Nusantara Pusat Budaya
Hasil riset Lembaga Biologi Molekuler Eijkman bekerja sama dengan para ahli dari beberapa negara dimuat di jurnal Cell Press, 11 April 2019. Hasil kajian DNA itu menunjukkan, Nusantara menjadi pusat pembauran manusia purba (Neanderthal dan Denisovan) dengan Homo sapien alias manusia modern yang baru keluar dari Afrika 120.000 tahun lalu.
Menurut Murray Cox, ahli genetika dari Massey University, Selandia Baru, Homo sapien,Neanderthal, dan Denisovan membaur secara masif lewat perkawinan silang di pulau-pulau kawasan Nusantara sekarang, bukan di Asia Timur dan Siberia yang suhunya bikin beku seperti prakiraan semula. Cox adalah salah satu ilmuwan yang turut dalam penelitian tersebut.
Beberapa minggu lalu, seorang ahli dari Amerika Serikat menerbitkan buku yang menyatakan bahwa Nusantara adalah pusat kebudayaan manusia tingkat dunia. Sayangnya, kita justru tergagap tidak percaya (diri). Padahal, hasil analisis DNA yang dilakukan para ahli genetik dunia membuktikan bahwa Nusantara adalah pusat pembauran manusia sejagat sejak puluhan ribu tahun silam.
Pantas saja para pendiri bangsa Indonesia mempunyai kecerdasan sosial dengan membuat postulat (dalil) satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Postulat itu lalu dikembangkan dengan cerdas menjadi suatu adagium ”Bhinneka Tunggal Ika”. Selanjutnya secara arif menjadi Pancasila sebagai ideologi negara.
Jadi, apa kita masih tidak percaya bahwa nenek moyang bangsa Indonesia pernah memiliki Kerajaan Majapahit yang meliputi daratan Asia Tenggara? Demikian juga Kerajaan Sriwijaya yang dihormati raja-raja di daratan Asia. Bukankah buku La Liga dari Kerajaan Bugis adalah karya sastra dan budaya yang hebat?
Ternyata Melayu tidak mudah menjadi layu.
Suyadi Prawirosentono
Selakopi Pasir Mulya, Bogor, Jawa Barat
Sejarah Jawa
Harian Kompas pada 10 April 2019, di halaman 1, memuat artikel berjudul ”Nagasasra dan Pesan Pemilu Damai”.
Pada alinea pertama, tertulis ”Mahesa Jenar, tokoh utama dalam wira carita (epos atau cerita kepahlawanan ciptaan SH Mintardja berjudul Nagasasra dan Sabuk Inten), dalam buku asli memilih meninggalkan Demak saat kondisi kerajaan diliputi persaingan politik yang meruncing antara the power to be saat itu, yakni Sultan Trenggana, dan keturunan Pangeran Sekar Seda Lepen (ditokohi Arya Penangsang)”.
Kalimat tersebut menurut saya cukup mengganggu, apalagi saya suka membaca sejarah. Sebab, Pangeran Seda Lepen adalah Pangeran Prawata, anak Sultan Trenggana. Pangeran Prawata justru dibunuh oleh utusan Arya Penangsang karena Pangeran Prawata telah membunuh Raden Surawiyata (ayah Arya Penangsang, adipati Jipang Panolan, sekarang menjadi daerah Blora dan Bojonegoro).
Pangeran Prawata membunuh ayah Arya Penangsang karena ingin membantu ayahnya, Pangeran Trenggana, menjadi raja di Kerajaan Demak, padahal ayah Arya Penangsang adalah paman Pangeran Prawata, adik Sultan Trenggana. Akhirnya Arya Penangsang balas dendam membunuh Pangeran Prawata.
Jadi, ada dua kubu dalam intrik politik di Kerajaan Demak saat itu. Di satu sisi, Sultan Trenggana dan anaknya, Pangeran Prawata (Sekar Seda Lepen), di sisi lain adalah Pangeran Surawiyata dan anaknya, Arya Penangsang.
Dua kubu yang baku bunuh tersebut adalah dua dari tiga anak Raden Patah, raja Demak sebelumnya, yaitu Adipati Unus, Sultan Trenggana, dan Raden Surawiyata (ayah Arya Penangsang).
Dalam sejarah formal tidak ada nama Mahesa Jenar, tokoh ini hanya fiksi belaka dari penulis SH Mintardja.
Gunanto Surjono
Sosrowijayan Wetan,
Yogyakarta 55271
Catatan Redaksi:
Terima kasih atas tambahan informasi ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua.