Rekonsiliasi
Namun, apakah kini diksi itu masih bermakna demikian. Terlalu sering kita dengar istilah ini dituturkan. Dan, itu berarti bahwa ia telah menjadi semacam ”deiksis”, sebuah tanda indeksikal dalam terminologi ”semiotika peircian”, yang menunjuk pada fakta historis bahwa hubungan persaudaraan kita sebagai bangsa sering retak. Di situ rekonsiliasi bisa jadi memang menyembuhkan. Tapi, keberulangan tuturannya menunjukkan bahwa ia hanya bereaksi sesaat. Keretakan selalu kambuh. Dan, kambuh.
Apa gerangan yang jadi soal? Sebagai jampi, rekonsiliasi adalah ramuan kultural. Ramuan jenis ini sebenarnya baru akan mujarab jika dikombinasikan dengan ”resep struktural”, obat yang harus diminum dengan aturan pakai yang teratur dan terukur. Hal itu tidak lain adalah hukum yang berdiri tegak.
Artinya, rekonsiliasi mesti dilakukan dengan tidak mendahului hukum. Siapa yang membuat keretakan hubungan terlebih dahulu harus diberi sanksi hukum yang adil. Ibarat luka, kotoran di sekitar luka harus disterilkan lebih dulu sebelum diolesi cairan antiseptik dan dibungkus kain kasa. Tanpa tindakan demikian, rekonsiliasi tak lebih hanya akan jadi alibi. Ia hanya menjadi mekanisme untuk menyangkal bahwa pelaku tak ada ketika peristiwa terjadi. Dengan kata lain, semua dianggap tak pernah ada. Bukankah kita juga akrab dengan ungkapan, ”Sudahlah, yang lalu biarlah berlalu, yang penting ke depan kita perbaiki.”
Kita lupa, ungkapan itu sebenarnya lahir sebagai ”kebijakan lokal” dari tradisi lisan primer— meminjam Ong (1982). Dalam tradisi lisan primer—zaman ketika sama sekali orang belum mengenal aksara—acuan kebenaran dan nilai adalah kelisanan itu sendiri, sebuah tindakan yang bukan hanya kata-kata, melainkan keseluruhan perilaku. Kini, kita tahu, tuturan lebih sering tanggal dari tindakan. Dan, tuturan tanpa tindakan adalah kepura-puraan.
Hanya di situ letak jampi rekonsiliasi jika tak didahului pemberlakuan hukum yang adil. Tanpa penegakan hukum, status rekonsiliasi sebagai mantra kultural berubah menjadi siasat busuk politik. Dalam ranah ini, alih-alih menyembuhkan, rekonsiliasi hanya berfungsi menyembunyikan luka. Luka memang tidak tampak dari luar, tapi di bagian dalam perihnya bisa berlipat. Itu mengapa ia hanya bertahan sesaat.
Luka yang memanjang
Sebagai bangsa yang hidup dalam keragaman sekaligus kekuatan budaya, rekonsiliasi yang didahului penegakan hukum, sangat dibutuhkan. Dalam konteks ini, rekonsiliasi menjadi semacam perayaan untuk menyempurnakan kesembuhan, mengembalikan suasana ke dalam kegembiraan bersama. Bagaimanapun, upacara atau perayaan seremonial telah jadi bagian tak terpisahkan kehidupan kebermasyarakatan (berkebudayaan) kita.
Saat ini, terutama setelah presiden periode 2019-2024 definitif terpilih, rekonsiliasi dalam pengertian di atas menjadi keharusan. Kita sadar, situasi berkebangsaan saat ini sedang sangat tak membahagiakan. Indonesia hari ini bukan hanya menjadi tanda yang retak—meminjam judul buku yang dieditori Christomy (2002), melainkan juga nganga terbelah.
Sesungguhnya ini juga bukan luka kemarin sore, melainkan telah memanjang sebagai warisan sejarah. Jika diambil dari periode terpendek saja, luka hari ini adalah warisan dari polarisasi pilpres periode 2014-2019. Kita tentu ingat bagaimana keterbelahan yang terjadi kala itu. Betapa sangat mengkhawatirkan. Hari ini semua itu berulang. Tengoklah, dalam banyak hal, ”konten peristiwa” yang berulangnya tak jauh beda.
