Sekitar satu bulan yang lalu, tepatnya 13 Maret 2019, Indonesia dikagetkan dengan dikeluarkannya pengumuman oleh Komisi Eropa , yaitu ”Delegated Act, Renewable Energy Directive” II (RED II), yang isinya, antara lain, tidak direkomendasi- kannya minyak kelapa sawit mentah (CPO) sebagai bahan bakar nabati di wilayah Eropa.
RED II ini berpotensi memasukkan CPO dalam kelompok tanaman pangan yang berisiko tinggi terhadap alih fungsi lahan secara tidak langsung. Pengumuman ini membuat berang Pemerintah RI karena Uni Eropa melakukan diskriminasi terhadap CPO dibandingkan dengan minyak dari biji bunga matahari (sun flower oil) dan minyak kedelai (soybean oil) dengan mengancam akan melakukan boikot terhadap produk-produk Eropa apabila Komisi Eropa tidak mengubah keputusannya.
Selain itu, Pemerintah RI juga akan membawa kasus ini ke Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) untuk mendapat keadilan karena Indonesia menganggap adanya kebijakan yang menimbulkan diskriminasi terhadap CPO yang berakibat terancamnya ekspor Indonesia ke Uni Eropa dan merugikan sekitar 20 juta orang yang terlibat langsung dengan industri CPO. Ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa adalah sekitar 15 persen dari total produksi CPO Indonesia.
Masa waktu dua bulan
Pengumuman tersebut akan berlaku selama dua bulan sejak 13 Maret yang berarti akan jatuh tempo pada 13 Mei 2019. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada publik termasuk negara produsen CPO untuk menanggapi dan memberikan bukti-bukti yang cukup untuk mematahkan alasan mengapa CPO digolongkan berisiko tinggi terhadap alih fungsi lahan.
Masalah yang kita hadapi adalah data luas area perkebunan sawit yang berbeda antara tiga instansi pemerintah, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pusat Statistik (BPS), dan Kementerian Pertanian. Perbedaan ini diakui secara terbuka (Jakarta Post, 4/4/2019). Selain itu, masalah deforestasi yang selama ini dipersoalkan oleh lembaga swadaya masyarakat (NGO) pencinta lingkungan, yang telah diupayakan penanganannya, selama ini juga masih belum membuahkan hasil.
Memang cukup berat perjuangan Indonesia untuk meyakinkan Komisi Eropa selama pekerjaan rumah belum dapat diselesaikan.
Pertanyaannya, mengapa Indonesia begitu berang? Apakah memang pengumuman RED II tersebut secara tiba-tiba atau tidak ada transparansi dalam membuat atau akan mengeluarkan pengumuman suatu directive yang akan mempunyai dampak terhadap negara lain? Apakah Indonesia sudah melakukan pendekatan politik dan teknis kepada Komisi Eropa dengan menyampaikan keberatan Indonesia dengan bukti-bukti ilmiah disertai data pendukung?
Pertanyaan ini penting untuk kita ketahui dan dalami karena ini akan menyangkut kredibilitas Indonesia di mata dunia, sebelum kita mengancam akan melakukan boikot atau meretaliasi produk-produk Eropa, seperti pesawat terbang dan minuman beralkohol.
Sikap Indonesia
Ancaman yang disampaikan Indonesia rasanya masih sangat prematur karena kita masih punya waktu untuk melakukan pendekatan sampai dengan tanggal 13 Mei 2019. Dalam satu bulan ini Indonesia harus intens melakukan pendekatan dan pembahasan dengan Komisi Eropa. Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad telah berkirim surat bersama kepada Komisi Eropa pada 8 April 2019 (Kompas, 9/4/2019). Diharapkan, ini sebagai pembuka jalan untuk mencari titik temu yang harus kita yakinkan dengan data secara teknis dan ilmiah, tidak cukup dengan retorika politik.
Apabila tidak tercapai kesepakatan dan Komisi Eropa tetap pada pendiriannya yang kemudian secara definitif menetapkan Delegated Act, RED II, setelah jangka waktu dua bulan terlampaui, Indonesia harus bersiap-siap menempuh penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) di WTO.
Jadi tidak serta-merta menunjukkan sikap berang akan memboikot atau melakukan retaliasi. Untuk melakukan retaliasi pun ada tata caranya. Kalau negara yang kalah dalam jangka waktu tertentu tidak melaksanakan rekomendasi DSB WTO, negara yang menang dalam sengketa dapat meminta mandat kepada DSB WTO untuk melakukan retaliasi, baik dalam bentuk retaliasi pada produk yang sama maupun cross retaliation dalam nilai yang sama juga.
Lantas, apakah pengumuman Komisi Eropa itu tiba-tiba? Rasanya tidak mungkin dan biasanya komisi Eropa mempunyai prosedur standar operasi (SOP). Suatu pengumuman yang akan diambil didahului pembahasan intensif mengenai isu tersebut.
Dan kalau Indonesia mempunyai atau menyewa perusahaan pelobi, biasanya perusahaan pelobi tersebut akan melakukan pendekatan dan memberikan informasi serta apa saja yang harus dilakukan dengan mengumpulkan semua bahan yang dibutuhkan dan mempresentasikan dalam pertemuan-pertemuan dengan Komisi Eropa.
