menilai dan mau memilih caleg yang seperti apa,” kata pendiri sekaligus koordinator litbang dan teknis Jari Ungu, Teuku Radja Sjahnan.
Gerakan pemantauan lainnya diusung Abdul Malik Raharusun dan empat kawannya. Mereka membuat platform guna menampung data tentang ketidaknetralan dan intimidasi yang muncul selama pemilu di masyarakat. Platform itu dinamai JagaPemilu.com. Pengguna tinggal mengisi form, layaknya Google Form, mengenai asal instansi, bentuk kecurangan, dan menyertai bukti-bukti dokumen atau foto.
”Harus ada foto untuk bukti,” katanya.
Abdul Malik mengatakan, informasi yang dikumpulkan dari platform itu akan dilaporkan dan dikawal supaya ditindaklanjuti Bawaslu.
”Kami semua sukarelawan. Kebanyakan juga orang daerah. Kami bergerak sesuai kemampuan dan jaringan yang ada,” katanya.
Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wasisto Raharjo Jati, mengatakan, selama ini gerakan volunterisme politik masih tergolong baru dalam ranah politik Indonesia. Menurut dia, gerakan ini dilakukan sebagai usaha untuk melawan politik arus utama yang dibangun dari level atas atau kelompok elite.
Sebagai sebuah gerakan, berbagai kendala pasti muncul. Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah para penggiatnya, yang umumnya berusia muda ini, untuk terus bergerak guna mengawal pemilu. Selain memastikan pemilu berjalan jujur dan adil, gerakan sukarelawan itu juga bagian dari upaya penyadaran dan pendidikan politik bahwa menjaga demokrasi merupakan tanggung jawab bersama.