Jerat Kemiskinan Petani di Lumbung Padi (1)
Tak ada jaminan kesejahteraan bagi petani di daerah lumbung padi. Sejumlah persoalan, seperti terbatasnya modal, jeratan utang, dan panjangnya rantai penjualan, jamak dialami petani. Ibarat terjebak dalam labirin tak berujung, petani masih sulit untuk keluar dari jerat kemiskinan.
Persoalan kesejahteraan petani ini terekam dalam nilai tukar petani pada subsektor tanaman pangan (NTPP) di Indonesia yang berada di bawah 100. Angka 100 merupakan garis subsistensi atau batas kecukupan kehidupan sehari-hari bagi petani. Jika nilai tukar petani berada di bawah 100, petani mengalami defisit atau pemasukan petani lebih kecil dibandingkan dengan pengeluaran. Sebaliknya, jika NTP di atas 100, petani menerima keuntungan.
Pada tahun 2016, NTPP di Indonesia mencapai 99,47. Angka ini mengalami penurunan pada 2017 menjadi 98,49. Persoalan kesejahteraan petani juga terjadi di daerah lumbung padi, salah satunya Karawang. Dengan total panen mencapai 1,6 juta ton gabah pada 2017, daerah ini menjadi salah satu sumber penghasil gabah terbesar di Jawa Barat. Hanya saja, tingginya produksi gabah berbanding terbalik dengan kesejahteraan petani di daerah ini.
Persoalan kesejahteraan petani juga terjadi di daerah lumbung padi, salah satunya Karawang.
Sulitnya kehidupan petani di daerah Karawang terlihat dari nilai tukar petani pada subsektor tanaman pangan yang berada di bawah 100. Pada tahun 2016, NTPP di Karawang hanya mencapai 88,99. Sementara pada 2017, NTPP di daerah ini hanya 91,16.
Keadaan ini juga terjadi di Kecamatan Tempuran, salah satu wilayah pertanian dengan lahan terluas di Karawang, yaitu 6.480 hektar. Petani di daerah ini masih hidup di bawah garis kecukupan hidup sehari-hari. Hal ini tecermin dari rata-rata penghasilan petani di daerah ini yang hanya Rp 1,6 juta per bulan. Padahal, petani yang telah berkeluarga dengan satu anak sedikitnya membutuhkan biaya hidup Rp 3 juta per bulan.
Baca juga: Reinkarnasi Kisah Marhaen di Karawang
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan petani sulit hidup sejahtera, baik pada masa pratanam, tanam, maupun pascatanam. Pada masa pratanam, terbatasnya modal yang dimiliki hingga sulitnya petani melakukan diversifikasi tanaman menjadi faktor utama terjeratnya petani dalam lingkaran kemiskinan.
Modal
Ketersediaan modal menjadi salah satu persoalan utama bagi petani di wilayah Tempuran untuk mengembangkan usaha pertanian. Terbatasnya modal yang dimiliki disebabkan oleh minimnya lahan yang dikelola petani. Rata-rata petani daerah ini hanya memiliki lahan seluas 0,8 hektar.
Kecilnya penghasilan ini menyebabkan petani selalu kesulitan memperoleh tambahan modal. Sebab, modal yang seharusnya disisihkan dari hasil panen digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Petani pun akhirnya terjebak utang yang kian menggerogoti penerimaan setiap musim panen.
Utang diperoleh petani melalui perbankan hingga jalur nonformal lain. Ada Syaifuddin, petani pemilik lahan di Kecamatan Tempuran, Karawang, misalnya, memutuskan meminjam dana kepada bank untuk mencukupi kebutuhan modal saat memasuki masa tanam. Pasalnya, penghasilan setiap musim panen kerap kali tidak mencukupi kebutuhan hidup dan modal pada musim tanam berikutnya.
Besaran dana yang dipinjam Ada bervariasi, Rp 5 juta-Rp 10 juta setiap musim tanam. Pinjaman ini harus dibayar setelah memasuki masa panen.
”Pinjaman dilakukan secara musiman. Kalau rugi, kami pinjam lagi. Banyak petani di sini seperti itu. Pinjaman untuk mencukupi kebutuhan modal pada musim tanam selanjutnya,” kata Ada.
Petani pun akhirnya terjebak utang yang kian menggerogoti penerimaan setiap musim panen.
Utang ini membuktikan petani di daerah Tempuran tidak memiliki kekuatan dari sisi modal. Meski secara kasatmata petani terbantu dengan adanya pinjaman modal, hal ini ibarat jebakan yang tidak disadari petani. Sebab, pada musim panen berikutnya, petani akan mengalami penurunan penerimaan karena harus membayar pinjaman. Hal ini berdampak pada siklus utang yang terus berulang.
