Megah dan Canggih di Masanya
SATU waktu seorang wisatawan asing paruh baya asal ”Negeri Kincir Angin” datang berkunjung dan meminta kepada petugas Museum Bank Mandiri agar ia diizinkan naik ke lantai satu gedung cagar budaya warisan kolonial yang berarsitektur Indisch dengan gaya Nieuw-Zakelijk atau ”art deco” klasik itu.
Sang wisatawan, belakangan juga memperkenalkan diri sebagai dosen di Universitas Leiden, Belanda, mengaku ingin melihat ruangan kerja mendiang kakeknya yang dahulu pernah berkantor sebagai seorang pejabat penting di Nederlandsche Handel Maatschappij NV.
”Awalnya kami beri tahu bahwa ruangan di lantai satu itu tidak untuk kunjungan publik. Namun, kami tertarik karena dia bisa bercerita bentuk dan isi ruangan dengan rinci. Padahal, tak banyak orang tahu. Ternyata cerita-cerita itu didapat dari mendiang kakeknya,” ujar Kepala Museum Bank Mandiri Budi Trinovari, Kamis (2/5/2019).
Benar juga, lukisan wajah sang kakek terpampang di dinding area ruang pimpinan di lantai satu. Sang kakek adalah salah satu presiden Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) NV yang menjabat pada 1934-1939. Perusahaan dagang NHM NV didirikan tahun 1824 untuk memperbaiki perekonomian Kerajaan Belanda.
Setelah bubarnya kongsi dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada 31 Desember 1799, perekonomian Belanda terbilang morat-marit. Kongsi dagang itu bangkrut lantaran didera banyak kasus korupsi dan membiayai berbagai perang, baik di tanah jajahan maupun di Eropa ketika itu.
NHM diyakini dibentuk dan didirikan pihak kerajaan, termasuk untuk melanjutkan kebijakan monopoli perdagangan beragam komoditas unggulan saat itu, seperti kopi, kina, teh, tebu, dan lada.
Bahkan, dalam catatan buku besar perniagaan tahun 1833 yang masih tersimpan rapi di Museum Bank Mandiri, tampak NHM NV juga memonopoli perniagaan opium yang didatangkan dari beberapa negara di kawasan Timur Tengah saat ini untuk diperdagangkan lagi, termasuk di Pulau Jawa.
Perusahaan NHM NV juga berperan besar dalam menjalankan kebijakan tanam paksa (cultuur stelsel) di tanah jajahannya, termasuk Indonesia dan Suriname, khususnya sekitar tahun 1830. Hingga tahun 1880-an perusahaan itu juga memiliki banyak perkebunan komoditas unggulan mereka yang menjadi cikal bakal PTPN-PTPN di Nusantara.
Hal itulah yang menjadikannya perusahaan terpenting dan paling strategis, yang menyumbang pundi-pundi keuangan dan perekonomian pemerintahan Kerajaan Belanda kala itu. Bagaimana tidak, menurut Budi, di masa itu komoditas yang diperdagangkan adalah barang-barang premium.
”Yang namanya gula tebu, kalau dilihat dari catatan di buku besar, nilainya setara emas batangan di pasaran Eropa ketika itu. Sementara kopi saat itu juga dianggap sebagai minuman mewah yang hanya bisa dinikmati kalangan para bangsawan,” ujar Budi.
Jangan heran, tambah Budi, dengan perannya yang sangat strategis itu, NHM NV bisa mendirikan gedung kantor yang termegah, terbesar, juga tercanggih pada masanya. Dikenal pula dengan sebutan De Factorij Batavia, bangunan itu berdiri di atas lahan 10.039 meter persegi dengan total luas bangunan empat lantai mencapai 21.509 meter persegi.
Tiga arsitek kenamaan Belanda, JJJ de Bruijn, C van de Linde, dan Anthonie Pieter Smits, merancang bangun gedung tersebut. Pembangunannya berlangsung empat tahun sejak 1929. Sejumlah bahan baku bangunan terbaik didatangkan dari luar negeri, seperti semen dan 2 juta batang batu bata asal Portland, Inggris.
