JAKARTA, KOMPAS — Penyelesaian kasus perundungan di Kota Pontianak, Kalimantan Barat yang menimpa Ay (14), siswi SMP, dengan pelaku tiga siswi SMA berinisial N (17), T (16), dan F (16) harus mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak terutama keadilan bagi anak korban.
Meskipun terbuka langkah-langkah diversi, aparat penegak hukum tidak perlu memaksakan proses diversi pada tahap awal proses hukum kasus tersebut. “Karena penting mendengarkan pendapat korban. Pada saat korban masih belum pulih, tidak layak diajak melakukan proses diversi yang penyelesaiannya membutuhkan restorative justice (keadilan restoratif), penyelesaian dengan melibatkan keluarga, masya, korban, pelaku, dan bahkan dapat menghadirkan ahli,” ujar angggota Ombudsman RI (ORI) Ninik Rahayu di Jakarta, Kamis (11/4/2019).
Menurut Ninik, mengingat kondisi korban, langkah diversi yang merupakan upaya penyelesaian hukum di luar pengadilan, tidak harus dipaksakan di saat proses penyelidikan dan penyidikan. Karena langkah diversi tetap dapat diupayakan pada saat masa penuntutan dan persidangan. “Tapi pastikan korban pulih terlebih dahulu,” katanya.
Terkait kasus perundungan yang melibatkan anak-anak sekolah tersebut, karena korban dan pelaku sama-sama anak-anak, Ninik menyatakan prihatin. Menurut dia, kasus tersebut terjadi karena ada yang kurang tepat dalam pola didik terhadap anak-anak, baik di sekolah maupun rumah terutama dalam hal penggunaan alat-alat media sosial.
“Perundungan karena medsos telah berkali kali menelan korban anak. Selain itu, kasus pengeroyokan di lingkungan anak-anak ini adalah kasus tipikal. Boleh jadi kasus semacam banyak terjadi,” tegasnya.
Karena itu, perlu dilakukan pencegahan secara serius. Jika sudah ada kasus yang terjadi, mestinya tidak perlu diramaikan seperti kasus di Pontianak.
Sebagai Anggota ORI, Ninik meminta semua pihak mempercayakan penyelesaian kasus tersebut kepada kepolisian, namun dia mengingatkan agar kepolisian memastikan penanganannya sesuai dengan prosedur.
“Jangan sampai melakukan potensi mal administrasi, misalnya pemeriksaan tidak dilakukan di ruang tertutup bagi untuk korban dan pelaku. Membacakan alat dan barang bukti kepada umum yang seharusnya bagian penting pemeriksaan. Tidak mempublikasi korban dan pelaku, dan memastikan hal itu tidak terjadi,” katanya.
Selain itu, kepolisian juga harus berkoordinasi dengan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) setempat untuk memastikan pemulihan korban dan rehabilitasi pada pelaku.
Rahasiakan identitas
Koordinator ECPAT Indonesia Ahmad Sofian juga menyatakan semua pihak harus melindungi korban, menghentikan mempublikasi identitas dan foto korban, memastikan korban mendapatkan hak-haknya sebagai korban kekerasan, mendapatkan tempat aman, pendampingan hukum, rehabilitasi fisik dan psikologis, serta pemulihan lainnya.
Termasuk dirahasiakan identitas dan wajahnya, serta tidak menanyakan berulang-ulang terkait dengan pengalaman buruknya sebagai korban karena dapat menambah berat trauma korban.
Kendati demikian, Ahmad Sofian menyatakan pelaku yang juga masih usia anak, termasuk dalam kategori anak yang berhadapan dengan hukum, memiliki hak yang melekat. Misalnya berhak untuk dirahasiakan identitasnya termasuk tidak mempublikasikan foto wajahnya ke publik, berhak mendapatkan pendampingan psikologis, dan pendampingan hukum.
Selain itu, tidak boleh ada penahanan karena pelaku masih bersekolah. Jika harus dilakukan penyidikan maka dilakukan penyidikan sesuai dengan Undang-Undang No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Konvensi Hak Anak.
“Kami juga meminta semua pihak untuk tidak menghakimi pelaku, menghentikan penyebaran identitas dan foto dan pelaku, termasuk menghentikan ajakan massal “menandatangani petisi” yang mengabaikan hak-hak pelaku sebagai anak,” kata Ahmad Sofian.