Subak dan Petani Mendesak Diselamatkan
JAKARTA, KOMPAS — Sejak 2012, UNESCO telah menetapkan subak sebagai situs warisan dunia. Namun demikian, kelestarian lahan persawahan berbasis filosofi tri hita karana itu makin terancam akibat alih fungsi lahan.
Alih fungsi lahan di Provinsi Bali tak bisa dielakkan karena para petani mengalami dilema antara tetap melestarikan subak dan desakan memenuhi kebutuan ekonomi sehari-hari.
“Begitu sudah ditetapkan sebagai warisan dunia, seluruh masyarakat pemilik lahan dan pemerintah daerah setempat semestinya taat untuk menjaga kawasan subak yang ada. Pemda setempat harus bersedia menyediakan APBD untuk pelestarian,” ucap Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nadjamuddin Ramly, Senin (8/4/2019), di Jakarta.
Subak yang diakui UNESCO seluas 19.519,9 hektar dengan kawasan penunjangnya mencapai 1.454,8 hektar, meliputi 17 subak di mana 14 di antaranya berada di Kabupaten Tabanan dan 3 lainnya di Kabupaten Gianyar. Di Bali, secara keseluruhan masih ada 1.599 subak dengan total luas mencapai 70.000 hektar.
Dengan sisa lahan pertanian bersistem subak yang tinggal di kisaran 70.000 hektar tersebut, setiap tahun rata-rata ada 750 hektar area sawah yang beralih fungsi. Jika upaya pelestarian tak dilakukan, maka luas kawasan subak terus-menerus menyusut dan pengakuan subak sebagai warisan dunia terancam dicabut oleh UNESCO.
Dengan sisa lahan pertanian bersistem subak yang tinggal di kisaran 70.000 hektar tersebut, setiap tahun rata-rata ada 750 hektar area sawah yang beralih fungsi.
Terdesak kebutuhan
Salah satu ketua subak di Bali mengungkapkan, kebanyakan lahan persawahan di Tabanan berkurang karena pembangunan. “Kami rakyat kecil ingin sesuai aturan tetapi akhirnya ‘mentah’ di tengah jalan karena terdesak kebutuhan,” ucapnya.
Beberapa tahun terakhir, para petani di Tabanan memang telah menerima insentif dari Pemkab Tabanan berupa keringanan pajak. Namun demikian, insentif tersebut tidak banyak membantu kebutuhan ekonomi para petani.
Situasi perekonomian petani berbanding terbalik dengan tingginya tingkat kunjungan wisatawan ke Bali. Tahun 2014, kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara ke kawasan subak Jatiluwih, Tabanan mencapai 167.000 wisatawan.
Menurut dia, dilihat dari tingginya kunjungan wisatawan, semestinya para petani subak mendapatkan insentif dari penjualan tiket untuk menunjang kesejahteraan subak. “Kalau dapat 40 persen atau 45 persen dari dana tiket yang masuk, kami mungkin bisa bernafas,” ungkapnya.
Dilihat dari tingginya kunjungan wisatawan, semestinya para petani subak mendapatkan insentif dari penjualan tiket untuk menunjang kesejahteraan subak.
Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana, Bali, Prof I Wayan Windia mengatakan, subak hanya bisa dilestarikan apabila petani sejahtera. Karena itu, seperti harapan UNESCO, semestinya kesejahteraan para petani subak diperhatikan.
“Insentif yang harus diberikan kepada para petani subak, antara lain bebaskan mereka dari pajak bumi dan bangunan 100 persen, mereka juga harus dididik berkoperasi dan mengembangkan industri pengolahan kelas rumah tangga, dijamin irigasinya, dan dipastikan agar harga produksi mereka dibeli lebih tinggi di atas harga pasar. Saya mengusulkan harga gabah petani dibeli pemerintah lebih tinggi Rp 200 per kilogram di atas harga pasar,” kata Windia.
Helipad di situs warisan dunia
Untuk memfasilitas kunjungan wisatawan ke Jatiluwih, pengelola Daerah Tujuan Wisata Jatiluwih bekerja sama dengan salah satu operator transportasi udara di Bali membangun helipad di tengah sawah di dalam kawasan situs warisan dunia subak Jatiluwih. Mendengar laporan pembangunan helipad ini, Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid kemudian mengirimkan surat desakan kepada Pemkab Tabanan untuk segera menghentikan pengoperasian helipad tersebut.
Windia menambahkan, keberadaan helipad di tengah-tengah persawahan merusak tanaman padi dan lahan sawah pada saat ada helikopter mendarat. Selain itu, pembangunan helipad juga menggunakan lahan sawah di kawasan warisan dunia yang seharusnya diatur terlebih dulu pemanfaatannya dalam perencanaan detail kawasan.
“Detail perencanaan kawasan ini yang selama ini belum ada. Seharusnya semua pembangunan di sana harus ditunda terlebih dulu sebelum disepakati perencanaan detail kawasan oleh semua pemangku kepentingan,” kata Windia.