Ada pandangan bahwa impor sedapat mungkin ditekan sembari mendongkrak ekspor. Ibarat upaya menekan satu lengan tuas atau pengungkit ke bawah dan mengangkat ujung lainnya.
Menolak impor 100 persen dinilai tidak realistis. Menampik total impor pun bisa dianggap tidak menenggang negara mitra. Faktanya, tak semua bahan baku, bahan penolong, barang modal, dan bahkan barang konsumsi mampu dipenuhi dari dalam negeri sehingga menolak impor dianggap tidak realistis. Aspek ketersediaan di sisi jumlah, mutu, spesifikasi, dan harga menjadi pertimbangan saat mengimpor barang.
Ingin mengekspor, tetapi menolak impor seluruhnya sama saja seperti seseorang yang hanya mau menjual, tetapi sama sekali tidak mau membeli. Pihak yang bertabiat seperti ini berpotensi terkucil dari hubungan perdagangan antarnegara. Di titik ini, perlu upaya agar pertumbuhan perdagangan bisa dinikmati semua pihak. Tentu mesti dikaitkan dengan kepentingan nasional setiap negara.
Lumrah ketika surplus perdagangan lebih diharapkan ketimbang defisit. Alhasil, importasi bahan baku, barang penolong, dan barang modal pun sepatutnya jangan sampai membebani.
Alih-alih menjadi beban, impor seharusnya dioptimalkan sebagai modal menggerakkan roda industri pengolahan atau manufaktur. Produk yang dihasilkan selanjutnya dijual lagi, baik untuk mengisi pasar dalam negeri maupun ekspor.
Akan lebih membanggakan ketika Indonesia secara perlahan mampu menumbuhkan industri substitusi impor. Apalagi negeri ini diberkahi limpahan sumber daya alam yang dapat menjadi sumber bahan baku di berbagai industri.
Nilai ekspor industri sepeda motor tahun 2017 tercatat 1,2 miliar dollar AS, sedangkan impornya senilai 450 juta dollar AS. Ada juga sektor industri yang digadang untuk memperbaiki deraan defisit.
Ambil contoh ketergantungan impor bahan baku tinggi—hampir 90 persen—yang memicu defisit di industri farmasi. Ekspor di sektor ini memang tercatat naik dari 1,101 miliar dollar AS di tahun 2017 menjadi 1,136 miliar AS di tahun 2018. Namun, di sisi lain, Indonesia masih mengimpor bahan baku obat sekitar 4 miliar dollar AS. Jumlah ini belum termasuk impor produk jadi farmasi yang sekitar 800 juta dollar AS.
Bagaimana peta kapasitas industri pengolahan di Indonesia di sisi ekspor dan impor? Mari melihatnya lewat data ekspor-impor yang dirilis Badan Pusat Statistik. Total ekspor industri pengolahan Indonesia selama kurun Januari-Februari 2019 mencapai 19,61 miliar dollar AS atau turun 5,96 persen dibandingkan periode sama tahun 2018 yang 20,86 miliar dollar AS.
Sebagai perbandingan, impor bahan baku/penolong periode Januari-Februari 2019 mencapai 20,42 miliar dollar AS atau turun 7,6 persen dibanding periode sama tahun 2018 yang 22,1 miliar dollar AS. Sementara impor barang modal pada Januari-Februari 2019 mencapai 4,54 miliar dollar AS atau turun 2,32 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya yang 4,65 miliar dollar AS.
Melihat angka-angka itu terbayang pekerjaan besar untuk meningkatkan kinerja ekspor dan secara simultan menumbuhkan industri substitusi impor. Upaya bersama yang melibatkan semua pemangku kepentingan negeri ini kiranya menjadi keniscayaan.