Jerat Kemiskinan Petani di Lumbung Padi (2)
Pada masa tanam, salah satu hal yang menyebabkan petani di daerah Tempuran, Karawang, Jawa Barat, sulit keluar dari jeratan kemiskinan adalah kendala sarana dan prasarana. Tak jarang petani harus mengeluarkan biaya tambahan dalam kegiatan pertanian karena keterbatasan sarana dan prasarana.
Pada sisi sarana pertanian, kendala utama yang dialami petani adalah terbatasnya jumlah traktor dan pompa air. Alat dan mesin pertanian (alsintan) ini dimiliki per kelompok tani dan harus digunakan secara bergantian oleh anggota kelompok. Seluruh biaya penggunaan dan perbaikan alsintan juga ditanggung petani.
Ketua Gabungan Kelompok Tani di Kecamatan Tempuran Ilan Jaya mengatakan, kelompok tani memperoleh bantuan satu traktor. Hanya saja, bantuan itu diberikan secara bergilir kepada kelompok tani pada waktu tertentu. Akibatnya, tidak semua kelompok tani memperoleh bantuan alsintan.
Hal itu menyebabkan para petani harus menggunakan traktor lama secara bergantian. Petani sering kali harus menanggung biaya perawatan dan perbaikan traktor setiap kali mengalami kerusakan.
Pada sisi sarana pertanian, kendala utama yang dialami petani adalah terbatasnya jumlah traktor dan pompa air.
”Tidak semua kelompok tani memperoleh bantuan traktor karena sistem bantuan bergilir. Bahkan, ada kelompok tani yang sudah lebih dari lima tahun tidak mendapatkan bantuan. Jadi, petani menggunakan traktor lama dan kalau rusak diperbaiki sendiri,” kata Ilan.
Dalam memberikan bantuan kepada petani, keterbatasan traktor menjadi salah satu kendala bagi Pemerintah Kabupaten Karawang. Hal itu tecermin dari minimnya jumlah traktor yang tersedia. Menurut Kepala Bidang Prasarana dan Sarana Pertanian Dinas Pertanian Kabupaten Karawang Usmaniah, Dinas Pertanian Karawang hanya memiliki sekitar 600 traktor. Traktor itu disebar di seluruh daerah pertanian di Kabupaten Karawang.
Namun, traktor yang tersedia tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan kegiatan pertanian di daerah Karawang. Pasalnya, dengan rata-rata kemampuan satu traktor menggarap 20 hektar lahan per musim, maka lahan yang dapat digarap hanya mencapai 12.000 hektar. Padahal, di daerah Karawang terdapat 95.536 hektar lahan persawahan.
Artinya, traktor yang dimiliki dinas pertanian hanya mampu dimanfaatkan untuk 12,6 persen lahan di Kabupaten Karawang. Hal itulah yang menyebabkan tidak meratanya bantuan traktor yang diterima petani.
Selain traktor, kendala lainnya yang dihadapi petani adalah minimnya pompa air yang tersedia. Menurut petani pemilik lahan, Jejen Supriyadi, pompa air digunakan secara bergantian oleh anggota kelompok tani. Setiap hari dibutuhkan dana sekitar Rp 21.000 untuk membeli 3 liter solar pada pompa dengan diameter pipa 6 inci.
Meskipun tidak membutuhkan biaya yang terlalu besar, penggunaan pompa secara bergantian turut merugikan petani. Sebab, petani dalam satu kelompok tani harus menunggu giliran untuk memanfaatkan pompa air. Hal itu berdampak terhadap keterlambatan petani dalam menanam padi.
Menurut Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat, Regional Kecamatan Tempuran, Ila Karmila, keterlambatan menanam padi di satu hamparan sawah dapat berdampak terhadap ancaman hama. Sebab, hama dapat berpindah dari satu lahan yang sudah digarap ke lahan lainnya yang belum digarap dalam satu hamparan sawah.
Apabila tahap tanaman padi terlambat dan tidak dilakukan secara serentak, persebaran hama sulit diputus. Hal itu pun kembali berdampak terhadap tambahan biaya yang harus dikeluarkan petani untuk memberantas hama.
Baca Juga: Jerat Kemiskinan Petani di Lumbung Padi (1)
Untuk mengatasi kendala itu, Pemerintah Kabupaten Karawang telah mencoba memberikan bantuan pompa air. Namun, sama halnya dengan traktor, bantuan pompa dari Dinas Pertanian Kabupaten Karawang juga terbatas. Di daerah Karawang terdapat sekitar 360 pompa air. Ketersediaan pompa air ini masih sangat minim jika dibandingkan dengan kelompok tani di Karawang yang berjumlah sekitar 2.300 kelompok tani.
