Giat Mencegah Pernikahan Dini
Isti masih berusia 16 tahun ketika sang ayah, Yusuf, menerima lamaran seorang pria yang meminang anak bungsunya itu. Si anak tak tahu-menahu soal lamaran dan ayahnya telah menerima cincin tanda pinangan. Saat itu, dia masih bersekolah kelas 11 SMA dan masih mengejar impiannya.
Betapa kaget dia mendapat kabar soal pinangan tersebut dari sang ayah. Sebagai anak, dia tak berani menolak. Jadi, dia diam menurut saja kepada perintah ayahnya untuk berhenti bersekolah dan bersiap untuk hari pernikahannya dengan pria yang tak dikenalnya.
Di dalam hati, jiwanya memberontak dan menentang keras keinginan sang ayah. Apa daya, dia hanya berani mencurahkan keinginan dan impiannya kepada sang ibu, Siti Maimunah, yang dulu juga menikah saat usianya 16 tahun. Isti beruntung, sang ibu mau mendengar kata hatinya dan menyampaikan penolakan kepada sang ayah. Bukan hanya sekali, melainkan berkali-kali kapan pun dia sempat berbicara kepada suaminya.
Perlu waktu hampir setahun sang ibu berjuang menyampaikan keinginan anaknya sampai sang ayah pun luluh. Sebulan sebelum hari pernikahan, ayah dan ibu mendatangi rumah calon menantu, mengembalikan cincin pertunangan berikut membatalkan rencana pernikahan.
Isti pun lega dan bisa melanjutkan sekolah ke salah satu pesantren untuk menyelesaikan studi setingkat SMA. Dia dapat tersenyum lebar dan menikmati hari-hari penuh kegembiraan di sekolah. Dia kini dapat lebih terbuka kepada sang ayah dan sang ayah mau mendengar impian dan kisahnya.
Isti bukan hanya senang bersekolah. Dia bahkan dapat memulai usaha bersama teman-temannya di pesantren. Mereka memproduksi beberapa penganan kecil seperti tahu bulat, klepon, dan kue heci alias tahu isi yang dijual ke pasar. Meski belum besar, gadis-gadis remaja itu mampu menghasilkan uang. Bisnis kecil-kecilan itu membuat mereka punya bayangan masa depan apa yang ingin mereka raih.
Kelak, mereka sendiri yang berhak memutuskan kapan akan menikah dan dengan siapa, kapan dan dengan siapa mereka ingin mempunyai anak, mampu menetapkan pilihan dan keputusan untuk masa depan mereka, setara dengan anak laki-laki, ingin bersekolah sampai tuntas, serta ingin tubuh dan pikiran mereka dihormati.
Itulah sekelumit keberhasilan Program Yes I Do yang diluncurkan tahun 2016. Program itu aliansi Rutgers WPF Indonesia bersama Plan International Indonesia dan Aliansi Remaja Independen. Program itu untuk mencegah perkawinan anak, kehamilan remaja, dan sunat perempuan. Program berbasis komunitas itu diadakan di 12 desa di Kabupaten Sukabumi, Rembang, dan Lombok Barat. Keberhasilan itu mengemuka dalam pertemuan di Desa Ngasinan, Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, pertengahan Februari 2019.
Program itu tidak hanya menyasar anak muda, tetapi juga para orangtua. Membuka kesadaran orangtua agar tidak buru-buru menikahkan sang anak yang masih remaja dan masih di bawah 18 tahun serta mendukung anak menyelesaikan pendidikan. Memberikan pemahaman bahwa menikahkan anak di bawah umur lebih banyak ruginya.
Rumah tangga mereka yang menikah di bawah umur cenderung mengandung banyak risiko. Mulai dari risiko kematian ibu dan anak lebih tinggi karena sistem reproduksi belum matang hingga kemiskinan dan kesulitan ekonomi sebagai dampak dari tidak memiliki pekerjaan yang layak untuk mengatur kemampuan keuangan rumah tangga yang baik dan perempuan yang menikah saat masih di bawah umur cenderung putus sekolah.
Risiko lainnya, rentan terjadi perceraian mengingat emosi remaja belum stabil, rentan terjadi kekerasan dalam rumah tangga sebagai efek psikologi dan emosi si anak belum siap. Sebagai contoh, risiko kematian bayi yang terlahir dari ibu berusia di bawah 20 tahun adalah 1,5 kali lebih besar dalam 28 hari pertama.
”Setelah tahu lebih banyak kerugiannya, baru saya sadar. Semula, saya sama sekali buta dengan risikonya. Lagi pula di desa kami dulu ada tradisi pantang menolak lamaran pria yang ingin meminang anak gadisnya. Sekarang saya bahagia membiarkan anak saya bersekolah. Biarlah dia sendiri yang memutuskan masa depannya, saya akan mendukung,” kata Yusuf, ayah Isti.
Menurun
Kasus seperti yang menimpa Isti juga terjadi di desa lainnya seperti di Desa Woro, Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Tahun 2014 tercatat 14 anak mengalami pernikahan usia di bawah umur. Tahun berikutnya turun menjadi 10 anak dan turun lagi setahun kemudian menjadi tujuh anak lalu menurun tahun 2017 menjadi hanya dua anak. Tahun 2018, tidak ada lagi anak menikah di bawah umur.
”Tahun 2017, kedua anak itu sudah lulus SMA, tetapi usia mereka belum mencapai 18 tahun. Kami kecolongan,” kata Ronji, Ketua Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD). Menurut dia, jika mendengar ada kasus terkait dengan pernikahan anak, anggota KPAD langsung bergerak ke rumah bersangkutan dan memberikan advokasi agar pernikahan anak sebisa mungkin ditunda hingga usia si anak mencapai 18 tahun.
Psikolog Adib Setiawan, pendiri Yayasan Praktik Psikologi Indonesia (YPPI), di Bintaro, Jakarta Selatan, mengatakan, memiliki anak berarti tanggung jawab. Orangtua yang menikahkan anak yang masih di bawah umur biasanya ingin terlepas dari tanggung jawab dan memindahkannya kepada calon suami si anak.
”Anak perlu perkembangan fisik, perkembangan seksual, perkembangan mental, dan perkembangan intelektual. Hal terakhir harus lebih besar dari perkembangan lainnya karena artinya orang itu telah matang dan siap bertanggung jawab serta kuat menghadapi cobaan hidup,” kata Adib.
Dia menambahkan, menikahkan anak yang masih di bawah umur akan lebih banyak negatifnya seperti ketidaksiapan ekonomi yang memicu kasus kekerasan, percekcokan, sampai dengan perceraian. ”Berbeda dengan orang-orang yang sudah kuliah, punya keterampilan, dan sudah bekerja. Mereka lebih siap menghadapi tantangan yang lebih berat,” ucapnya.