Kontroversi RUU PKS
Kontroversi seputar pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tampaknya belum akan segera berakhir.
Di satu pihak, para pendukung RUU ini memfokuskan argumentasinya pada penolakan terhadap segala bentuk kekerasan seksual sebagai akibat relasi jender yang timpang dalam sistem budaya patriarki yang masih kuat dalam masyarakat kita.
Benar bahwa KUHP yang diberlakukan di Indonesia sejak seabad lebih yang lalu (1918) telah mengatur larangan berbagai bentuk perkosaan, termasuk kekerasan seksual terhadap istri yang diduga masih di bawah umur, juga mengatur pula tentang pelecehan seksual, yakni percabulan dari orang-orang yang mempunyai relasi kuasa yang timpang dengan korban serta masalah perdagangan perempuan, prostitusi, pornografi, aborsi dan pembunuhan binatang, serta larangan perjudian.
Namun, penempatan berbagai pasal kekerasan seksual dalam Bab tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan telah mengaburkan perlindungan terhadap integritas tubuh dan jiwa perempuan. Apalagi ketentuan-ketentuan awal dari bab itu, yakni Pasal 281 dan 282 KUHP tentang perbuatan pelanggaran kesusilaan, memberikan sugesti bahwa hanya jika kesusilaan umum terganggu saja, maka perbuatan kekerasan seksual akan memperoleh hukuman.
Dalam konteks kuatnya kultur perkosaan di masyarakat sebagaimana dijelaskan di awal tulisan ini, maka sugesti tersebut memperoleh relevansinya. Dengan kata lain, jika masyarakat telah melakukan penyelesaian dengan damai—dengan cara mengawinkan pelaku dengan korban atau membuat perjanjian damai dengan pelaku—maka pelaksanaan KUHP tak diperlukan lagi. Integritas tubuh dan jiwa perempuan korban menjadi sekunder dibandingkan dengan rasa kesusilaan publik dan atau aib keluarga. Akses perempuan terhadap proses memperoleh keadilan jadi tertutup. Budaya kekerasan menjadi dilanggengkan.
Meski sejak 1986 perumus KUHP baru, yang waktu itu diketuai Prof Boy Mardjono, telah mengakomodasi usulan untuk memperluas definisi perkosaan dan kekerasan seksual lainnya (misalnya tak terbatas pada penetrasi penis dan memasukkan anal dan oral seks sebagai perkosaan), karena KUHP terbatas pada penghukuman terhadap pelaku dan tak memasukkan upaya preventif dan rehabilitatif terhadap korban, usulan untuk memiliki UU khusus (lex specialis) di luar KUHP tetap dilakukan.
Usulan serupa telah dilakukan terhadap masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Semula larangan KDRT diatur dalam Pasal 356 di bawah Bab tentang Penganiayaan. Namun, karena KUHP tak mengatur aspek preventif dan rehabilitatif, maka pasal ini diperluas pengaturannya dalam UU PKDRT. UU khusus ini juga menggunakan pendekatan holistik menyangkut upaya preventif, promotif, dan rehabilitatif. Artinya, bukan hanya berorientasi pada penindakan hukum semata, melainkan juga terdapat perintah untuk menciptakan budaya anti-kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan prinsip kesetaraan dan keadilan jender. Hal yang sama juga berlaku dalam UU Anti Trafficking dan Perdagangan Orang.
Mengapa UU PKS perlu
Usulan menyusun sebuah UU baru tentang penghapusan kekerasan seksual (PKS) terutama didasarkan pada pengalaman perempuan korban selama ini yang tak memperoleh akses terhadap keadilan, terutama karena kuatnya kultur perkosaan di kalangan penegak hukum dan masyarakat sendiri.
Dalam bukunya yang sangat terkenal Against Our Will, Men, Women and Rape (1995), Susan Brownmiller menyebut kultur perkosaan sebagai ”a conscious process of intimidation by which all men keep all women in a state of fear”. Dengan kata lain, kultur perkosaan adalah upaya laki-laki untuk mengintimidasi perempuan agar selalu berada dalam situasi ketakutan. Budaya ketakutan ini dalam kenyataannya ditopang dengan kokoh dalam sistem budaya patriarki.
Budaya itu, misalnya, terefleksikan dalam berbagai kebiasaan di dalam masyarakat dan di kalangan kepolisian untuk mengawinkan para korban perkosaan dengan pemerkosanya dengan alasan menutup aib. Aib pelaku yang berubah jadi aib perempuan dan keluarganya bersumber pada kecenderungan menyalahkan korban dengan stigma-stigma dan mitos-mitos bahwa perempuan tak sepatutnya berpakaian seksi atau keluar rumah sendirian.
