Makanan yang mengandung bahan atau zat berbahaya masih banyak beredar luas. Warga diharapkan waspada memilih makanan saat berbelanja.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS—Makanan yang mengandung bahan atau zat berbahaya masih banyak beredar luas. Warga diharapkan waspada memilih makanan saat berbelanja.
Kepala Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Yogyakarta Rustyawati mengungkapkan, menjelang masa Ramadhan 2019, yang akan tiba pada awal Mei, masih ada saja oknum penjual yang berbuat “nakal” dengan menjual makanan yang mengandung bahan berbahaya. Kecermatan perlu lebih ditingkatkan agar masyarakat tidak ikut mengonsumsi makanan yang membahayakan kesehatan tubuh itu.
“Jumlah temuannya sekitar 17 persen dari 87 sampel makanan masih terdapat bahan berbahaya. Itu diambil dari bermacam-macam produk di pasar-pasar yang ada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Yang kami ambil sebagai sampel adalah pedagang yang kami curigai menjual makanan dengan zat berbahaya,” kata Rustyawati, di kompleks Kepatihan, Kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta, Selasa (23/4/2019).
Rustyawati menyatakan, persentase tersebut cenderung menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, di mana peredaran makanan dengan kandungan zat berbahaya bisa mencapai lebih dari 20 persen. Namun, masih beredarnya makanan berbahaya tersebut tetap tidak bisa membuat masyarakat berbelanja dengan rasa aman.
Jumlah temuannya sekitar 17 persen dari 87 sampel makanan masih terdapat bahan berbahaya. Itu diambil dari bermacam-macam produk di pasar-pasar yang ada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Yang kami ambil sebagai sampel adalah pedagang yang kami curigai menjual makanan dengan zat berbahaya
Makanan dengan kandungan zat berbahaya yang masih beredar tersebut, yaitu ikan asin dan kerupuk. Zat berbahaya yang terkandung dalam makanan itu antara lain boraks, formalin, dan rhodamin.
Rustyawati menyampaikan, untuk makanan berjenis kerupuk itu harus dilihat warnanya. Jika warna dari kerupuk cenderung cerah, layak dicurigai bahwa kerupuk itu mengandung pewarna buatan. Sementara itu, untuk makanan berjenis ikan asin, yang dijual tidak dalam kondisi basah itu tidak menggunakan pengawet buatan. Ikan asin tanpa pengawet itu seharusnya dijual dalam kondisi kering.
Pekan lalu, BBPOM Yogyakarta juga sempat memusnahkan mi berformalin sebanyak 29,5 kg dengan cara dibakar. Jumlah tersebut sisa dari 50 kg mi yang sudah berhasil dijual oleh distributornya, di pasar yang terdapat di Bantul dan Kota Yogyakarta. Mi tersebut masih beredar diduga karena masih mempunyai peminatnya sendiri.
Rustyawati menyatakan, sejauh ini cara yang paling ampuh untuk menekan peredaran makanan berbahaya itu adalah dengan rajin memantau peredaran makanan tersebut di pasar. Selama ini, pasar yang paling sering didatangi petugas semakin sedikit temuan makanan dengan bahan berbahaya. Hal sebaliknya terjadi di pasar yang jarang dipantau petugas.
“Di satu sisi, penjual kurang kooperatif. Mereka menyembunyikan orang yang mengirimi makanan berbahaya yang mereka jual itu. Kebanyakan hanya bilang dapat makanan tersebut dari sales keliling. Jika begitu, kami kesulitan mencari pelaku sebenarnya,” kata Rustyawati.
Kepala Subdirektorat Industri dan Perdagangan, Direktorat Reserse Kriminal Khusus, Polda DIY, Ajun Komisaris Besar Andreas Dedi Wijaya menyampaikan, pihaknya berkoordinasi dengan BBPOM guna mencegah peredaran makanan berbahaya tersebut. Tidak hanya itu mereka juga mengantisipasi agar tidak ada makanan kadaluarsa, daging gelonggongan, serta daging oplosan yang beredar di pasaran.
Dedi mengatakan, Januari lalu, pihaknya baru saja menangkap seorang pedagang yang menjual daging sapi oplosan. Pelaku menjual daging sapi tetapi dicampur dengan daging babi hutan. Saat ini, pelaku masih menjalani proses hukum dari jajaran Polres Gunung Kidul.