Utak-atik Realitas
Kelindan laga para ksatria super dengan Thanos, raksasa paling sakti sejagat, menjawab penantian penggemarnya dalam ”Avengers: Endgame”. Utak-atik prediksi para penggemar sebelum menonton dijawab dengan suguhan utak-atik realitas para jagoan super.
Demam Avengers masih menggila. Di bioskop, anak-anak berteriak hilir mudik mengenakan sarung tangan Thanos, lengkap dengan batu-batu bertuahnya. Avengers: Endgame menyita nyaris semua layar studio di bioskop berikut jam pemutarannya.
Kalaupun kursi kosong masih tersedia, letaknya tinggal di baris terdepan. Beberapa pengunjung terlihat mengurungkan niat menonton. Antrean pembeli di kios makanan mengular. Aula bioskop sesak dengan penonton.
Kalaupun itu belum cukup membuat dahi mengernyit, jam tayang Avengers: Endgame bisa bikin tercengang. Pada pemutaran perdana di Indonesia, Rabu (24/4/2019), penggemar Avengers sudah berbondong-bondong mengisi bioskop sebelum pukul 05.00. Sekilas keriuhan itu menjadi gambaran bahwa Avengers punya magnet kuat dalam jagat perfilman.
”Kita kalah Tony,” ucap Captain America (Chris Evans) dengan wajah muram kepada Tony Stark (Robert Downey Jr). Kalimat pada awal film itu mengingatkan penonton akan peperangan dahsyat dalam epos sebelumnya, Avengers: Infinity War.
Thanos (Josh Brolin) berhasil mewujudkan ambisi kejinya. Separuh populasi alam semesta binasa setelah enam batu keabadian gagal direbut Avengers. Setibanya di bumi setelah terombang-ambing dalam pesawat antariksa, Tony dengan muka kuyu langsung menghimpun rekan-rekannya kembali menghadapi Thanos.
Beberapa tahun setelah kekalahan itu, dunia terlihat tenang-tenang saja dalam kelesuan dan para anggota Avengers menjalani hidup masing-masing. Asa mereka terbit lagi saat Scott Lang (Paul Rudd) terempas dari dimensi sub-atom, Quantum Realm yang dikisahkan dalam film Ant-Man and the Wasp. Alter ego Ant-Man itu termangu-mangu saat mendapati dunia baru yang tampak tenang tetapi suram.
Intervensi realitas
Scott punya ide cemerlang. Berbekal pengalaman memasuki Quantum Realm, ia ingin Avengers menembus lorong waktu untuk mengambil enam batu keabadian sebelum Thanos mendapatkannya.
Kejeniusan Tony atau Iron Man dipadukan kepakaran Bruce Banner (Mark Ruffalo) dalam bidang fisika sukses menghasilkan mesin waktu. Utak- atik masa menjadi wahana untuk mengembalikan makhluk- makhluk yang telah lenyap.
Agenda penting mereka adalah mengintervensi realitas di masa lalu demi realitas masa kini yang mereka anggap akan lebih baik.
Pembela kebenaran pun berkumpul kembali. Bruce yang telah mampu mengontrol kekuatan jelmaannya, Hulk, berkelana ke masa lampau bersama Iron Man, Thor, Ant-Man, Captain America, Rocket (Bradley Cooper), Clint Barton (Jeremy Renner), Natasha Romanoff (Scarlett Johansson), Nebula (Karen Gillan), dan James Rhodes (Don Cheadle).
Kisah perburuan batu keabadian ini berujung pada perang besar tak terelakkan lagi. Puncak dari Avengers: Endgame adalah saga pamungkas antara Thanos dan pasukannya dengan para ”Penuntut Balas”.
Saat itulah Marvel Studios mempersembahkan pertunjukan fantastis. Penonton dibuat histeris dengan kejutan-kejutan menakjubkan. Tepuk tangan membahana di seantero bioskop. Gema dentuman meriam, desing peluru, dan ledakan dari pelantang audio bioskop yang ditingkahi jeritan anak-anak mengiringi jatuh bangun para pembela kebenaran menghentikan serbuan monster-monster ekstraterestrial. Kebisingan yang mengasyikkan.
Namun, seperti banyak kesuksesan, Avengers pun harus menebus takdir dengan pengorbanan. Di sini Marvel Studios menunjukkan kelasnya sebagai produsen film dengan jalinan plot yang yahud.
Avengers: Endgame tak melulu menyajikan gedebak-gedebuk baku hantam. Alur gembira, tegang, dan sedih disajikan silih berganti dengan selipan- selipan humor yang mengalir dengan luwes.
Tengok saja ketika Avengers harus menghadapi realitas menyedihkan. Sisi-sisi ”lembek” para pahlawan super pun ditampilkan. Seperti saat Thor (Chris Hemsworth) bertemu kembali dengan ibunya, Frigga di Asgard. Dewa petir itu menangis sesenggukan bak anak kecil saat Frigga tersenyum seraya menyemangatinya.
Sementara Tony menghadapi momen emosional saat berjumpa ayahnya, Howard Stark yang masih muda. Tony yang piawai membungkam lawan bicara dengan kecerdasannya menjadi tergagap saat menjalani suasana kikuk itu. Penonton juga bisa menyaksikan sisi sentimental Captain America yang kerap menyeruak kalbunya setelah terpendam lebih dari 70 tahun.
Di sela tutur epik tersebut, terselip pula pesan-pesan bijak mengenai semangat untuk mencapai tujuan, kesetiakawanan, dan pengorbanan. ”Hidup terus berlanjut. Apakah hidup itu bermanfaat, tergantung kamu menyikapinya,” ujar Captain America, misalnya.
Bersenyawa
Pada adegan berbeda, penonton dibikin menganga lantas terpingkal-pingkal melihat penampilan anyar Thor. Sosok yang digambarkan gagah perkasa pada film-film sebelumnya kali ini berubah dramatis.
Sudah pasti tingkah Peter Quill (Chris Pratt), pemimpin Guardians of the Galaxy yang sok jagoan tetapi sering dianggap culun itu, turut mengocok perut penonton. Polah anggota Guardians of the Galaxy lain, si rakun penggerutu Rocket, juga ikut mengundang tawa.
Marvel Studios berhasil menciptakan ikatan dengan penggemar Avengers hingga mereka tak keberatan dijejali jejaring cerita dalam puluhan film singel Avengers dan tokoh-tokohnya. Avengers menjelma menjadi ikon pop film yang begitu besar.
Avengers: Endgame tak sekadar film, tetapi juga membentuk ”senyawa kimia” dengan penggemarnya. Tak heran, sebelum diluncurkan, banyak penggemarnya menebak-nebak kisah Avengers: Endgame dan mencurahkan energi untuk menyusun berbagai prediksi cerita alias ”teori”.
Mari kita buktikan mana prediksi yang tepat atau luput sambil larut bersama dalam sorak-sorai, kesedihan, serta tawa dengan menonton film berdurasi tiga jam itu.
Avengers kali ini sebenarnya menyisakan pertanyaan, jika kita punya kesempatan mengutak-atik realitas di masa lalu, seberapa siap kita memilih realitas lain untuk ditumbalkan demi ambisi realitas alternatif yang didambakan?