Tersesat Tengah Malam di Kota Sunyi Hakodate
Ketika mengeksplorasi daerah asing, aplikasi navigasi Google Maps pada ponsel pintar selalu jadi andalan. Bisa juga dengan cara konvensional, bertanya kepada penduduk setempat. Namun, apa jadinya jika dua cara itu tak bisa digunakan? Terlebih kejadiannya di tengah malam buta.
Pengalaman itu saya dapati saat mengikuti familiarization trip (pengenalan) oleh Japan National Tourism Organization (JNTO), pertengahan Februari 2019. Rombongan yang terdiri dari lima wartawan dan satu bloger asal Indonesia diajak mengelilingi kota-kota di Pulau Hokkaido, Jepang.
Setelah empat hari mengunjungi sejumlah kota di Hokkaido, seperti Sapporo, Otaru, Noboribetsu, Toyako, dan Onuma, pada Kamis (14/2/2019) kami tiba di kota terakhir, Hakodate. Hakodate ialah kota pelabuhan yang terletak di wilayah selatan Hokkaido. Penduduknya hanya 280.000 jiwa.
Di Hakodate, kami ke sejumlah destinasi wisata. Mulai dari Menara Goryokaku untuk menikmati pemandangan Benteng Goryokaku dari ketinggian, Gunung Hakodate dengan menggunakan kereta gantung, area Gudang Bata Merah, hingga makan malam di restoran makanan khas Jepang.
Sekitar pukul 20.30, kami tiba di hotel. Seperti pada hari-hari sebelumnya, pemandu perjalanan menyarankan untuk beristirahat ketimbang keluar dari hotel. Bukan karena faktor ketidakamanan, melainkan suhu udara yang bisa di bawah minus 5 derajat pada malam hari menjadi dasar saran tersebut.
Entah kenapa, saat itu saya berpikir harus memanfaatkan malam terakhir di Jepang dengan keluar hotel. Menikmati suasana malam sudah saya lakukan pula di kota-kota kunjungan sebelumnya, seperti Sapporo yang merupakan ibu kota Hokkaido. Sapporo cukup ramai meski tentu kalah ramai dibandingkan Tokyo.
Sementara Hakodate tak begitu ramai. Jarang ada gedung tinggi. Namun, sejak tiba di Hakodate, saya merasakan daya tarik yang kuat dari kota ini. Antara lain karena suasana kota yang tenang, lalu lintas yang tidak padat, hingga sejumlah bangunan bercorak Eropa. Pelabuhan Hakodate memang menjadi salah satu pelabuhan pertama di Jepang yang membuka perdagangan internasional.
Daya tarik itu yang akhirnya mendorong saya keluar dari hotel untuk menjelajahi Hakodate pada malam hari. Sementara sebagian besar anggota rombongan yang mayoritas perempuan memilih beristirahat. Ada juga yang memilih menikmati kehangatan di bar yang tak terlalu jauh dari hotel.
Dengan sedikit nekat, saya bergerak menjauhi hotel. Salah satu tujuan adalah iluminasi cahaya di Stasiun JR Hakodate yang berjarak sekitar 1 kilometer dari hotel. Di halaman stasiun, kerlip cahaya menarik perhatian. Saya mengambil gambar dan mengumpulkan informasi sebagai bahan tulisan pariwisata di Hakodate.
Dari stasiun, saya tergerak semakin mengeksplorasi suasana malam di Hakodate. Dengan kostum jaket tebal, sarung tangan, dan penutup telinga untuk menahan angin musim dingin yang menusuk kulit, saya berjalan terus dan semakin jauh dari hotel dan Stasiun JR Hakodate. Saya merasa tenang karena merasa cukup dengan bekal ponsel serta Wi-Fi saku yang dipinjamkan panitia selama di Jepang.
Saat itu sekitar pukul 21.30. Saya berjalan ke arah utara melewati permukiman di Hakodate. Sejumlah kendaraan yang terparkir di halaman rumah tampak tertutup salju. Nyaris tidak ada aktivitas di luar rumah saat itu. Sepertinya, warga setempat sudah beristirahat atau menghangatkan badan di dalam rumah.
Saya juga melewati Menara Goryokaku yang menjulang setinggi 107 meter. Menara ini dibuka untuk umum pukul 09.00-18.00. Saat melewati observasi deknya, pengunjung bisa melihat indahnya Benteng Goryokaku yang berbentuk bintang bersudut lima dari ketinggian.
Benteng yang dibangun pada 1857-1864 itu menjadi saksi saat-saat akhir periode isolasi atau tertutup dari dunia luar pada masa pemerintahan Keshogunan Tokugawa. Di observasi dek, terdapat pula diorama yang menjelaskan sejarah peralihan tersebut. Malam itu, tentu saja saya hanya melihatnya dari luar.
