Pelatihan dan Pembenahan Kurikulum Pendidikan Guru Dibutuhkan
›
Pelatihan dan Pembenahan...
Iklan
Pelatihan dan Pembenahan Kurikulum Pendidikan Guru Dibutuhkan
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Peningkatan kompetensi dan mutu guru mutlak diperlukan untuk menunjang pemelajaran berbasis penalaran tingkat tinggi. Tanpa peran pemerintah, baik melalui pelatihan maupun pembenahan kurikulum dalam pendidikan profesi guru, tujuan sistem pemelajaran yang diharapkan tidak bisa optimal.
Dalam Kurikulum 2013, pola pemelajaran di kelas lebih berpusat pada siswa. Melalui sistem pembelajaran yang dibentuk, siswa didorong menjadi insan yang mampu menjawab berbagai tantangan global, terutama tantangan perubahan teknologi yang semakin cepat.
Setidaknya ada empat kompetensi yang ditekankan, yakni penguatan pendidikan karakter, penguatan literasi, kemampuan 4K (kreativitas, kritis dalam berpikir, komunikatif, dan kolaboratif), serta kemampuan bernalar tingkat tinggi (higher order thinking of skills/HOTS). Kompetensi tersebut menjadi dasar agar siswa mampu berdaya saing di era industri 4.0.
Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim mengatakan, kompetensi yang dimiliki siswa terkait penerapan Kurikulum 2013 sangat berkorelasi dengan kompetensi guru dalam mengajar di kelas. Terkait penerapan HOTS misalnya, dari hasil ujian nasional berbasis komputer (UNBK) menunjukkan kemampuan anak rendah.
Kompetensi yang dimiliki siswa terkait penerapan Kurikulum 2013 sangat berkorelasi dengan kompetensi guru dalam mengajar di kelas
“Masalahnya karena siswa tidak terbiasa mendapatkan desain pembelajaran yang berbasis HOTS di kelas. Jadi, penerapan HOTS seharusnya bukan di hilir seperti saat ini yang hanya diuji lewat UNBK atau UNKP (ujian nasional berbasis kertas dan pensil), melainkan dihadirkan secara nyata di kelas oleh guru,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Jumat (3/5/2019).
Menurutnya, penerapan HOTS tidak bisa disampaikan secara teori saja. Pemelajaran harus meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir tingkat tinggi dan berpikir kritis sehingga mampu menyelesaikan, menegosiasi, dan membandingkan suatu masalah, hingga menciptakan solusi atas masalah tersebut.
Meski begitu, ia menilai, guru tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Guru di Indonesia cenderung masih bergantung pada pelatihan yang diberikan pemerintah. Untuk itu, guru tidak bisa hanya dituntut kreatif secara mandiri dalam menerapkan pemelajaran berbasis HOTS di kelas. Para guru harus mendapatkan pelatihan-pelatihan yang berkualitas dari pemerintah.
Rektor Universitas Negeri Sebelas Maret yang juga Ketua Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) Ravik Karsidi menambahkan, penguatan kompetensi guru dalam menerapkan pembelajaran berbasis HOTS perlu intervensi yang komprehensif dari pemerintah. Intervensi ini bisa dilakukan dengan membenahi kurikulum di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang saat ini belum menyertakan kemampuan mengajar berbasis HOTS.
Selain itu, intervensi juga perlu dilakukan melalui pelatihan rutin bagi profesi guru dan tenaga pendidik yang sudah mengajar. “Jadi, intervensi ini perlu dilakukan secara terintegrasi antara Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi di LPTK serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam memberikan pelatihan guru,” katanya.
Secara terpisah, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir menyampaikan, penguatan kompetensi guru akan dilakukan melalui sertifikasi. Saat ini, sebanyak 900.000 guru di Indonesia belum tersertifikasi. Sekitar 600.000 di antaranya sudah menjabat sebagai guru di sekolah.
“Selain lewat sertifikasi, kami juga upayakan adanya pelatihan lewat distance learning. Jadi, guru ini bisa kuliah lagi tanpa harus meninggalkan siswa di kelas,” katanya.
Saat ini, sebanyak 900.000 guru di Indonesia belum tersertifikasi. Sekitar 600.000 di antaranya sudah menjabat sebagai guru di sekolah
Peran orangtua
Satriwan menambahkan, kemampuan siswa untuk bernalar tingkat tinggi juga tidak terlepas dari dukungan orangtua dan masyarakat sekitar. Waktu pemelajaran dan pendidikan di rumah dinilai lebih efektif untuk diterima oleh anak.
“Sudah seharusnya ajaran tri pusat pendidikan Ki Hadjar Dewantara kembali diangkat. Pendidikan bukan hanya diwujudkan melalui sekolah, namun juga keluarga dan masyarakat. Jangan sampai karena anak sudah disekolahkan, orangtua tidak lagi bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan yang baik di rumah,” ujarnya.