Membidik pasar ekspor guna meningkatkan perekonomian negara. Inilah target utama Vietnam mengambil ceruk pasar produk halal di negara-negara berpenduduk muslim dunia, khususnya di kawasan Timur Tengah dan Asia, termasuk Indonesia.
Hasil riset dan buah pemikiran mengenai industri halal di Vietnam tercatat dalam buku berjudul "Muslimin Vietnam dan Industri Halalnya". Buku karya Marissa Grace Haque-Fawzi ini diluncurkan di Indonesia Banking School, Jakarta Selatan, pada Jumat (12/4/2019).
Melalui bukunya, Marissa menilai, Vietnam merupakan negara pekerja keras, tercermin dari filosofi bebek. "Filosofi ini mengajarkan, meski terlihat tenang saat berenang, namun sesungguhnya kedua kaki bebek sibuk bekerja di bawah air. Begitu-lah Vietnam bersaing dalam pasar global," ujarnya.
Keberhasilan Vietnam dalam "berenang" di tengah samudera krisis ekonomi global tak lepas dari peran pemerintah, khususnya pascareformasi ekonomi Doi Moi pada 1986. Reformasi untuk menciptakan ekonomi pasar baru dengan tujuan sosialis, kini telah membuahkan hasil. Hal ini terlihat dari pertumbuhan domestik bruto Vietnam yang tergolong pesat.
Data Organisation for Economic Co-operation and Development menunjukkan, pertumbuhan rata-rata produk domestik bruto Vietnam pada 2012-2018, tumbuh 6,5 persen. Sementara Indonesia, dalam periode yang sama, masih di angka 5,2 persen.
Marissa mengatakan, Vietnam memiliki kemampuan dalam melihat peluang dan beradaptasi dengan kebutuhan pasar. Kemampuan ini salah satunya terlihat dari strategi Vietnam dalam mengembangkan industri halal.
Dalam State of the Global Islamic Economy Report 2018/19, dinyatakan, makanan halal merupakan peluang pasar yang belum terealisasi. Pada 2017, pengeluaran muslim untuk makanan dan minuman tercatat mencapai 1,3 miliar dollar AS. Sementara pada 2023 diproyeksikan akan mencapai 1,9 miliar dollar AS.
Vietnam memiliki kemampuan dalam melihat peluang dan beradaptasi dengan kebutuhan pasar. Kemampuan ini salah satunya terlihat dari strategi Vietnam dalam mengembangkan industri halal
"Meski jumlah muslim di Vietnam sangat sedikit, yaitu kurang dari 0,1 persen dari total 95 juta jiwa penduduknya tetapi Vietnam mulai menunjukkan eksistensinya. Pemerintah Vietnam pun menunjukkan keseriusannya dalam mengembangkan industri halal," papar Marissa.
Kerja keras
Keseriusan pemerintah Vietnam dibuktikan dengan pembentukan lembaga Ban Tôn Giáo Chính Phủ untuk mengurusi persoalan keagamaan, kepercayaan, dan kegiatan beragama. Saat ini, lembaga urusan keagamaan Vietnam tengah menyempurnakan draf peraturan perundang-undangan terkait produk dan industri halal, terutama untuk tujuan ekspor.
Marissa juga menjelaskan, sebenarnya Vietnam telah mengeluarkan izin sertifikasi halal, yaitu Halal Certification Agency (HCA) pada 2011. Namun, beberapa kali produk Vietnam ditolak di Indonesia karena tidak lolos uji halal.
"Meski begitu, Vietnam tetap berusaha untuk mengekspor produk halal ke Indonesia. Usaha ini terlihat dari strategi Vietnam dengan mengirimkan perwakilan HCA ke Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) di Bogor untuk belajar ilmu halal dan standar sertifikasi Indonesia pada 2013 lalu," papar Marissa.
Tak mengherankan jika Vietnam bersikeras dalam menembus pasar ekspor produk halal ke Indonesia. Sebab, dalam State of the Global Islamic Economy Report 2018/19, konsumsi masyarakat Indonesia untuk produk halal mencapai 218,8 miliar dollar AS pada 2017. Indonesia juga saat ini menduduki peringkat ke-10 dalam Indikator Ekonomi Islam Global (GIEI) dengan skor 45.
Marissa melanjutkan, memang tak ada yang salah dengan keinginan negara untuk memintarkan warganya. Namun, sebagai negara tujuan belajar, Indonesia seyogianya tidak lengah untuk turut serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
"Saya melihat, investasi ilmu oleh pemerintah Vietnam merupakan future value bagi mereka untuk mendapat keuntungan lebih di masa mendatang melalui upaya ekspor. Jangan sampai Indonesia tertinggal," tutur Marissa.
Tantangan
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Direktur LPPOM MUI Oesmena Gunawan menyampaikan, penerapan sertifikasi halal masih menghadapi tantangan. Ia menilai, tantangan disebabkan oleh kurangnya sosialisasi.
"Masih banyak pelaku usaha Indonesia yang kurang peduli dan sadar akan pentingnya sertifikasi halal. Mereka merasa, tanpa sertifikasi halal pun tetap ada yang membeli," kata Oesmena.
Memang kenyataannya seperti itu di dalam negeri. Namun, ini akan menghambat ketika pelaku usaha ingin mengekspor produknya, khususnya ke negara-negara yang telah menerapkan kewajiban sertifikasi halal.
"Sertifikasi halal sebenarnya juga bermanfaat untuk melindungi konsumen. Khususnya dalam memberi kepastian bahwa produk yang akan dikonsumsi atau digunakan itu halal," ujarnya.