Sebaliknya di pihak pelaku, memerkosa perempuan dan melakukan bentuk kekerasan seksual lain adalah untuk membuktikan kegagahan mereka karena itu perbuatannya disebut sebagai ”menggagahi” perempuan. Demikian pula dengan kesediaannya mengawini korban—baik atas desakan keluarga maupun karena ancaman hukuman yang akan menimpanya dianggap sebagai sikap kesatria dan bentuk pertanggungjawaban. Dalam kenyataan sosialnya, kultur perkosaan dihidupi juga oleh tradisi-tradisi lama dalam masyarakat seperti kebiasaan kawin paksa dan kawin anak-anak. Pasal 288 KUHP tentang larangan melakukan persetubuhan dengan istri yang diduga masih di bawah umur pada dasarnya adalah upaya pemerintah kolonial mencegah kultur perkosaan itu berakibat fatal bagi anak-anak perempuan.
Budaya ketakutan yang sengaja dipelihara ini juga telah membungkam perempuan korban sehingga enggan melapor. Hal ini tidak saja terjadi di Indonesia dan negeri-negeri Timur lain, tetapi juga di negara-negara Barat yang dianggap lebih permisif atau menganggap kesucian seorang perempuan kurang dipertimbangkan.
Lihat saja, misalnya, korban-korban yang akhirnya memberikan pengakuan setelah adanya kampanye #MeToo. Mereka menyimpan traumanya bertahun-tahun sampai akhirnya berani membuka di hadapan publik ketika banyak orang lain menceritakan pengalamannya. Retaliasi dari pelaku dan keluarganya adalah ketakutan yang lain yang dialami korban karena miminnya dukungan masyarakat/keluarga dan negara.
Dalam kasus-kasus pelecehan seksual yang melibatkan relasi kuasa yang tak seimbang antara pelaku dan korban, kondisinya bisa lebih parah lagi. Misalnya kasus Baiq Nuril. Guru honorer ini terpaksa menyimpan pelecehan seksual oleh atasannya karena takut dipecat, malu karena takut tak dipercaya, bahkan juga jika diceritakan ke suaminya, adalah bentuk-bentuk ketakutan yang terjadi terutama pada relasi kuasa yang ketat dan timpang. Dalam kasus pelecehan seksual, unsur kekerasannya bukan terletak pada perbuatan fisik atau non fisik, melainkan karena adanya ketergantungan pada pelaku.
Bukan hendak melegalisasi perzinahan dan LGBT
Kelompok yang menolak RUU PKS, selain mengemukakan perbedaan pada soal peristilahan, juga mencampuradukkan kekerasaan seksual dengan hubungan seks konsensual yang secara moral dan agama dilarang. ”Filosofi mendasar dari konsep kekerasan seksual atau RUU PKS ini bukan pada baik/halal atau buruk/haramnya suatu perilaku seksual, tetapi pada suka atau tidak sukanya (persetujuan) si pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut”. ”Tujuannya adalah mengadopsi cara pandang feminisme yang berbahaya”. Demikian argumen yang dikemukakan dalam petisi penolakan RUU PKS oleh kelompok Sahabat Muda AILA.
Berdasarkan argumen ini, RUU PKS ditolak karena dianggap melegalkan perzinahan, prostitusi dan aborsi, menyuburkan perilaku LGBT dan memaknai perkosaan, perbudakan seksual dan bentuk-bentuk kekerasan seksual secara liberal. Tak jelas benar apa yang dimaksud makna liberal dari kekerasan seksual. Namun, argumen ini jelas tak beralasan karena sejak awal tujuan RUU PKS adalah untuk menghapuskan segala bentuk kekerasan seksual. Sementara yang berkenaan dengan hubungan seksual tanpa kekerasan seperti halnya perzinahan atau kumpul kebo telah dibahas dalam RUU KUHP dan tidak masuk dalam kategori kekerasan seksual.
Sesungguhnya perang wacana antara pendukung dan kelompok yang menolak RUU PKS sudah dimulai sejak akhir 2015. Sejumlah guru besar bidang ketahanan keluarga yang tergabung dalam AILA mengajukan uji materi untuk membatalkan beberapa pasal dalam KUHP, antara lain Pasal 284 (overspel, yakni hubungan seksual tidak sah di antara mereka yang terikat perkawinan), Pasal 285 (perkosaan), dan Pasal 292.