Baca juga : Singgah di Hakodate
Baca juga : Memacu Adrenalin di Bukit Bersalju Rusutsu
Saya terus bergerak ke arah utara dan tak terasa sudah berjarak 6 kilometer dari hotel. Di sekitar kawasan Mihara, dekat Mega Don Quijote Hakodate (toko ritel diskon), saya berencana untuk kembali hotel. Kaki juga sudah lumayan pegal. Ingin rasanya naik kendaraan umum. Namun, taksi tak mungkin karena ongkosnya terkenal luar biasa mahal. Mau tidak mau, ya, kembali jalan kaki.
Saya lalu membuka ponsel dari saku untuk kembali membuka Google Maps. Kaget, karena tidak ada sinyal internet. Setelah dicek, ternyata baterai Wi-Fi saku yang saya bawa habis. Saya membawa power bank, tetapi sialnya kabel data Wi-Fi saku tertinggal di hotel. Bagaimanapun caranya, saya harus kembali ke hotel.
Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul 23.00. Mau tidak mau, saya berjalan pulang dengan mengingat-ingat kembali rute yang saya lalui ketika berangkat. Daya ingat saya benar-benar diasah malam itu. Namun, masalahnya, saat berangkat, saya melewati banyak jalan permukiman dengan lebar hanya sekitar 6 meter.
Di setiap persimpangan, saya mencoba mengingat sejumlah bangunan, benda, dan segala hal apa pun yang sebelumnya dilewati. Bentuk rumah warga, apartemen, kendaraan yang terparkir, rumah sakit, gerai laundry, hingga mesin jual otomatis (vending machine) cukup membantu ingatan saya.
Satu hal yang membuat saya agak tenang ialah adanya sejumlah convenience store, seperti 7 Eleven dan Lawson, yang buka 24 jam. Namun, selama merasa masih berada di jalur yang benar, saya tidak bertanya dulu dan memilih untuk terus melanjutkan perjalanan.
Meski melewati jalanan yang sepi, tingkat kriminalitas yang rendah di Jepang membuat segalanya terasa aman. Bahkan, saya juga beberapa kali berpapasan dengan siswi sekolah berseragam yang tengah berjalan di trotoar. Namun, bagaimanapun, saya harus tetap menjaga kewaspadaan.
Setelah melalui separuh jalan pulang, saya merasa telah salah mengambil jalan. Namun, saya yakin belum tersasar terlalu jauh karena hanya salah satu belokan. Saya pun mencari convenience store terdekat untuk bertanya, sekaligus membeli air mineral.
Saya mencoba menanyakan arah jalan ke pelabuhan kepada kasir dengan bahasa Inggris, tetapi tampaknya ia tidak terlalu memahami. Saya lalu bertanya di mana Stasiun JR Hakodate. ”Ah, stasiong!” katanya. Dengan menggunakan tangan, ia mengarahkan untuk lurus dan belok kiri. Saya berterima kasih.
Dari sana, saya semakin ingat jalan menuju hotel. Hingga akhirnya, pada pukul 01.00 saya tiba dan beristirahat. Sungguh pengalaman yang tak akan saya lupakan. Ini sekaligus menjadi pelajaran bagi saya agar lebih teliti dalam membawa perlengkapan saat bepergian, terlebih di daerah yang sebelumnya tak pernah didatangi.
Dari perjalanan malam itu, juga selama di Jepang, saya belajar akan pentingnya kedisiplinan yang tanpa kompromi. Bagaimana warga Jepang, dan mungkin sejumlah negara maju lain, begitu menaati peraturan. Sebab, satu kelalaian bisa berdampak kepada orang lain. Kepentingan orang lain diutamakan.
Seperti menyeberang di lampu lalu lintas, yang baru berjalan jika benar-benar sudah lampu hijau. Di Indonesia, sering kali kita tetap menyeberang meski sedang lampu merah karena kendaraan yang melintas tampak masih jauh.
Saya meyakini, warga Jepang bukan melakukannya demi peraturan atau takut dianggap melanggar, tetapi karena budaya disiplin yang tertanam sejak lama. Budaya tentang mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.
Baca juga : Mengarungi Pedalaman Papua dengan Sisa Saraf Terjepit
Baca juga : Liputan Saat Hamil, Jatuh dari Motor hingga Menginap di Kantor Polisi
Selama di Jepang, saya dan beberapa anggota rombongan ditegur pemandu karena terlambat berkumpul meski sekadar 2-3 menit. Pada satu kesempatan, bus yang menunggu kami di lobi tidak dapat segera berangkat karena menunggu seluruh anggota rombongan naik. Saat itu, beberapa dari kami masih mengambil gambar Danau Toya. Akibatnya, bus-bus lain mengular di lobi karena terhambat bus kami.
Belajar dari teguran itu, bahkan saya terpaksa tak sarapan pada pagi terakhir (di hotel) di Jepang demi mengambil gambar dan mengumpulkan informasi di Distrik Motomachi. Distrik itu menjadi representasi masuknya pengaruh budaya Eropa di Hakodate karena banyaknya bangunan dengan arsitektur khas Eropa. Dengan semua yang saya alami, arigatou gozaimasu, Hakodate....