Terbang Tinggi Pasca-pencoblosan
Menyadap ide demokrasi relatif mudah. Membangun masyarakat yang membuat demokrasi berjalan, memerlukan pekerjaan dan upaya besar.
Inilah yang perlu kita warisi apinya. Mereka, para founding fathers, mati-matian dengan penuh pengorbanan membangun bangsa dan negara, membebaskan dari belenggu kolonial. Generasi sekarang harus pula mati-matian membebaskan rakyat dari kemiskinan dan keterbelakangan. Pendidikan dan pencerahan, itulah pekerjaan besar yang menanti.”
Itulah, antara lain, butir perenungan tokoh pers Jakob Oetama yang mendirikan Kompas bersama PK Ojong, dalam tulisannya di bagian pembuka buku 100 Tahun Bung Karno (2001). Dalam tulisan bertema ”Berdialog dengan Sejarah” itu, Jakob Oetama menambahkan, ”Berkeadaban adalah istilah yang berkali-kali digunakan Bung Karno, di antaranya dalam pidato ’Lahirnya Pancasila’ (Beragam secara beradab; Hidup bersama sebagai bangsa secara beradab). Bukankah ada gaung sinonim di dalamnya dengan tugas besar yang disebut membangun masyarakat madani?”
Kedua pesan di atas bergaung kuat tatkala hari ini kita berduyun-duyun menuju tempat pemungutan suara (TPS) untuk menggunakan hak pilih. Lebih dari itu, kita ke TPS juga sebagai wujud sumbangsih kita dalam ikhtiar menghadirkan pemimpin dan legislator yang diharapkan dapat menjawab tantangan membebaskan rakyat dari kemiskinan dan keterbelakangan, seperti disinggung Bung Karno.
Ya, debu serta hiruk pikuk kampanye pemilihan presiden dan anggota legislatif sudah redup dan tuntas empat hari lalu. Hari ini adalah hari pemilihan. Dalam setengah tahun terakhir, luar biasa riuh rendah politik Tanah Air, sampai muncul kesan, warga Indonesia amat terpolitisasi (so highly politicized). Jika hal itu tak menjadi masalah, ada pertanyaan lain, sanggupkah semua hiruk pikuk itu akan berubah menjadi pemilu berkualitas dan pemilih datang ke TPS dengan sukacita?
Menjadi harapan kita semua agar proses pilpres dan pileg berlangsung jujur, adil, dan lancar, hingga hasil akhirnya kita ketahui. Jika itu terjadi, pasca-17 April bangsa kita dapat melanjutkan langkah, meniti masa depan dengan hati mantap, meski setumpuk pekerjaan rumah masih harus dikerjakan. Di sinilah dua intisari pemilu berkualitas harus diuji. Selain aman-lancar dan jujur-adil, dua lainnya adalah melahirkan pemimpin yang berkah bagi rakyatnya dan dengan kehadirannya perikehidupan rakyat membaik di segala sisi.
Terkait dengan praksis demokrasi, kita sudah mewujudkannya dengan pemilu. Namun, masih perlu dijawab, sudah cukupkah kita menyertai praksis di atas dengan kultur memadai? Atau sudahkah kita mempraktikkannya dengan berkeadaban, sebagaimana didambakan Bung Karno?
Apakah kontestasi politik harus diwarnai dengan hoaks, disinformasi, bahkan fitnah? Boleh jadi ini perlu jadi bahan refleksi pertama pasca-pemilu nanti. Terkait dengan ini, kita bisa membaca kembali opini jurnalis Sindhunata di harian ini, Senin (15/4/2019). Kesimpulan yang bisa kita petik adalah kebohongan membuat demokrasi salah guna dan salah jadi.
Sehari berikutnya, kita diingatkan oleh Guru Besar Ilmu Politik Mochtar Pabottingi tentang perlunya kita memiliki wawasan mumpuni untuk membimbing kita menuju TPS. Pesan kedua cendekiawan kita tangkap dengan gamblang.