Antropolog dari Yale University, James C Scott, dalam bukunya The Moral Economy of the Peasant mengatakan, saat melakukan kegiatan pertanian, petani hanya berusaha untuk menghindari gagal panen dibandingkan memperoleh keuntungan yang besar. Hal inilah yang terjadi di daerah Tempuran, Karawang. Bagi petani, yang terpenting adalah dapat melakukan kegiatan pertanian kembali meskipun harus berutang untuk memperoleh modal.
Diversifikasi tanaman
Selain kendala modal, sulitnya petani untuk hidup sejahtera juga disebabkan minimnya kesempatan melakukan diversifikasi atau penganekaragaman tanaman. Padahal, diversifikasi adalah salah satu solusi untuk meningkatkan penerimaan petani.
Diversifikasi seharusnya dapat dilakukan di sela-sela masa tanam padi. Di daerah Tempuran, pemanfaatan lahan selain untuk tanaman padi dapat dilakukan setelah panen pada bulan April-Juni dan Oktober-Desember. Namun, di daerah Tempuran, upaya diversifikasi masih urung dilakukan.
Salah satu faktor tidak dapat dilakukannya diversifikasi tanaman adalah terbatasnya ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian. Akibatnya, petani hanya memperoleh kesempatan untuk bertani sebanyak dua kali dalam setahun.
Terbatasnya ketersediaan air merupakan dampak dari sistem air bergilir yang diterapkan di daerah Karawang. Sistem ini diterapkan karena terbatasnya ketersediaan air dari Waduk Jatiluhur yang digunakan sebagai sumber pengairan.
Sebagai daerah hilir, Kecamatan Tempuran termasuk penerima air golongan 5. Artinya, petani di daerah ini mendapatkan giliran terakhir penggunaan air irigasi pada setiap musim tanam. Hanya saja, menurut petani, kedatangan air pada setiap musim panen tidak tepat waktu.
Pada musim tanam kedua, misalnya, air hanya dapat digunakan pada bulan Januari. Padahal, Kecamatan Tempuran seharusnya dapat menggunakan air untuk keperluan irigasi pada awal Desember.
Keterlambatan kedatangan air ini disebabkan pembukaan bendungan yang hanya dapat dilakukan setelah kebutuhan air di daerah sebelumnya tercukupi. Jika air dari golongan 1 terlambat, hal itu akan memberikan efek domino bagi daerah lain.
Kepala Bidang Prasarana dan Sarana Pertanian Dinas Pertanian Kabupaten Karawang Usmaniah mengatakan, keterlambatan kedatangan air memang kerap terjadi di daerah Karawang. Hal ini disebabkan terbatasnya sumber daya air yang berasal dari Waduk Jatiluhur.
”Pada praktiknya, kedatangan air untuk irigasi pertanian memang terlambat. Ini disebabkan terbatasnya ketersediaan air. Waduk Jatiluhur airnya ada, tapi belum mencukupi untuk setiap daerah,” ujar Usmaniah.
Keterlambatan kedatangan air ini berdampak pada minimnya waktu untuk melakukan diversifikasi tanaman bagi petani. Sebab, saat air irigasi dapat digunakan pada Januari, petani telah memasuki musim tanam.
Petani pun tak berani mengambil risiko untuk menanam palawija ketika sumber pengairan telah dapat digunakan. Pasalnya, jika menanam palawija, terdapat kemungkinan keterlambatan masa tanaman padi yang dapat berdampak pada ancaman hama.
Keterlambatan kedatangan air ini berdampak pada minimnya waktu untuk melakukan diversifikasi tanaman bagi petani.
Faktor lain yang menyebabkan terbatasnya ruang gerak petani untuk melakukan diversifikasi tanaman adalah banjir rob yang kerap terjadi setiap awal tahun. Letak daerah Tempuran yang berbatasan langsung dengan pesisir pantai menjadi kendala bagi petani untuk melakukan kegiatan pertanian saat terjadinya musim hujan dan air laut pasang.
Banjir beriringan dengan musim tanam karena sudah masuknya air di saluran irigasi. Hanya saja, petani tetap harus menggarap lahan persawahan sebelum banjir. Sebab, petani khawatir pada serangan hama tikus yang mengancam lahan pertanian jika terlambat menggarap lahan. Hal ini dapat menjadi ancaman serius jika ternyata banjir tidak terjadi dan petani menunda menggarap lahan pertanian. Petani di daerah ini pun hidup di tengah spekulasi banjir setiap awal tahun.