Mengapa? Hemat saya, penyebabnya bukan karena kompetitornya sama (berulang), melainkan karena banyak persoalan yang belum sempat terselesaikan. Kita ingat, dalam pidato kemenangan presiden terpilih waktu itu, Jokowi, dikumandangkan semacam himne perdamaian: salam tiga jari. Lebih kurang Jokowi berpesan agar semua kembali ke habitat masing-masing: petani kembali bertani, nelayan kembali melaut, karyawan kembali bekerja, dan seterusnya. Imbauan untuk kembali melebur jadi satu dalam damai ini sekaligus menegaskan bahwa situasi saat itu memang sedang dalam keadaan krisis persatuan.
Pastikan hukum berfungsi
Namun, rupanya imbauan itu tak mampu menembus ruang dalam konflik. Ia hanya menutupi luka di bagian luar, tanpa menyembuhkannya. Dalam perjalanannya, alih-alih sembuh, luka itu malah kian menganga. Persoalan malah bertambah. Salah satu tambahan masalah yang mungkin tak disadari banyak pihak, diakibatkan tak pernah pulangnya para sukarelawan ke kediaman semula, tempat nuraninya terpanggil sebagai sukarelawan.
Umumnya sukarelawan menetap di lingkaran kekuasaan dan tampak pemerintah juga memang merawatnya. Tergambar semacam ketidaksadaran kolektif bahwa di luar sana masih banyak pihak yang sedang mengancam kemenangannya sehingga kekuasaan harus dikawal. Padahal, sejarah kekuasaan acap bergerak ke wilayah-wilayah yang justru sering tak disukai seorang sukarelawan, dalam ranah apa pun. Maka, bagaimana itu bisa dideteksi sukarelawan jika sukarelawannya sendiri telah menetap di dalamnya.
Pemerintah yang dikawal sukarelawan boleh jadi merasa aman, minimal terbebas dari berbagai kritik. Namun, pemerintahan yang tidak pernah dikritik akan sangat berbahaya bukan hanya bagi kehidupan rakyat yang diperintahnya, melainkan bagi penguasa dalam pemerintahan itu sendiri. Bagaimanapun kritik publik adalah ”lembaga kontrol” yang bekerja tanpa pamrih, layaknya sukarelawan. Penguasa boleh saja menolak secara verbal, tetapi tanpa disadari ia akan mendapat banyak manfaat darinya. Dan, tanpa disadari bisa jadi pula ia bekerja mengikuti berbagai saran kritis yang ditolaknya itu, sekecil apa pun.
Becermin pada pengalaman itu, dalam fase terakhir pilpres —segala soal harus diselesaikan terlebih dahulu. Presiden baru mesti lahir dari rahim yang bersih. Untuk itu, hukum harus difungsikan hingga tahap maksimal. Jatuhkan sanksi bagi pihak yang layak menerimanya. Semua elemen bangsa harus memastikan semua berproses sebagaimana mestinya. Situasi buruk yang berjalan sejauh ini harus menjadi momen untuk melahirkan kebaikan.
Lahirnya presiden baru dengan mekanisme sedemikian sejatinya menandai lahirnya rekonsiliasi: bersama bergembira menyembuhkan luka. Rekonsiliasi, di situ, tak berarti juga harus ”berkerumun dalam konsolidasi”, tetapi juga kembali ke habitat masing-masing. Sekali lagi, bukan hanya nelayan yang harus pulang ke laut, tetapi para seniman, budayawan, pemikir, kritikus, akademisi, dan lain-lain yang menjadi sukarelawan juga harus mundur dari halaman istana. Jika fase akhir yang krusial ini tak dilalui dengan cara demikian, barangkali kita hanya akan mendengar lantunan salam tiga jari seperti kita pernah mendengarnya pada 2014. Semuanya hanya riak yang berulang di permukaan.
Acep Iwan Saidi Pembelajar Semiotika, Dosen ITB