Sri Hidayah Menjaga Kejayaan Tenun Pagatan
Pada era 1980 sampai 1990-an, kain tenun Pagatan dari Kalimantan Selatan berjaya. Namun, memasuki tahun 2000-an, kejayaan kain tenun meredup. Jumlah petenun yang tadinya 500 orang pun merosot hingga tersisa 25 orang. Berkat pendampingan Sri Hidayah, tenun Pagatan perlahan-lahan bangkit dan populer lagi.
Sejak 2013, Sri, demikian panggilan akrabnya, mendampingi para perajin kain tenun Pagatan di Kecamatan Kusan Hilir, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Di kecamatan yang berjarak sekitar 240 kilometer dari Kota Banjarmasin itulah kain tenun Pagatan dihasilkan. Kain tenun yang merupakan perpaduan budaya Bugis dan Banjar itu sudah menjadi bagian keseharian masyarakat di sana sejak tahun 1800-an.
”Selama dua tahun, saya bolak-balik Banjarmasin-Pagatan untuk mendampingi para perajin kain tenun Pagatan. Dalam sebulan, saya bisa tiga kali ke Pagatan dan menginap 3-4 hari di sana,” kata Sri saat ditemui di Banjarmasin, Sabtu (6/4/2019).
Perempuan pencinta kain tradisional itu sedih mengetahui kain tenun Pagatan, yang merupakan salah satu kekayaan kain Nusantara, nyaris mati. Pamornya kalah dibandingkan dengan kain tradisional lain. Tinggal segelintir orang yang masih menekuni pekerjaan menenun karena pekerjaan ini dianggap tidak lagi menguntungkan secara ekonomi.
”Saya datang dan mengobrol dengan para petenun dari hati ke hati. Karena saya memang suka kain, jadi bisa langsung nyambung dengan petenunnya,” kata perempuan lulusan program Master di Institute for Housing and Urban Development Studies (IHS) Erasmus University Rotterdam, Belanda, itu.
Sri mengaku tidak kesulitan berkomunikasi dengan para petenun di Pagatan karena saat studi di Belanda, ia pernah melakukan penelitian dan survei kepada para petenun di Afrika. Prinsip dasarnya sama, menenun adalah sebuah pekerjaan yang dilakukan dengan hati (cinta) sehingga bisa menghasilkan kain-kain yang cantik.
”Yang paling utama saya lakukan adalah menggerakkan hati petenun, membuat mereka percaya diri bahwa produk mereka luar biasa. Saya bilang tenun Pagatan ini sangat berhak dilihat orang karena cantik dan bagus. Jangan hanya disimpan di Pagatan,” tuturnya.
Kain tenun Pagatan diproduksi dengan dua jenis alat, yaitu alat tenun gedok dan alat tenun bukan mesin (ATBM). Dengan gedok, petenun bisa menghasilkan sehelai kain tenun berukuran 0,63 meter x 4 meter dalam sebulan. Harganya Rp 850.000 sampai Rp 3 juta per helai.
Yang paling utama saya lakukan adalah menggerakkan hati petenun, membuat mereka percaya diri bahwa produk mereka luar biasa. Saya bilang tenun Pagatan ini sangat berhak dilihat orang karena cantik dan bagus. Jangan hanya disimpan di Pagatan.
Dengan ATBM, petenun bisa memproduksi kain tenun berukuran 1,3 meter x 2 meter. Dalam sebulan, seorang petenun menghasilkan rata-rata 10 helai kain tenun. Harga jualnya lebih murah, yakni Rp 200.000 sampai Rp 300.000 per helai.
Melalui Lembaga Pemerhati Pengembangan Ekonomi Lokal (LP2EL) yang dibentuknya pada 2013, Sri mengajak pemerintah daerah dan beberapa instansi lainnya untuk bersama-sama mengangkat kembali kejayaan tenun Pagatan.
”Saya mendapat dukungan dari Pemerintah Kabupaten Tanah Bumbu, perbankan, dan media untuk mengangkat kembali tenun Pagatan. Berkat sinergi dan gotong royong dengan berbagai pihak, tenun Pagatan akhirnya terangkat kembali,” kata ibu dengan satu anak ini.
Pada awal 2015, Sri meluncurkan buku Eksotika Tenun Pagatan yang memaparkan sejarah dan perkembangan tenun Pagatan serta kekhasan kain tenun tersebut. Di tahun yang sama, tenun Pagatan juga mulai menjadi salah satu tren busana masyarakat di Kalsel.
Pangsa pasarnya semakin luas berkat promosi yang gencar di media sosial dan berbagai pameran yang diikuti. Kain tenun Pagatan tidak hanya merambah seluruh wilayah Kalsel, tetapi juga melanglang buana ke berbagai penjuru Nusantara dan mancanegara.
Regenerasi
Berkat pendampingan Sri, dalam kurun waktu dua tahun jumlah petenun Pagatan juga bertambah dari 25 menjadi 98 orang. Saat ini, Sri memperkirakan jumlah petenun sudah lebih dari 100 orang. Meski belum mampu menyamai jumlah petenun di era 1990-an, setidaknya mulai terlihat regenerasi petenun.
”Sebanyak 25 petenun yang saya jumpai pada 2013 itu rata-rata sudah berusia 60-70 tahun. Namun, kini, petenun-petenun muda mulai bermunculan,” kata kandidat doktor Ilmu Sosial FISIP Universitas Airlangga, Surabaya, ini.
Berdasarkan pengelompokan yang dilakukan Sri, petenun dalam rentang usia 50-70 tahun sekitar 50 persen, petenun dengan usia 30-49 tahun lebih kurang 35 persen, dan petenun dengan usia di bawah 30 tahun hanya 15 persen.
Sebanyak 25 petenun yang saya jumpai pada 2013 itu rata-rata sudah berusia 60-70 tahun. Namun, kini, petenun-petenun muda mulai bermunculan.
Menurut Sri, petenun dalam rentang usia antara 20 tahun dan 50 tahun saat ini meningkat jumlahnya. Pada umumnya, mereka sudah memiliki bakat menenun, warisan orangtua. ”Saat ini, saya juga lebih fokus mendampingi petenun usia 20-50 tahun. Mereka ini tergolong sangat produktif dan memiliki interaksi sosial yang bagus,” tuturnya.
Untuk kelompok usia di bawah 20 tahun, Sri berharap pemerintah melalui lembaga pendidikan lebih banyak berperan melakukan pendampingan. Ia pun mengusulkan agar kerajinan tenun Pagatan dimasukkan dalam kegiatan ekstrakurikuler di sekolah-sekolah.
Selain itu, Sri juga mengusulkan pembentukan Desa Wisata Tenun Pagatan di Kusan Hilir sebagai sentra pendidikan kreatif dan budaya. Tujuan utama pembentukan desa tersebut bukan untuk menarik kunjungan wisatawan, melainkan untuk sarana belajar bagi anak-anak sekolah di sekitarnya. Sejak dini, mereka sudah harus dikenalkan pada tenun Pagatan.
”Saya lebih memikirkan bagaimana keberlanjutan tenun Pagatan dari generasi ke generasi daripada memikirkan bagaimana peningkatan produksinya. Jangan sampai kekayaan kain Nusantara dari Kalimantan Selatan ini punah,” ucapnya.
Sri Hidayah
Lahir: Banjarmasin, 23 Mei 1972
Pendidikan:
- S-1 FKIP Bahasa Inggris Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan (1998)
- S-2 Social Urban, Institute for Housing and Urban Development Studies (IHS), Erasmus Huis University, Rotterdam, Belanda (2009)
Pekerjaan:
- Direktur Lembaga Pemerhati Pengembangan Ekonomi Lokal Kalsel (2013-sekarang)
- Pemilik Usaha Tenun Pagatan Galuh Marege (2015-sekarang)
- Dosen Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Lambung Mangkurat (2018-sekarang)
Organisasi:
- Purna Caraka Muda Indonesia
- Pengurus DPD Himpunan Pengusaha Mikro dan Kecil Indonesia (Hipmikindo) Kalsel
- Pengurus Kalsel Kreatif Forum
- Sekretaris DPC Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) Kota Banjarmasin
Penghargaan:
- Project Supervisor Canada World Youth (1998)
- Best Research for Ghana Atelier, Rotterdam (2009)
- Finalis Wirausaha Sosial Mandiri (2015)