Selain petani pemilik lahan, keadaan ini juga turut merugikan buruh tani. Pasalnya, kesempatan untuk memperoleh upah harian juga semakin kecil dengan pola dua kali tanam di daerah Tempuran. Buruh tani di daerah ini juga sulit memiliki sumber penghasilan lain karena keterbatasan modal.
Herman, buruh tani, mengatakan, setiap bulan dirinya memperoleh pemasukan Rp 1 juta-Rp 1,5 juta. Meskipun per hari memperoleh upah sebesar Rp 100.000, terbatasnya hari kerja setiap bulan membuat rata-rata penghasilan per bulan buruh tani tetap kecil.
Hambatan
Pemerintah Daerah Karawang telah melakukan beberapa upaya untuk dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Salah satunya adalah program jajar legowo dari Dinas Pertanian Kabupaten Karawang. Jajar legowo merupakan cara tanam dengan memberikan ruang pada setiap barisan tanam tertentu. Teknik ini merupakan upaya memanipulasi lokasi pertanaman sehingga memiliki jumlah tanaman pinggir yang lebih banyak dengan adanya barisan kosong.
Program ini bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian melalui peningkatan populasi tanaman padi. Pada pola jajar legowo 2:1, populasi tanaman padi dapat meningkat hingga 30 persen. Sementara sistem jajar legowo 4:1 dapat meningkatkan populasi tanaman padi hingga 20 persen.
Penyuluh pertanian di Kecamatan Karawang, Enjang Sastra, mengatakan, sejumlah program inovasi pertanian memang telah diberikan kepada petani. Program ini berada di bawah program besar yang bernama Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Pada program ini dilakukan penyuluhan untuk program inovatif, salah satunya pengembangan teknologi pertanian yang sesuai dengan kondisi lahan.
Hanya saja, program ini tidak berjalan efektif pada daerah Tempuran. Menurut petani pemilik lahan, Ada Syaifuddin, tak ada perubahan pola tanam selama dirinya menjadi petani. Salah satu penyebabnya adalah petani yang masih tetap menggunakan cara lama dalam bertani. Hal ini berdampak pada stagnasi penghasilan petani pada setiap musim tanam.
Selain diversifikasi, pemerintah juga telah memiliki program lain untuk proteksi petani saat terjadi banjir, yaitu asuransi pertanian. Program ini bertujuan untuk menanggung beban kerugian petani saat terjadi kerusakan lahan.
Program asuransi petani ini tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 15/Kpts/Sr.230/B/05/2017 tentang Pedoman Bantuan Premi Asuransi Usaha Tani Padi. Dalam aturan ini, total premi asuransi yang ditetapkan sebesar Rp 180.000 per hektar untuk setiap musim tanam. Namun, petani hanya dibebankan membayar premi sebesar Rp 36.000 per hektar.
Menurut Kepala Bidang Prasarana dan Sarana Pertanian Dinas Pertanian Kabupaten Karawang Usmaniah, petani yang memiliki lahan di bawah 1 hektar mendapatkan bantuan dari Pemerintah Daerah Karawang. Petani pada golongan ini memperoleh bantuan premi sehingga tak perlu membayar setiap musim panen.
Pada program ini, petani yang mengalami kerugian akibat banjir dapat memperoleh ganti rugi sebesar Rp 6 juta. Ganti rugi ini diperoleh dengan syarat intensitas kerusakan yang mencapai 75 persen.
Hanya saja, program ini tidak berjalan efektif di lapangan. Pasalnya, tidak semua petani bersedia mengikuti program ini. Menurut penyuluh pertanian Listia Mujirahayu, petani yang belum pernah terkena bencana banjir sulit untuk diajak mengikuti program asuransi. Pasalnya, petani tersebut belum merasakan dampak atau kerugian secara langsung dari kerusakan lahan.
Hal lain yang membuat petani enggan mengikuti program asuransi adalah kecilnya dana yang diterima jika petani mengalami kerusakan lahan, yaitu Rp 6 juta. Menurut Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa, besaran dana yang diterima ini belum menutupi kerugian petani setiap hektar. Sebab, setiap hektar petani mengeluarkan modal hingga Rp 21 juta per hektar.
Sejumlah persoalan pada masa pratanam hingga tidak berjalannya program pemerintah dalam bidang pertanian di daerah ini menyebabkan petani sulit keluar dari lingkaran kemiskinan. Keadaan serupa terjadi pada masa tanam hingga pascatanam. Bersambung (LITBANG KOMPAS)