Mereka Tidak Tidur Sampai Dua Hari...
Hari sudah berganti, tetapi keseluruhan proses perhitungan suara di Tempat Pemungutan Suara 010, Kelurahan Gelora, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, belum selesai. Salah satu anggota Kelompok Panitia Pemungutan Suara, Sulisetyo Rini (38), menguap lebar, mencari kursi, lalu duduk dan menyandarkan punggungnya yang pegal.
Waktu saat itu menunjukkan pukul 02.00 dini hari, Kamis (18/4/2019). Di sekitar Rini, anggota KPPS lain tengah menyalin hasil perhitungan suara Pemilihan Umum 2019 ke formulir C1 kuarto berukuran kecil. Sebagian merapikan perlengkapan pemungutan suara yang bercecer, seperti pulpen, spidol, dan lakban. Ada juga yang sejenak beristirahat karena mual akibat masuk angin.
TPS bertenda putih itu berangsur-angsur sepi. Saksi pasangan calon presiden-wakil presiden dan partai politik satu per satu meninggalkan TPS. Segelintir warga yang awalnya antusias menonton perhitungan suara, juga sudah kembali ke rumah masing-masing.
Tinggal gelas kopi dan camilan yang sudah dingin, serta seorang petugas pengamanan langsung (pamsung), yang menemani para petugas KPPS menuntaskan tugas mereka, dini hari itu.
“Kami semua lemas, badan saya rasanya seperti habis digebuk, tetapi mau bagaimana lagi, tidak mungkin main-main, namanya tugas harus diselesaikan,” kata Rini.
Proses pungut-hitung suara di TPS 010 Gelora dimulai pukul 07.00 pagi dan rampung pada 22.00 malam. Namun, proses tidak berhenti sampai di situ. Setelah proses hitung selesai, petugas KPPS menyalin hasil perhitungan suara dari formulir C1 plano berukuran besar ke formulir C1 kuarto berukuran kecil, serta mengisi laporan berita acara.
Proses menyalin formulir C1 itu dilakukan secara manual sampai seluruh saksi peserta pemilu menerima salinan formulir yang sama. Untuk saksi pilpres dan pileg saja, total salinan formulir C1 yang harus disiapkan bisa mencapai 52 rangkap. Selain untuk saksi, petugas juga harus menyiapkan salinan formulir C1 untuk panitia pengawas pemilu, panitia pemungutan suara, panitia pemilihan kecamatan, dan KPU.
Di TPS 010 Gelora, proses menyalin formulir C1 ini memakan waktu sampai empat jam. “Kalau lima tahun lagi seperti ini juga, sepertinya saya ogah jadi petugas KPPS lagi,” ujar Rini sambil tertawa kecil.
Tantangan Pemilu Serentak 2019 yang baru pertama kali diadakan dan disebut-sebut sebagai perhelatan paling rumit sedunia, memang berat. Petugas di lapangan harus menghadapi tantangan mengurusi logistik sejak H-1 pemungutan suara, kemudian menangani proses pemungutan, perhitungan, sampai rekapitulasi laporan dan berita acara untuk pemilihan presiden, DPR RI, DPRD provinsi, kabupaten/kota, dan DPD.
Upah tidak setimpal
Untuk menjalankan tugas tersebut, para anggota KPPS diberi honor Rp 500 ribu, dan ketua KPPS diberi honor Rp 550 ribu. Upah itu kemudian dipotong pajak penghasilan 5 persen, sehingga upah bersih bagi tiap anggota menjadi Rp 475 ribu dan ketua Rp 522.500. Honor di Pemilu 2019 ini lebih kecil dibandingkan Pemilu 2009. Saat itu, petugas KPPS sempat diberi honor Rp 750 ribu.
Kebijakan pemotongan pajak itu mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.010/2016 bahwa batas penghasilan bruto yang diterima pegawai tidak tetap harian dan mingguan sampai jumlah Rp 450 ribu tidak dikenakan pajak.
Rini mengatakan, upah yang ia terima sama dengan upah saat bertugas di Pilkada DKI Jakarta 2017. Padahal, beban tugas di pemilu kali ini lebih berat. Sebagai pembanding, ujarnya, saat pilkada, seluruh proses pungut-hitung di TPS sudah selesai sejak 18.00 sore.
“Pemerintah mungkin berpikir mau menghemat, jadi pemilu digabungin jadi satu, tetapi dampaknya tenaga kami yang diperas. Tugas lebih berat, tapi upahnya lebih sedikit daripada waktu pilkada, ini, kan kebangetan. Saya di sini masih mending, bagaimana yang di daerah-daerah sana?” keluhnya.
Tidak hanya di tingkat TPS, kelelahan juga dirasakan panitia di tingkat kecamatan menjelang proses rekapitulasi suara. Saat ditemui di Gelanggang Olahraga Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Kamis, pukul 14.00 siang, Ketua Panitia Pemilihan Kecamatan Mampang Prapatan, Zulfahmi (56), sedang sibuk mempersiapkan pembukaan rekapitulasi suara.
