Harapan dari Hutan Negara
Dari jalan setapak, isi Hutan Lindung Kota Agung Utara mulai tersingkap. Di kiri-kanan jalan, tanaman kopi robusta berjajar di sela-sela pepohonan. Buahnya memerah, siap dipanen.
Di hutan negara itu, sebagian warga berharap sejahtera. Di gubuk berdinding kayu milik seorang warga bernama Jastra, sejumlah petani yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Hutan Lestari berkumpul. Sabtu (13/4/2019) itu, mereka menunggu bantuan 1.000 bibit avokad dari pemerintah.
Saat truk yang membawa bibit avokad tiba, warga segera mendekati truk dan menurunkan bibit. Menurut rencana, bibit itu akan dibagikan kepada 171 anggota gapoktan yang mengelola 382 hektar lahan.
Seorang warga, Toni Hidayat (36), beristirahat di bawah pohon rambutan seusai mengangkut bibit avokad. ”Dulu, kami tidak bisa beristirahat santai seperti ini. Walau lelah menggarap lahan, kami harus tetap waspada,” kata Toni.
Sebelumnya, Toni adalah satu dari ratusan perambah di Hutan Lindung Register 39, Kota Agung Utara, Kabupaten Tanggamus, Lampung. Sejak 1998, dia meneruskan usaha orangtuanya berkebun kopi di hutan.
Puluhan tahun silam, ayah Toni dan perambah lain masuk ke hutan Register 39 untuk membuka lahan. Mereka kerap harus lari dan sembunyi di semak-semak untuk menghindari aparat patroli hutan. Jika tertangkap, warga akan diinterogasi berhari-hari.
Hal itu tak terjadi lagi sejak ada program Hutan Kemasyarakatan (Hkm) yang digagas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Toni dan warga desa lain tak lagi merambah. Dia menjadi pengelola setelah mendapat izin pada tahun 2014.
Hkm adalah program untuk masyarakat yang tinggal di sekitar hutan lindung. Warga yang mendapat izin mengelola hutan lindung memanfaatkan lahan hutan seluas 4 hektar untuk bertani.
Toni tidak hanya menanam kopi. Dia juga menanam jengkol, petai, durian, dan pisang. ”Mudah-mudahan tanaman jengkol berbuah dua tahun lagi sehingga bisa untuk biaya anak sekolah,” kata Toni.
Dia menyimpan mimpi untuk anak tunggalnya, Yogi A Pratama (8). Toni ingin anaknya bisa tamat kuliah. Dengan demikian, anaknya tak perlu mencari nafkah di hutan. Jika tetap bertani, Toni berharap anaknya punya kebun sendiri. ”Cukup saya yang merasakan susahnya hidup,” ujarnya.
Menghalau gajah
Pilihan untuk mencari nafkah di hutan bukan tanpa risiko. Selain hidup berjauhan dari keluarga, petani hutan juga harus siap berhadapan dengan satwa liar. Saat ini, petani berkonflik dengan kawanan gajah liar. Sebanyak 12 gajah kerap merusak tanaman pisang warga. Konflik ini sudah berlangsung lebih dari 2 tahun dan menewaskan 3 warga.
Menurut Jastra, Ketua Gapoktan Hutan Lestari, warga saling membantu jika ada kelompok gajah liar. Dengan peralatan seadanya, mereka berupaya menggiring gajah kembali ke dalam taman nasional. ”Penggiringan gajah liar bisa berlangsung berhari-hari. Sungguh melelahkan. Kendalanya, sulit berkomunikasi karena susah sinyal,” katanya.
Warga merugi karena tanaman pisang dirusak menjelang panen. Hingga kini, lebih dari 100 hektar tanaman pisang rusak. Mereka menyadari konsekuensi itu, apalagi hutan lindung yang mereka kelola merupakan ruang hidup dan jelajah gajah liar. Maka, hidup berdampingan dengan gajah menjadi pilihan.
”Kami menyadari mesti hidup berdampingan dengan satwa di hutan. Kami sudah membentuk satuan tugas untuk mengatasi konflik dengan gajah,” katanya.
Hasil observasi tim WWF-Indonesia, ruang jelajah 12 gajah liar mencapai 14.000 hektar dalam setahun terakhir. Sebagian besar ruang jelajah itu berada di kawasan Hutan Lindung Kota Agung Utara.
”Kondisi habitat yang berubah membuat pola dan perilaku gajah dalam mencari makan berubah. Gajah liar menjadi bergantung pada pisang, jagung, dan nangka yang ditanam di hutan lindung,” ujar Project Leader WWF Indonesia Regional Sumatera Bagian Selatan Yob Charles.
Dari total luas hutan 56.020 hektar, ada 14.269 hektar yang dikelola 16 gapoktan melalui skema Hkm di Hutan Lindung Kota Agung Utara. Saat ini, dua gapoktan sedang mengurus izin pemanfaatan hutan pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Kota Agung Utara Zulhaidir mengatakan, Hkm memiliki konsep masyarakat sejahtera, hutan lestari. ”Pemerintah ingin hutan lestari dengan banyaknya tanaman kayu yang ditanam warga. Masyarakat sejahtera karena bisa menggarap lahan dengan tenang,” katanya.
Pemerintah, kata Zulhaidir, berupaya membantu warga menangani konflik dengan gajah liar. Salah satunya, membangun lima pos untuk memantau gajah. Pemerintah juga bekerja sama dengan lembaga seperti WWF-Indonesia untuk meningkatkan kemampuan warga.
Upaya yang digagas adalah membuat rekayasa habitat untuk menekan konflik, yakni membudidayakan tanaman pakan, seperti rumput gajah dan pisang, di area dekat perbatasan antara hutan lindung dan taman nasional. Warga juga menanam serai wangi yang aromanya tak disukai gajah.
Sementara itu, pemerintah akan me nghijaukan kembali lahan seluas 3.000 hektar di zona inti hutan lindung yang juga menjadi wilayah jelajah gajah. (Vina Oktavia)