JAKARTA, KOMPAS – Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan kemurnian suara rakyat dalam Pemilu 2019 sebagai landasan putusannya yang tidak mengabulkan permohonan uji materi terkait dengan pembatasan waktu survei dan hitung cepat hasil pemilu. Pendirian MK ini berbeda dengan dua putusan sebelumnya yang menilai ketentuan pembatasan survei di masa tenang, serta hitung cepat hanya boleh dua jam setelah pemungutan suara tidak sesuai dengan konstitusi.
Putusan MK yang dibacakan Selasa (16/4/2019) di Jakarta merupakan jawaban atas permohonan uji materi yang diajukan oleh dua pihak dalam dua perkara yang berbeda. Perkara Nomor 24/PUU-XVII/2019 diajukan oleh Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI). Adapun perkara Nomor 25/PUU-XVII/2019 dimohonkan oleh lima lembaga penyiaran dan dua institusi yang bergerak dalam bidang riset dan survei politik. Tujuh pemohon itu ialah Televisi Transformasi Indonesia, Media Televisi Indonesia, Rajawali Citra Televisi Indonesia, Lativi Mediakarya, Indosiar Visual Mandiri, Indikator Politik Indonesia, Cyrus Nusantara. Sidang kemarin dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Kedua perkara menyoal norma yang sama di dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yakni Pasal 449 Ayat (2), (5), dan (6) yang membatasi pengumuman hasil survei pemilu tidak boleh dilakukan pada masa tenang, dan pengumuman hasil penghitungan cepat (quick count) harus dilakukan dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat. Pemohon juga menguji Pasal 509 dan Pasal 540 Ayat (2) UU Pemilu yang berisi ancaman pidana dan denda kepada mereka yang melanggar Pasal 449 Ayat (2) dan (5) UU Pemilu. Pelanggaran atas ketentuan itu dikategorikan sebagai tindak pidana pemilu.
MK dalam pertimbangannya meletakkan pembatasan waktu pengumuman hasil survei dan quick count dalam konteks yang lebih luas. Larangan itu dipandang memiliki tujuan yang jauh lebih mendasar, yaitu untuk menjaga dan melindungi kemurnian suara pemilih dalam menentukan pilihannya. Dalam kaitannya dengan pertimbangan ini, MK mengemukakan adanya pandangan analis yang secara empirik menengarai adanya indikasi sejumlah lembaga survei atau jajak pendapat berafiliasi kepada kontestan pemilu tertentu.
Dengan latar belakang itu, mahkamah berpendapat, jika UU Pemilu membolehkan hasil survei diumumkan di masa tenang oleh penyelenggara survei maupun lembaga penyiaran, sama halnya negara membenarkan adanya kampanye pada masa tenang. Padahal, masa tenang didesain untuk memberikan kesempatan kepada pemilih merenungkan dan memikirkan pilihan mereka sesuai hati nurani, dan karenanya kampanye dalam bentuk apapun tidak dibolehkan.
“Apalagi jika terbukti pandangan sejumlah analis yang menengarai bahwa sebagian hasil survei atau jajak pendapat memang didesain untuk memengaruhi dan mengubah pilihan pemilih. Padahal, disadari atau tidak, didesainnya tahapan masa tenang dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemilih guna merenungkan dan menentukan pilihannya sesuai dengan hati nuraninya,” kata hakim konstitusi Enny Nurbaningsih.
MK menilai pembatasan waktu pengumuman quick count dua jam setelah pemungutan suara di Indonesia bagian barat pun tidak bertentangan dengan konstitusi. Pengaturan itu dipandang sesuai dengan kondisi riil Tanah Air yang terbagi atas tiga wilayah waktu, yakni waktu Indonesia barat (WIB), waktu Indonesia timur (WIT), dan waktu Indonesia Tengah (WITA). Bila hasil quick count diumumkan kurang dari dua jam setelah pencoblosan di Indonesia barat, hal itu dikhawatirkan akan memengaruhi pilihan warga yang lainnya yang belum mencoblos di wilayah WIT dan WITA.
“Pengumuman hasil penghitungan cepat demikian, yang karena kemajuan teknologi informasi dapat dengan mudah disiarkan dan diakses di seluruh wilayah Indonesia, berpotensi memengaruhi pilihan sebagian pemilih yang bisa jadi mengikuti pemungutan suara dengan motivasi psikologis “sekadar” ingin menjadi bagian dari pemenang,” kata Enny.
Pendirian berubah
Pendirian MK ini membantah dalil pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan yang diuji materi tersebut telah dua kali dinyatakan inkonstitusional oleh mahkamah. Dengan demikian, seharusnya ketentuan serupa yang muncul lagi di dalam UU Pemilu terbaru juga harus dinyatakan inkonstitusional. Munculnya kembali pengaturan dengan norma serupa yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK dimaknai sebagai pengabaian atas putusan MK.
Hakim konstitusi Arief Hidayat pertimbangannya mengatakan, MK telah menyatakan norma serupa inkonstitusional, yakni melalui putusan No 09/PUU-VII/2009 dan No 24/PUU-XII/2014. Ketika itu, MK mempertimbangkan, “pembatasan pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu tidak sesuai dengan hakikat suatu penghitungan cepat (quick count) dan menghambat hasrat serta hak seseorang untuk tahu (rights to know), sehingga bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945. Selain itu, hasil penghitungan cepat sudah tidak akan memengaruhi kebebasan pemilih untuk menjatuhkan pilihannya.”
Kendati demikian, bukan berarti MK tidak bisa mengubah pendiriannya atas suatu norma dengan memerhatikan konteks ketentuan itu berlaku.
“Putusan mahkamah mengenai konstitusional atau tidaknya suatu norma undang-undang sesungguhnya tidak berada dalam ruang kosong belaka. Tidak pula sekadar berpijak pada landasan teoritis semata. Pengujian norma hukum tidak lantas diartikan sebagai pengujian yang sekadar berlandaskan teori tanpa melihat fenomena kemasyarakatan,” kata Arief.
Perubahan pendirian mahkamah dapat terjadi dengan dua kondisi, yakni bila terjadi perubahan makna norma undang-undang yang telah dibatalkan, khususnya dalam arti realitas yang diatur norma tersebut yang berubah; dan atau terjadinya perubahan makna norma UUD 1945 yang menjadi parameter pengujian.
Perwakilan pemohon, Ishadi SK, mengatakan, pihaknya menerima putusan MK dan akan membahas putusan itu secara internal. Namun, ia masih mempertanyakan perbedaan putusan MK tersebut dengan dua putusan sebelumnya.
Kuasa hukum pemohon yang mewakili AROPI, Veri Junaidi, mengatakan, MK belum secara jelas menerangkan perbedaan konteks yang terjadi antara putusan yang dikeluarkan pada tahun 2009 dan 2014 dengan putusan kemarin. Argumentasi kuat mengenai adanya perbedaan konteks itu yang seharusnya menjadi landasan MK untuk berubah pendirian.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Satya Arinanto mengatakan, secara teoritis MK memang bisa mengubah pendiriannya dengan sejumlah pertimbangan, atau dengan melihat relevansi ketentuan itu dengan masa sekarang. Namun, idealnya untuk putusan-putusan tertentu yang sifatnya milestone, atau tonggak pencapaian dalam perlindungan demokrasi, hak konstitusional, dan hak asasi manusia, sebaiknya tidak berubah. Putusan MK yang final dan mengikat dijadikan rujukan bagi pembuat UU untuk membuat ketentuan, sehingga adanya perubahan pendirian MK di sisi lain juga membawa konsekuensi.
“Perubahan personel hakim atau komposisi hakim jangan sampai juga membuat pendirian mahkamah mudah berubah,” tuturnya.