Tak Alpa Memitigasi Ramadhan
Pemilihan presiden dan legislatif secara serentak telah berlangsung damai pada 17 April 2019. Meski demikian, hiruk pikuk pesta demokrasi belum sepenuhnya usai. Kedua kubu masih harus bersabar menunggu keputusan Komisi Pemilihan Umum pada Mei 2019. Proses Pemilu yang telah dimulai sejak 20 September 2018 dirasakan cukup melelahkan, terutama bagi dunia usaha.
Bagaimanapun hajat politik ini menyebabkan kinerja pemerintah tidak optimal, baik eksekutif maupun legislatif. Enam bulan terakhir, jarang sekali media memberitakan kebijakan-kebijakan penting di bidang ekonomi, baik hasil dari rapat kabinet terbatas maupun sidang-sidang di Senayan.
Setiap hari liputan, berita, dan pembahasan media didominasi isu politik pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg). Padahal, pada pertengahan Mei 2019, kurang dari dua minggu, umat Muslim akan memasuki bulan suci Ramadhan. Biasanya, sebulan menjelang Ramadhan, berita utama berbagai media diwarnai laporan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok dari sejumlah daerah. Pertanyaannya, apakah harga-harga memang terkendali atau pemberitaan media masih fokus pada hasil pilpres dan pileg?
Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal April 2019 menunjukkan, angka inflasi sepanjang Januari-Maret 2019 baru mencapai 0,35 persen atau 2,48 persen sejak tahun lalu. Bahkan, Maret 2019, bahan makanan masih mencatat deflasi 0,01 persen (mtm). Namun, BPS juga mengingatkan bahwa secara tahunan inflasi bahan makanan pada Maret 2019 tercatat 0,56 persen secara tahunan, sementara kelompok makanan menjadi 3,58 persen dan kelompok energi 1,1 persen.
Sekalipun angka inflasi BPS masih tergolong terkendali, antisipasi dan mitigasi potensi kenaikan harga tak boleh kendor. Pasalnya, pada pertengahan April harga bawang putih melonjak menjadi Rp 44.350 per kilogram atau naik 26,89 persen dibandingkan pada awal April 2019. Secara historis, kenaikan harga satu jenis komoditas pangan cukup rentan dan cepat menjalar ke komoditas lain.
Di samping itu, masyarakat masih banyak yang mengeluhkan tingginya harga tiket pesawat pada seluruh penerbangan domestik. Padahal, tradisi mudik saat Lebaran sudah pasti kebutuhan sarana transportasi akan melonjak. Artinya, sekalipun pemerintah tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), tingginya tiket pesawat udara dikhawatirkan berdampak pada kenaikan tarif moda transportasi substitusinya.
Di tengah masih lesunya pertumbuhan ekonomi, hari raya harus dimanfaatkan secara optimal untuk nendongkrak pengeluaran rumah tangga. Apalagi Indonesia memiliki ”kemewahan” tradisi mudik saat Lebaran yang menyebar di seluruh penjuru Nusantara. Agar potensi ini tidak hilang, gairah sisi permintaan ini harus diimbangi dengan ketersediaan dan distribusi sisi pasokan yang cukup dan merata. Ditambah lagi, sepanjang pilpres dan pileg disinyalir memberikan dampak positif terhadap peningkatan pengeluaran masyarakat.
Setidaknya hal itu tecermin dari peningkatan fantastis pada pengeluaran lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (LNPRT). Pada setiap terjadi pilkada serentak, PNRT tumbuh diatas 8 persen. Pemilu serentak pada 17 April 2019, diprediksi mendongkrak pengeluaran LNPRT menembus dua digit pada triwulan II-2019. Demikian juga pengeluaran pemerintah, baik dalam bentuk bantuan sosial, dana desa, maupun pengeluaran rutin lain yang akan tumbuh di atas 6 persen.
Tentu sangat disayangkan jika momentum itu tidak memberikan efek ganda (multiplier effect) terhadap peningkatan konsumsi rumah tangga. Juga yang berujung pada peningkatan investasi dan produktivitas di dalam negeri. Sebagai ilustrasi, pengalaman ”hilangnya” momentum Lebaran tahun 2018, yaitu berbagai amunisi menjelang Lebaran hanya mampu mendongkrak kegiatan konsumtif belaka dan lebih dimanfaatkan oleh penetrasi barang impor. Memang, ekonomi triwulan II-2018 tumbuh melesat, mencapai 5,27 persen (YOY).
Sayangnya, menyisakan besarnya data inventori atau persediaan yang masih tersimpan di sejumlah gudang perusahaan. Pasalnya, kenaikan produksi yang dilakukan berbagai sektor dunia usaha dalam mengantisipasi lebaran tidak diikuti kenaikan omzet penjualan sampai Lebaran usai.
Padahal, dalam kondisi normal omzet penjualan selama Lebaran diharapkan berkontribusi sekitar 30 persen terhadap total penjualan dalam satu tahun. Alhasil, justru terjadi perlambatan pertumbuhan pada triwulan III dan IV-2018 akibat stagnannya pertumbuhan investasi, terutama pada sektor industri manufaktur.
Oleh karena itu, hal yang paling utama adalah amunisi menguatnya dorongan konsumsi masyarakat tersebut harus dioptimalkan memacu sisi produktivitas nasional. Kunci awalnya tentu menjaga stabilitas harga bahan kebutuhan pokok, terutama komoditas pangan pokok. Impor pangan tentu masih dibutuhkan, tetapi harus ada pengendalian secara optimal impor barang konsumsi.
Tak terkecuali impor barang konsumsi yang terkait dengan lifestyle yang akan meningkat seiring pemenuhan kebutuhan Lebaran, termasuk impor berbagai produk kebutuhan rumah tangga dan produk pangan olahan. Dengan demikian penetapan kuota impor pangan harus berdasarkan data yang valid, tak terkecuali juga pengawasan terhadap potensi masuknya berbagai impor barang konsumsi ilegal atau yang tidak sesuai dengan dokumen resmi.
Selanjutnya antisipasi kelancaran distribusi barang harus dipersiapkan dengan formulasi yang matang. Hal paling sederhana, pemberlakuan skema atau pengaturan operasional kendaraan niaga menjelang Lebaran harus dipersiapkan dan tidak mendadak. Tim pemantau inflasi daerah (TPID) dapat dioptimalkan guna mengantisipasi sejak dini neraca kebutuhan dan pasokan barang pokok dan penting setiap daerah.
Dengan antisipasi dan mitigasi yang optimal, niscaya pascapemilu dan memasuki bulan suci Ramadhan kondisi perekonomian akan semakin kondusif. Siapa pun pemenangnya, yang pasti Kabinet Kerja pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla masih memegang mandat sampai Oktober 2019. Artinya, kendali menciptakan stabilitas perekonomian masih harus tetap ditunaikan. Tentu, masyarakat sangat berharap hari raya Idul Fitri 2019 akan mulai terjadinya tradisi baru. Lebaran akan dipenuhi sukacita menggeliatnya berbagai kegiatan ekonomi dalam negeri, tidak lagi tekanan karena harga membubung tinggi.