Daya Tahan Indonesia Meningkat
Indeks negara rentan yang dikeluarkan The Fund for Peace menunjukkan, daya tahan Indonesia dalam menghadapi berbagai tekanan yang muncul terus meningkat.
Jakarta, Kompas - Indonesia memiliki daya tahan yang semakin baik dalam menghadapi berbagai tekanan sosial, politik, dan ekonomi yang dapat mendestabilisasi negara. Namun, keluhan yang muncul di masyarakat dan fragmentasi di tingkat di elite menjadi persoalan yang mendesak segera diatasi untuk mencegah Indonesia tergelincir menjadi negara gagal.
Membaiknya daya tahan Indonesia ini, antara lain, tergambar dalam Indeks Negara Rentan yang dirilis The Fund for Peace. Tahun 2019, indeks Indonesia adalah 70,4, membaik jika dibandingkan tahun 2018 yang ada di angka 72,3. Semakin kecil angka yang didapat sebuah negara berarti semakin tahan menghadapi tekanan.
Dari 178 negara yang diteliti pada tahun ini, Yaman menjadi negara paling rentan, atau ada di peringkat pertama dengan skor 113,5. Adapun Finlandia berada di peringkat ke-178 atau merupakan negara yang paling tidak rentan, dengan skor 16,9. Sementara Indonesia menempati peringkat ke-93.
Untuk kawasan Asia Tenggara, kerentanan Indonesia berada di atas Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Vietnam. Namun, Indonesia lebih tak rentan jika dibandingkan negara seperti Thailand dan Filipina.
Dari 12 indikator yang digunakan untuk menyusun indeks ini, ada tiga indikator yang angkanya naik untuk Indonesia, yang berarti semakin buruk jika dibandingkan tahun lalu. Tiga indikator itu adalah fragmentasi elite (dari 7,0 ke 7,1), keluhan di masyarakat (7,2 ke 7,3) serta tekanan demografi (dari 6,7 ke 7,3).
Sembilan faktor lainnya disebut membaik. Faktor itu antara lain legitimasi negara, pelayanan publik, hak asasi manusia dan penegakan hukum, serta aparat keamanan.
Saling terkait
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra mengatakan, tiga kategori yang memburuk untuk Indonesia sebenarnya saling terkait.
”Persoalan fragmentasi di elite menguat karena meningkatnya keluhan di masyarakat, terutama terkait dengan kondisi ekonomi politik. Ada kejengkelan dan keluhan yang meningkat, yang terutama dipicu kesenjangan ekonomi. Kondisi itu bertransformasi dan kemudian memunculkan pembelahan tingkat elite yang dimanfaatkan dan kemudian menjadi politik identitas,” kata Azyumardi di Jakarta, Jumat (26/4/2019).
Menurut Azyumardi, situasi yang dinamis sepanjang perhelatan Pemilu 2019 hingga pasca-pemungutan suara merupakan salah satu implikasi persoalan ekonomi, yang kemudian ditunggangi oleh sebagian eliet. Dampaknya memunculkan kemarahan kepada kelompok tertentu.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor berpandangan, hasil Indeks Negara Rentan ini memotret hidupnya demokrasi di Indonesia. Menurut Firman, fragmentasi elite terjadi di berbagai negara, bahkan di negara mapan seperti Inggris.
”Tapi yang perlu diingat, jangan sampai fragmentasi ini mengorbankan masyarakat di tingkat banyak. Demokrasi punya rambu yang tidak boleh diterabas. Perbedaan pendapat adalah hal wajar, tetapi jangan sampai merusak sendi-sendi bangsa. Perbedaan pandangan mestinya juga terjadi pada program, bukan hanya pada masalah primordialisme,” ujar Firman.
Hal ini juga merujuk pada maraknya berita bohong atau hoaks yang menyudutkan sosok-sosok tertentu dengan basis suku, agama, dan ras. Bahkan juga isu-isu terkait lembaga negara yang kebenarannya diragukan.
Optimistis
Azyumardi dan Firman mengatakan, optimistis Indonesia tetap akan bertahan dan mengatasi persoalan yang ada saat ini. Bahkan dalam lima atau 10 tahun mendatang, skor Indonesia diprediksi kian membaik pada Indeks Negara Rentan dengan catatan pemicu permasalahan yang berdampak pada menguatnya perbedaan faksi dan aksi masyarakat diselesaikan dengan tepat.
Persoalan ekonomi, lanjut Azyumardi, sudah dicoba diselesaikan oleh pemerintahan dengan membangun berbagai macam infrastruktur yang berfungsi untuk membuka akses sehingga ekonomi masyarakat dapat naik. ”Ini yang nanti perlu dilanjutkan dengan penguatan ekonomi,” katanya.
Mengacu pada indeks yang sama, skor pada faktor ekonomi yang terdiri dari kategori penurunan ekonomi, kesenjangan ekonomi, dan migrasi, mengalami perbaikan. Namun, faktor sosial, khususnya pada kategori tekanan demografi, skor Indonesia mengalami kenaikan yang artinya justru kondisinya memburuk.
Adapun Firman menyoroti hal yang lebih spesifik terkait persoalan Pemilu 2019. Masalah, seperti dugaan adanya kecurangan yang memunculkan polemik di masyarakat, perlu diatasi antara lain dengan bersama-sama memantau proses rekapitulasi suara hasil Pemilu 2019. Kekurangan yang ada harus diupayakan untuk diperbaiki.
Pada saat yang sama juga mesti terus dikampanyekan bahwa semua persoalan yang muncul harus diselesaikan melalui mekanisme hukum yang berlaku.
”Hal itu perlu terus dilakukan. Jika tidak, orang bisa apatis dan memicu konflik di kelompok masyarakat. Sumber daya yang dimiliki pemangku kepentingan perlu dimanfaatkan dan menjawab kecurangan yang dilaporkan. Jadi, menyelesaikan bukan menutupi masalah karena dapat berdampak tidak bagus,” ujar Firman.
Sosiologi dari Universitas Gadjah Mada, Ari Sudjito, menyampaikan, salah satu pekerjaan rumah untuk menindaklanjuti hasil indeks itu adalah memperkuat kembali civil society. Pemerintah dan masyarakat kadang tidak menyadari adanya kerentanan sosial yang perlu diatasi.
”Baru tahu kalau ada masalah saat terjadi kekerasan. Padahal, kerentanan sosial, seperti benturan agama dan lainnya mudah terlihat,” ujar Ari.
Hal lain yang juga perlu dilakukan, lanjut Ari, adalah pembenahan ruang publik, termasuk memperkuat fungsi literasi perlu dilakukan, baik oleh pers maupun media sosial. Dengan cara ini, masyarakat dapat semakin solid dan tahan dari provokasi yang muncul akibat fragmentasi yang terjadi di tingkat elite.