Sejak Jenderal Khalifa Haftar menginstruksikan pasukannya menyerang Tripoli, 4 April, pendekatan solusi politik di Libya yang digalang PBB menjadi terkubur. Tindakan Haftar menyerang Tripoli itu dimaksudkan memberi pesan bahwa solusi di Libya hanya melalui opsi militer, bukan politik. Pesan itu sangat jelas.
Haftar melancarkan operasi militer ke Tripoli hanya beberapa hari sebelum digelarnya konferensi rekonsiliasi nasional Libya yang digalang PBB di kota Ghadames, Libya barat.
Bahkan, serangan pasukan Haftar ke Tripoli itu dilancarkan saat Sekjen PBB Antonio Guterres berada di Tripoli untuk menyiapkan konferensi rekonsiliasi nasional Libya. Konferensi ini sedianya akan digelar pada 14-15 April. Utusan Khusus PBB untuk Libya Ghassan Salameh pun terpaksa menunda pelaksanaan konferensi itu hingga waktu yang tidak ditentukan. Padahal, PBB menaruh harapan tinggi bahwa konferensi rekonsiliasi Libya di Ghadames bakal menjadi titik tolak menuju solusi politik yang komprehensif di Libya.
Selain itu, pemerintah kesepakatan nasional (GNA) pimpinan PM Fayez al-Sarraj yang berkuasa di Tripoli juga lahir dari kesepakatan dalam konferensi Libya di kota Skhirat, Maroko, Desember 2015, di bawah sponsor PBB. Karena itu, PBB menjadi pihak paling terpukul dari serangan Haftar ke Tripoli karena serangan ini membuyarkan semua rancangan solusi yang diusung PBB.
Kini, masa depan Libya tak lagi ditentukan di Ghadames, tetapi ditentukan dari hasil pertempuran di Tripoli dan sekitarnya antara pasukan Haftar dan pasukan loyalis GNA.
Haftar sangat optimistis bisa mudah menaklukkan Tripoli, semudah ia menaklukan kota Benghazi (Juli 2017), kota Derna (8 Mei 2018), kota-kota di Libya selatan (15 Januari 2019), dan kota-kota di Libya barat daya (28 Februari 2019).
Sebelum menyerang Tripoli, Haftar telah menguasai 60-70 persen wilayah keseluruhan Libya. Sisa wilayah yang belum dikuasai Haftar tinggal wilayah Libya barat dan tengah yang bertepi ke Laut Tengah, seperti Sirte, Misrata, dan Tripoli.
Perang proksi
Keberhasilan Haftar menguasai hingga 70 persen wilayah Libya berkat bantuan Mesir, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA). Perancis dilansir juga ikut membantu Haftar.
Haftar mampu membangun narasi perang melawan teroris di Libya sehingga mudah dapat bantuan negara-negara regional yang juga gencar melancarkan perang melawan teroris, seperti Mesir, UEA, dan Arab Saudi. Dalam konteks geopolitik, Haftar masuk gerbong koalisi Mesir, UEA, dan Arab Saudi.
Sebaliknya, GNA di Tripoli dikenal juga didukung Turki dan Qatar. Italia juga pendukung kuat GNA. Maka, perang Tripoli saat ini bisa disebut perang proksi antara Mesir, UEA, Arab Saudi, dan Perancis di satu pihak melawan Qatar, Turki, dan Italia di pihak lain.
Karena itu, sangat tidak mudah salah satu pihak bisa mengalahkan pihak lain dalam perang Tripoli. Kedua pihak sama-sama memiliki dukungan kuat dari negara regional.
Hingga kini, dalam pertempuran Tripoli, persisnya di selatan dan barat daya Tripoli, belum ada tanda-tanda salah satu pihak akan menang. Padahal, kedua pihak sudah mengerahkan semua senjata yang dimiliki, seperti artileri, rudal, dan pesawat tempur.
Pertempuran secara umum berjalan imbang dan berkecamuk sekitar 20-40 kilometer di selatan, tenggara, dan barat daya kota Tripoli. Pasukan Haftar sampai kini masih gagal menembus pertahanan pasukan loyalis GNA dan tidak bisa masuk pusat kota Tripoli.
Tripolitania vs Cyrenaica
Gagalnya pasukan Haftar mendobrak kota Tripoli karena PM Sarraj di luar dugaan berhasil dengan cepat menyatukan sekaligus memobilisasi dukungan semua milisi bersenjata di Libya barat, khususnya milisi dari kota Misrata, untuk melawan pasukan Haftar.
Sarraj berhasil mengembuskan lagi persaingan Libya timur dan barat dalam sejarah Libya sehingga menyatukan barisan Libya barat. Dalam sejarah Libya, dikenal persaingan antara Tripolitania (Libya barat) dan Cyrenaica (Libya timur) di semua aspek kehidupan: politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Padahal, selama ini milisi-milisi bersenjata di Libya barat tidak bersatu dan bahkan berperang satu sama lain. Perang terbesar antara milisi-milisi di Libya barat terjadi pada 2014 untuk berebut pengaruh di Tripoli, mengakibatkan bandara internasional Tripoli saat ini tak bisa digunakan karena hancur akibat perang itu.
Perang besar itu berandil dalam tercapainya kesepakatan Skhirat tahun 2015 yang melahirkan GNA pimpinan PM Sarraj. Di bawah GNA, wilayah Libya barat sejak tahun 2015 sampai saat ini relatif lebih stabil. Namun, GNA tidak diakui Haftar dan parlemen Libya hasil pemilu 2014 pimpinan Aqila Salah di Tobruk, Libya timur.
Berbagai upaya regional dan internasional telah dilakukan untuk menyatukan Haftar dan Sarraj sejak 2016, tetapi semua upaya itu gagal. Akhirnya Haftar memilih opsi militer dengan menyerang Tripoli, mulai 4 April, untuk menumbangkan GNA pimpinan Sarraj.
Namun, Tripoli bukan Benghazi dan Derna yang mudah ditaklukkan. Haftar salah kalkulasi saat menganggap Tripoli seperti Benghazi dan Derna. Jalannya pertempuran di sekitar Tripoli sejak 4 April hingga hari ini menunjukkan, pasukan Haftar masih kewalahan dan sering dipukul mundur koalisi milisi Libya barat loyalis GNA.
Ada tiga skenario Libya ke depan. Pertama, Haftar memenangi perang di Tripoli dan Libya akan menjadi negara di bawah kontrol militer seperti di Mesir. Kedua, Haftar gagal masuk Tripoli dan terpaksa kembali ke opsi politik. Dalam hal ini, GNA berada di atas angin dan bisa mendikte kesepakatan politik. Ketiga, Haftar gagal masuk Tripoli dan memilih memecah Libya: Libya timur di bawah kontrol Haftar dan Libya barat di bawah Sarraj.