Kalau Indonesia sudah melakukan semua usaha (termasuk menerbitkan surat bersama Presiden RI dan PM Malaysia kepada Komisi Eropa, 8 April 2019) dan ternyata hasilnya tidak seperti yang diharapkan, tentu kita perlu meminta penjelasan yang lebih rinci, apa yang mendasari keputusan Komisi Eropa mengklasifikasikan CPO sebagai berisiko tinggi. Di sinilah Indonesia harus fokus dan membuktikan argumen Komisi Eropa tidak berdasar.
DSB WTO
WTO adalah organisasi perdagangan multilateral yang rules based dan non-diskriminasi, dibentuk pada 1994 di Marakech, Maroko. Indonesia adalah anggota pendiri General Agreement on Tariff and Trade (GATT) 1947 yang kemudian menjadi WTO. Sebagai anggota pendiri Indonesia telah meratifikasi semua perjanjian WTO dengan UU Nomor 7 Tahun 1994.
Sebagai rules-based organization dibentuk juga DSB untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi dan merugikan akibat tindakan yang dilakukan oleh suatu anggota WTO terhadap anggota WTO lainnya. Inilah bedanya dengan perjanjian perdagangan lainnya yang umumnya tidak mempunyai prosedur penyelesaian sengketa. Bila tidak dapat diselesaikan secara musyawarah dan mufakat, disepakati untuk dibawa ke DSB WTO.
Membawa suatu kasus yang kita anggap diskriminasi ke DSB WTO adalah suatu sikap yang bijaksana. Indonesia pernah membawa Amerika Serikat ke DSB WTO dalam kasus rokok keretek (clove cigarettes) pada 2010 ( DS 406 ). Setelah melakukan perdebatan yang panjang di DSB, Indonesia memenangi kasus tersebut dan meminta AS untuk mengubah UU tentang Tembakau (Tobacco Act, 2009)-nya.
Pemerintah AS tidak mungkin akan melakukan perubahan Tobacco Act tersebut karena pertimbangan politik dalam negerinya. Sebagai kompensasinya Indonesia diberi tambahan batasan suatu produk yang masuk dalam skema tarif preferensi (generalised scheme of preferences/GSP).
Karena ingin menjaga hubungan baik dengan AS, Indonesia menerima tawaran tersebut dan tidak melanjutkan untuk melakukan retaliasi walaupun Indonesia dapat meminta mandat kepada DSB untuk melakukannya. Akan tetapi, Indonesia telah menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia sebagai anggota WTO berkomitmen menegakkan prinsip non-diskriminasi siapa pun yang melanggar, apakah itu negara adidaya atau bukan, dan ini tercatat dalam dokumen kasus yang diselesaikan oleh DSB. Kali ini Indonesia diuji lagi nyalinya untuk membawa kasus diskriminasi terhadap CPO ke DSB WTO.
Untuk menyampaikan suatu kasus ke DSB WTO harus dipahami prosedur yang telah ditetapkan dalam Dispute Settlement Body Understanding (DSU). Indonesia sebagai complainant tentu dapat meminta jasa pengacara yang mempunyai reputasi dan pengalaman dalam menangani kasus-kasus di DSB WTO. Indonesia harus dapat mempersiapkan semua bukti yang meyakinkan untuk menyusun semua sanggahan kita bahwa apa yang dituduhkan kepada Indonesia itu tidak benar dan tidak beralasan. Demikian juga jika diperlukan Indonesia harus membuktikan secara ilmiah.
Sesuai dengan prosedur penanganan suatu kasus di DSB lamanya sekitar 12 bulan dan jika naik banding ke Badan Banding (Appellate Body) akan makan waktu sekitar sembilan bulan lagi, belum termasuk pertemuan-pertemuan bilateral dengan negara yang dituduh. Secara keseluruhan akan memakan waktu sekitar dua tahun.
Lobi atau pendekatan biasanya terjadi selama kasus berlangsung ke ibu kota masing-masing oleh pejabat yang menangani dan bahkan kadang-kadang bisa juga sampai kepada kepala negara. Tekanan secara politik terkadang juga dirasakan apalagi sudah dapat diperkirakan negara yang melakukan diskriminasi akan kalah dan terkadang menawarkan sesuatu akses pasar yang akan lebih baik. Diplomasi perdagangan dan ekonomi perlu dipertajam dan kita perlu melihat semua aspek untung-ruginya.
Pemahaman terhadap suatu kasus yang akan dibawa ke DSB WTO perlu dilakukan bersama antara pemerintah dan pengusaha sawit yang tergabung dalam asosiasi. Indonesia tidak bisa lagi hanya bertameng retorika bahwa industri kelapa sawit melibatkan secara langsung sekitar 20 juta orang, seolah-olah Indonesia meminta belas kasihan untuk tidak diterapkan RED II tersebut.
Diperlukan juga lobi kepada negara-negara penghasil CPO lainnya untuk bergabung sebagai pihak ketiga dalam perkara di DSB WTO. Penyusunan pembelaan oleh pengacara membutuhkan keterbukaan dari semua pihak untuk dapat mematahkan tuduhan terhadap CPO bahwa CPO berisiko tinggi pada alih fungsi lahan secara tidak langsung. Indonesia harus menyampaikan data yang valid dan argumen yang kuat. Mari kita berjuang bersama dan semoga berhasil.
Gusmardi Bustami Duta Besar WTO (2002-2008); Dirjen Kerja Sama Perdagangan Internasional Kemendag (2008-2012)