Manusia Berselisih, Nensih Merana
Ratusan gajah sumatera dilatih di Pusat Latihan Gajah Bukit Serelo, Sumatera Selatan. Eksis puluhan tahun, delapan gajah dievakuasi karena sengketa lahan.
Nensih lahap menyantap pelepah pohon dan rumput liar di kawasan Hutan Suaka Alam Bukit Serelo, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, Minggu (7/4/2019). Gajah betina 40 tahun berbobot 2,4 ton itu tampak tenang. Ardo, gajah jantan 26 tahun, makan tak jauh dari Nensih.
Pagi itu, seusai makan, pawang (mahout) Herman (54) menunggangi Ardo, sedangkan Amir Hamzah (45) di atas Nensih. Langkah keduanya tenang menuju sungai, tempat berendam pagi-sore.
Seusai mandi, saatnya makan dan makan lagi. Gajah dewasa butuh asupan makanan hingga 200 kilogram tiap hari. Pagi itu, meski di bawah pengawasan dua mahout, kaki Nensih dan Ardo diikat rantai besi sepanjang 30 meter. Bukan tanpa sebab. ”Kalau rantainya kami lepas, kami khawatir gajah masuk ke lahan sengketa,” kata Amir.
Nensih dan Ardo adalah dua dari 10 gajah yang disisakan tinggal di Pusat Latihan Gajah (PLG) Bukit Serelo, sekitar 230 kilometer atau lima jam jalan darat dari Kota Palembang, ibu kota Sumsel.
Perangai Nensih pagi itu benar-benar berbeda dibanding 7 Maret 2019. Saat itu, Nensih yang hendak dipindah ke Suaka Margasatwa Padang Sugihan, Kabupaten Banyuasin, Sumsel, menolak dievakuasi. Ia meronta hebat hingga truk terguling. Sebelumnya, ke-14 petugas juga kewalahan karena betina setinggi 2,1 meter itu melangkah ke atas bak truk.
Evakuasi sembilan gajah lain lancar, termasuk Ardo. Melihat ulah Nensih, petugas tertegun. ”Sempat muncul pertanyaan, mengapa Nensih tak mau pergi,” kata Kepala Resor Konservasi Wilayah IX Darwin yang bertugas di PLG Serelo sejak Januari 2019.
Nensih gajah paling senior di PLG Serelo. Selama 25 tahun dia di sana setelah ditangkap di Kawasan Selengo, Kabupaten Banyuasin. Saat itu, terjadi konflik gajah dengan warga.
Tekad Nensih tinggal sangat kuat meski ia satu dari empat gajah yang lemas yang diduga diracun. Petugas pun memutuskan mengikuti keinginan mamalia terbesar di darat yang dikenal cerdas dan sensitif itu.
Sejak itu, Nensih bertahan ditemani Ardo. Keduanya ”menguasai” hutan suaka alam (HSA) seluas sekitar 40 hektar dari total luas lahan sebelumnya, 210 ha.
Lahan sengketa
Sengketa lahan muncul Agustus 2018. Warga dusun Padang Baru, Kecamatan Merapi Selatan, Kabupaten Lahat, mengklaim 170 ha dari total 210 ha luas HSA yang dijadikan PLG itu milik warga. Warga menebangi pohon di lahan 30 ha, lalu mengganti dengan tanaman karet.
Pada 4 Maret 2019, sekelompok warga merusak kantor Resor Konservasi Wilayah IX Bukit Serelo. Massa mengeroyok empat petugas. Warga kesal karena pohon karet penanda batas dicabut petugas.
Kantor itu hingga kini tidak bisa ditempati. Kaca-kaca pecah dan rusak. Keesokan harinya, 4 dari 10 gajah sakit dengan gejala keracunan. ”Gajah berbaring lemas, kotorannya mengeluarkan darah. Gejalanya persis seperti keracunan,” ujar Amir, yang 16 tahun sebagai pawang. Satu dari empat gajah itu adalah Nensih.
Tiga hari kemudian, semua gajah penghuni PLG akan dievakuasi. Namun, hanya delapan yang akhirnya dipindah. Menurut Kepala Desa Padang Sambro Aidi, pihaknya tak menyalahkan pemerintah atau Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).
Keberadaan HSA ia nilai bentuk ketidakadilan. ”Saat pemerintah menyerahkan lahan, itu tanpa persetujuan warga dusun Padang Baru,” katanya. Desa Padang hanya berbatasan dengan Desa Ulak Pandan, bukan dengan HSA.
Secara terpisah, Kepala Desa Ulak Pandan Susiawan Rama menolak pernyataan Sambro. Kawasan yang dirambah masyarakat Dusun Padang Baru adalah wilayah Desa Ulak Pandan yang diserahkan kepada BKSDA. Hal itu dibuktikan dengan daftar tambahan inventarisasi tanah dan tanam tumbuh masyarakat yang dibuat tahun 1996.
”Kami yang bertanda tangan karena kami pemilik lahan, sedangkan warga Desa Padang hanya sebagai saksi,” kata Susiawan sembari menunjukkan sejumlah dokumen.
Namun, Sambro akan tetap menuntut HSA hingga jadi milik warga. Lahan warga kian sempit karena untuk pembuatan jalan dan tambang batubara.
Soal sengketa itu, kata Sambro, sudah mereka sampaikan kepada bupati hingga Presiden tahun 2017. Tak ada tindak lanjut, desa memutuskan membuat tapal batas, salah satunya dengan tanaman karet yang dicabut petugas itu.
Rencana bupati
Bupati Lahat Cik Ujang meminta agar delapan gajah dikembalikan ke Lahat. Ia berencana menjadikan PLG Serelo sebagai obyek wisata dan salah satu ikon kabupaten.
Namun, Kepala Seksi Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah II Lahat Martialis Puspito mengatakan, pihaknya tidak akan mengembalikan gajah sebelum ada kepastian usai intimidasi dan klaim lahan. ”Kami ingin ada pernyataan tertulis dari Bupati terkait komitmen itu,” katanya.
Apalagi, seminggu setelah evakuasi gajah pada 7 April, sejumlah orang berhenti dan mengamati aktivitas petugas. ”Mereka seperti mengintimidasi kami,” kata Darwin yang bergantian dengan petugas lain menginap di lahan PLG. Tanpa penerangan sama sekali.
Dari PLG Bukit Serelo, ratusan gajah dilatih. Beberapa di antaranya dikirim ke Jatim, Jabar, dan Bali untuk jadi gajah pekerja atau gajah atraksi. Di rumah sendiri, Nensih, terusir. Di alam, tidak ada pemangsa gajah. Manusialah yang bisa melakukannya.