Zulfahmi belum tidur sejak Rabu pagi karena harus menjaga kelengkapan logistik pemilu serta berkeliling memantau kelancaran pungut-hitung di tiap TPS di Mampang. Ia juga memutuskan menunggu di GOR semalaman untuk berjaga-jaga jika ada kotak suara yang diantar panitia pemungutan suara (PPS).
Di sekelilingnya, kardus hasil pemungutan suara dari 434 TPS di Mampang satu per satu berdatangan. Sebanyak 1.736 kotak suara itu ditumpuk memadati ruangan GOR untuk kemudian direkapitulasi.
Siang itu, saksi dan perwakilan PPS sudah berdatangan untuk memantau proses rekapitulasi. Namun, akhirnya, proses disepakati ditunda sampai Jumat (19/4/2019) akibat banyak petugas yang kelelahan. “Dimulainya besok (Jumat) saja. Untuk sekarang, semua tidur saja dulu. Masya Allah, belum tidur kami dari kemarin,” ujar Zulfahmi sembari menggelengkan kepalanya.
Di Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, proses rekapitulasi juga diputuskan ditunda sehari sampai Jumat. Ketua PPK Tanah Abang Ahmad Syahrizal mengatakan, itu dikarenakan banyak anggota PPS dan saksi peserta pemilu yang mengeluh kurang tidur. Apalagi, ada beberapa anggota PPK dalam kondisi kurang sehat akibat baru selesai operasi.
“Kalau tidak istirahat dulu, bisa-bisa drop lagi, atau tidak teliti saat merekap. Sudah konsekuensi pekerjaan, kami harus atur waktu, karena KPU tidak mengganti (biaya) kalau ada yang sakit,” kata Syahrizal.
Evaluasi total
Proses perhitungan suara yang panjang dan melelahkan terjadi di semua wilayah di Indonesia. Di beberapa daerah lain, perhitungan suara bahkan ada yang berlangsung sampai siang hari berikutnya karena petugas kelelahan. Proses di daerah lebih lama dari Jakarta karena total ada lima jumlah surat suara, termasuk pemilihan anggota DPRD tingkat kabupaten/kota.
Proses perhitungan suara yang panjang dan melelahkan terjadi di semua wilayah di Indonesia. Di beberapa daerah lain, perhitungan suara bahkan ada yang berlangsung sampai siang hari berikutnya karena petugas kelelahan.
Tumpukan tugas dan kondisi fisik yang lemah akibat kurang tidur sampai menyebabkan sejumlah petugas KPPS di berbagai daerah meninggal dunia akibat kelelahan. KPU Jawa Barat mencatat, 10 petugas KPPS-nya meninggal dunia saat atau sesudah bertugas. Mereka berasal dari Pangandaran, Garut, Tasikmalaya, Purwakarta dan Ciamis.
Di luar itu, ada beberapa petugas KPPS di wilayah lain yang juga terpantau meninggal akibat kelelahan setelah menghitung suara di TPS selama dua hari non-stop. Di media sosial, ungkapan berdukacita dan berbelasungkawa terhadap jasa para petugas itu disampaikan warga net dengan menyertakan tagar #MartirDemokrasi.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mengatakan, ke depan, perlu dilakukan evaluasi total terhadap skema penyelenggaraan pemilu serentak. Skema pemilu dengan lima surat suara, ujarnya, terbukti tidak kompatibel dengan kapasitas beban yang harus ditanggung para petugas penyelenggara, peserta pemilu, dan pemilih.
Dari aspek teknis, proses pungut-hitung harus dibuat lebih sederhana dengan mengurangi beban pengisian formulir yang terlalu banyak. Rekapitulasi elektronik, ujarnya, menjadi keniscayaan yang harus dicoba ke depan, agar hasil lebih cepat tersaji dan petugas di TPS tidak perlu kelelahan dengan tumpukan formulir yang harus diisi secara manual.
Aspek insentif bagi para penyelenggara pun selayaknya menjadi perhatian KPU ke depan. “Selama ini, insentif bisa dikatakan sangat minim, ditambah tidak ada jaminan terhadap asuransi kesehatan maupun kematian akibat beban kerja yang cenderung tidak manusiawi dari sisi beban dan durasi kerja,” ujar Titi.
Agar distribusi beban kerja lebih rasional, pemilu serentak berikutnya tidak perlu diadakan sekaligus dalam satu hari untuk lima surat suara, melainkan dipisah.
Ia menilai, agar distribusi beban kerja lebih rasional, pemilu serentak berikutnya tidak perlu diadakan sekaligus dalam satu hari untuk lima surat suara, melainkan dipisah.
Pemilu serentak nasional dapat dilakukan terlebih dahulu untuk memilih presiden-wapres, DPR RI, dan DPD. Disusul, pemilu serentak daerah untuk memilih DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan kepala daerah. Jeda antara masing-masing pemilu bisa berkisar 30 bulan atau 2,5 tahun.
“Skema pemilu lima surat suara seperti ini tidak bisa lagi dilanjutkan, ini tidak rasional dan tidak sepadan dengan kapasitas ragawi manusia,” katanya.