Kendala ini disiasati kelompok tani dengan upaya peminjaman alsintan. Cara itu dilakukan jika kelompok tani lainnya mengalami persoalan seperti kerusakan alsintan pada masa penggarapan lahan. Upaya itu dinilai petani sebagai jalan keluar untuk mengatasi keterbatasan alsintan bersama 68 kelompok tani lainnya di Kecamatan Tempuran.
Prasarana
Selain sarana pertanian, kendala pada bidang prasarana juga berdampak terhadap tergerusnya penerimaan petani di daerah Tempuran. Salah satu prasarana yang belum dimiliki secara merata di daerah ini adalah jalan usaha tani yang menghubungkan antara jalan utama desa dan area pertanian.
Jalan usaha tani sangat dibutuhkan petani saat musim panen. Sebab, jalan ini merupakan akses yang dapat digunakan untuk mengangkut gabah kering panen dari area persawahan menuju jalan utama desa.
Hingga awal 2019 pembangunan jalan usaha tani dilakukan secara bertahap. Hanya saja, belum semua hamparan sawah memiliki jalan usaha tani. Selama ini, sebagian petani belum dapat memanfaatkan jalan penghubung itu secara optimal karena hanya berupa jalan tanah yang cenderung berlumpur.
Akibatnya, petani harus menyewa jasa ”ojek” untuk mengangkut hasil pertanian pada setiap musim panen. Jasa ojek yang dimaksud merupakan sepeda motor yang telah dirancang untuk melewati jalanan menuju area persawahan. Petani harus membayar hingga Rp 7.000 per karung gabah untuk dapat mengangkut hasil pertanian dari sawah menuju jalan utama desa.
Setiap satu karung yang diangkut berisi sekitar 40 kilogram gabah. Apabila dalam 1 hektar petani berhasil panen hingga 7,7 ton, maka terdapat 193 karung gabah yang harus diangkut. Artinya, petani harus membayar jasa sewa ojek hingga Rp 1,3 juta untuk satu kali panen.
Selain jalan usaha tani, prasarana yang belum dapat dimanfaatkan petani adalah kartu tani.
Biaya sewa ojek ini turut menggerus penerimaan petani. Apabila jalan usaha tani telah dibangun, petani dapat menghemat karena dapat menggunakan kendaraan pribadi untuk mengangkut hasil panen.
”Jalan usaha tani dibutuhkan dari jalan desa sampai pematang sawah. Ini bermanfaat untuk panen dan menekan biaya panen sehingga tidak lagi perlu sewa ojek,” kata Jejen Supriyadi (40), petani pemilik lahan.
Selain jalan usaha tani, prasarana yang belum dapat dimanfaatkan petani adalah kartu tani. Kartu tani merupakan kartu yang dapat digunakan petani untuk berbagai kegiatan pertanian, seperti pembelian pupuk bersubsidi dan kemudahan penjualan hasil panen tanpa melalui perantara.
Petani di daerah Tempuran telah memiliki kartu tani. Namun, menurut Kepala Bidang Prasarana dan Sarana Pertanian Dinas Pertanian Kabupaten Karawang Usmaniah, belum semua kartu tani di daerah Karawang dapat dimanfaatkan. Sebab, program ini dijalankan secara bertahap di setiap daerah di Provinsi Jawa Barat.
Secara keseluruhan, kendala pada masa tanam ini berdampak terhadap tergerusnya penerimaan setiap petani. Biaya perbaikan mesin hingga tambahan biaya angkut saat panen yang harus dikeluarkan petani merupakan dampak dari minimnya ketersediaan sarana dan prasarana di daerah Tempuran. Biaya itu semestinya dapat ditekan dan menjadi bagian dari keuntungan petani jika sarana dan prasarana telah memadai.
Baca Juga: Reinkarnasi Kisah Marhaen di Karawang
Petani adalah pihak yang tidak memiliki banyak peluang untuk menghitung keuntungan (Scott, 1981). Di daerah Tempuran, petani tetap menjalankan usaha tani tanpa dapat menghitung besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Keadaan itu berdampak terhadap terjebaknya petani pada keadaan ekonomi yang subsisten. Bersambung (Dedy Afrianto/Litbang Kompas)