Bagi ilmuwan politik, Pilpres dan Pileg 2019 adalah ladang pengetahuan yang tak akan ada habisnya untuk ditelaah dan digali. Misalnya, apakah pemilu serentak merupakan pilihan yang tepat untuk Indonesia atau apakah semata karena masa kampanye panjang yang membuat keterbelahan di kalangan pemilih menajam atau ada sebab lain yang lebih mendasar.
Kita tercerahkan oleh pemikiran filosofis ilmuwan. Namun, seusai pemberian suara dan penetapan hasil oleh KPU kelak, pemimpin terpilih harus menghadapi masalah konkret di atas meja kerja. Satu topik yang dengan seru kita tangkap dari debat capres adalah isu ekonomi. Ini pula yang tajam diamati ”The World in 2019” terbitan The Economist, London.
Masih terngiang optimisme yang banyak didengungkan bahwa menyongsong 100 tahun RI, negara kita akan masuk dalam jajaran elite nomor tujuh atau nomor lima dunia. Namun, jika menengok realitas hari ini, dengan tingginya tingkat ketergantungan impor, termasuk komoditas paling dasar, seperti garam dan beras, rentannya rupiah terhadap dollar, juga terhadap dinamika ekonomi dan perdagangan internasional, kita bisa membayangkan betapa beratnya pekerjaan pemimpin untuk mencapai kondisi yang diimpikan.
Kita mungkin sudah melihat, ternyata kerja keras saja tidak mencukupi tanpa disertai kerja cerdas. Tanpa koreksi dalam program kerja lima tahun ke depan, kita mungkin akan hanya mampu memberikan harapan baru kepada media dan lembaga asing yang sering meninabobokan kita dengan sebutan ”Indonesia negara dengan potensi besar”.
Dewasa ini, bangsa di dunia menyingsingkan lengan untuk menyongsong datangnya era Revolusi Industri 4.0. Berbagai riset dan laboratorium baru dibangun, disertai curahan dana substansial untuk menguasai iptek yang diniscayakan oleh era 4.0. Tata Dunia baru akan diwarnai oleh kecerdasan buatan dan Internet of Things (IoT).
Kita sudah banyak mendengar bonus demografi, yakni banyaknya tenaga kerja Indonesia pada usia produktif. Di sisi lain, kita mendengar ada catatan, masih banyak tenaga kerja kita yang lulusan SMP. Sanggupkah kita merespons tantangan ekonomi digital dengan modal SDM berpendidikan terbatas? Kita tak ingin jatuh dalam pesimisme karena tema tajuk ini ”Terbang Tinggi” pasca-17 April. Kita wujudkan komitmen untuk membangun SDM dengan sepenuh-penuhnya.
Membaca karya Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution, tuntutan akan insan berkualifikasi canggih satu hal keniscayaan. Dengan menyebut ”superkomputer di saku”, misalnya, ia menegaskan, Revolusi Ke-4 ini berbeda dalam skala, lingkup, dan kompleksitas dari revolusi yang pernah ada sebelumnya.
Kiranya sudah cukup politik membius kita setahun terakhir ini. Kita kembali ke utang dan pekerjaan rumah yang belum kita tunaikan. Jika kita terus terlena dalam politik, satu keniscayaan pada satu pagi kita akan dikejutkan bahwa bangsa adidaya sudah mencapai Planet Mars atau sistem keuangan kita dilumpuhkan oleh satu serangan digital.
Kita berharap pemandangan yang kita lihat hari ini, sejak pagi, adalah saudara sebangsa yang dengan sukacita menuju TPS untuk melaksanakan hak pilihnya. Dalam perjalanan pulang dari TPS, kita berharap mereka sempat merenung kecil, inilah saat bangsa Indonesia menyongsong masa persaudaraan dan terbang tinggi.