Intinya, kelompok ini menginginkan agar semua hubungan seksual konsensual (atas dasar suka sama suka) yang dilakukan di luar perkawinan yang sah haruslah dipidana. Permohonan untuk menghapuskan kata ”yang bukan istrinya” dalam ketentuan Pasal 285 KUHP tentang perkosaan juga diusulkan dihapus sehingga perkosaan dalam hubungan perkawinan juga harus dipidana. Saya tak ada keberatan apa pun tentang yang terakhir ini meskipun telah diatur juga dalam UU PKDRT sebagai delik aduan dan ada larangan melakukan hubungan seksual dengan istri yang masih di bawah umur yang menyebabkan luka-luka yang diatur dalam Pasal 288 KUHP.
Namun, ide memberlakukan Pasal 284 KUHP kepada setiap hubungan seksual konsensual dianggap melampaui jangkauan hukum pidana. Para ahli hukum pidana sudah lama berpendapat bahwa hukum pidana harus berhenti di pintu kamar tidur dalam rangka menghormati hak privasi warga negara, kecuali jika terjadi kekerasan.
Di Timor Leste, yang menganut asas konkordansi saat di bawah okupasi Indonesia, pasal ini telah dicabut karena dianggap melanggar hak privasi apalagi penuntutannya disasarkan pada pengaduan dari pihak yang dirugikan dan dalam waktu tiga bulan harus diikuti gugatan perceraian. Hukum pidana yang tujuan utamanya menjaga ketertiban umum tak dapat mengandalkan penegakannya pada kepentingan individu.
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pembatalan ini dengan menyatakan bahwa perubahan pasal-pasal itu menjadi ranah legislatif untuk mengubah dan bukan wewenang MK. Sementara upaya revisi KUHP sebenarnya sudah dilakukan pemerintah sejak 1976. Namun, baru pada periode DPR yang lalu draf KUHP dibahas dan sampai sekarang belum rampung. KUHP baru ini mengakomodasi banyak usulan untuk mengkriminalisasi perbuatan-perbuatan yang dianggap melanggar ketentuan agama dan moral. Misalnya, Pasal 488 yang dikenal dengan perbuatan kumpul kebo, yakni mereka yang hidup bersama tanpa perkawinan yang sah.
Pasal ini mungkin saja memenuhi harapan banyak orang namun jika disahkan nantinya, sesungguhnya merupakan kegagalan negara dalam mengenali persoalan dan implikasi yang terjadi akibat tak jelasnya konsep keabsahan perkawinan yang diatur dalam Pasal 2 UU Perkawinan.
Dari rezim ketertiban umum ke rezim HAM
Usulan untuk memiliki aturan khusus tentang kekerasan seksual di luar KUHP sesungguhnya adalah upaya untuk menangani masalah kekerasan seksual secara lebih holistik dan didasarkan pada prinsip-prinsip kesetaraan jender dan HAM. Prinsip-prinsip itu telah diakui dalam konstitusi termasuk di dalamnya prinsip nondiskriminasi. Negara berkewajiban mengimplementasikannya sebagaimana ketentuan-ketentuan dalam CEDAW. Konvensi yang terakhir ini telah 35 tahun lalu kita ratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 1984 tetapi pelaksanaannya khususnya terkait ketentuan Pasal 5, yakni kewajiban negara untuk menghapus stereotip-stereotip perempuan dan laki-laki yang berkontribusi kepada terjadinya kekerasan dan diskriminasi, sangat kurang dilakukan.
Diterimanya konsep HAM dalam konstitusi dan sistem kenegaraan kita mengandung konsekuensi bahwa HAM dalam arti kewajiban negara memberikan perlindungan kepada warganya seharusnya jadi acuan dalam pembuatan setiap kebijakan dan peraturan perundangan. Mengkriminalisasi mereka yang justru membutuhkan perlindungan sematamata atas nama ajaran moral, bukanlah ranah hukum pidana untuk mengurusnya, melainkan ranah pendidikan meski tak dapat dinafikan bahwa hukum pidana juga mengandung unsur pendidikan.
Yang ingin dilindungi RUU PKS ini terutama adalah perempuan-perempuan (juga laki-laki), anak-anak perempuan yang selama berabad-abad telah menjadi korban kekerasan dan diskriminasi karena masyarakat telah menempatkannyaa sebagai obyek seksual. Suatu hal yang barangkali tidak terpikirkan oleh para penolak RUU PKS karena mereka menerima posisi subordinasi perempuan sebagai sesuatu yang given sesuai dengan tafsir ajaran agama yang mereka anut. Karena itu, upaya penghapusan kultur perkosaan melalui RUU PKS tidak menjadi kepedulian mereka.
Nursyahbani Katjasungkana Koordinator Nasional Asosiasi LBH APIK Indonesia