Keramik untuk lantai beberapa ruangan dan dinding menggunakan bahan mosaik keramik bercampur kaca (glasmozaiek tegels) buatan Venesia, Italia, berwarna hitam dan merah. Adapun bagian ubin juga ada yang dibuat dari batu granit asal Jerman.
Dinding sekitar tangga depan dan hall tengah menuju lantai satu tempat ruang rapat besar berada dihiasi ornamen kaca patri sumbangan presiden ke-10 NHM, CJ Karel van Aaist. Ornamen ini menggambarkan empat musim di Eropa dan tokoh nakhoda kapal Belanda, Cornelis de Houtman, yang mendarat di Banten tahun 1596.
Lebih lanjut, kecanggihan rancang bangun gedung NHM NV ini juga tampak dari konstruksi fondasi yang dibuat sedemikian rupa sehingga tahan gempa. Selain itu, di dalamnya juga terdapat ruangan dan fasilitas yang didesain sedemikian rupa sehingga bahkan dalam kondisi perang atau terisolasi sekalipun, orang-orang yang ada di dalamnya bisa bertahan.
Tahan serangan bom
Budi juga memperlihatkan beberapa fasilitas tambahan yang terbilang canggih di kala itu. Salah satunya tempat penampungan dan pengolahan air mandiri yang berada di area basemen.
Ketebalan dinding bangunan juga diyakini mampu bertahan dari serangan bom di masa perang. Bahan baku pasirnya terlebih dahulu dibersihkan dengan alat dan metode tertentu sehingga benar-benar bisa memisahkan kandungan tanah atau lumpur yang bisa menurunkan kualitas pasir bangunan.
Gedung itu juga memiliki jalur evakuasi rahasia, termasuk lorong rahasia yang ada di antara dua lantai, terutama diperuntukkan bagi kalangan pimpinan melarikan diri. Gedung NHM NV juga punya fasilitas lorong udara yang terbilang canggih di masanya.
Dengan lorong udara itu, sirkulasi, temperatur, dan kelembaban udara bisa terjaga di seluruh bagian gedung. Selain untuk kenyamanan, sistem itu juga diyakini terkait area penyimpanan arsip, dokumen berharga, dan catatan perbankan yang ada.
Di bagian basemen, terutama pada area penyimpanan uang, surat berharga, dan logam mulia, gedung ini juga dilengkapi sejumlah fasilitas canggih, seperti pintu-pintu baja tebal dan besar—seberat 4 ton—untuk pengamanan. Untuk menuju dan keluar dari area itu, orang juga bisa menggunakan fasilitas lift berpenggerak listrik.
Area publik
Selain menjadi lokasi kunjungan wisata bersejarah, terutama terkait perbankan dan keuangan, Museum Bank Mandiri juga menjadi tempat beraktivitas bagi 33 komunitas masyarakat yang ada, seperti terkait budaya dan sejarah, fotografi, anak, musik, serta olahraga seperti pencak silat.
Ketua Komunitas Jelajah Budaya (KJB) Kartum Setiawan menyebut, secara rutin komunitasnya menggelar kegiatan di Museum Bank Mandiri, di antaranya Jelajah Kota Toea dan seminar sejarah.
Rata-rata setiap bulan ada dua kali kegiatan yang digelar gratis di situ. Kalaupun meminjam tempat atau ruangan, para peserta, menurut Kartum, hanya dikenai biaya masuk museum dan kontribusi untuk jasa kebersihan dari ruangan yang digunakan di dalam museum.
”Kami pernah menggelar semacam rekonstruksi perjamuan makan malam rijsttafel ala kolonial Belanda zaman dulu di aula besar museum. Sempat beberapa kali dibuat dan akan dilakukan setiap tahun atau jika memang ada yang berminat,” ujar Kartum.
Pada dasarnya makan malam ala rijsttafel ini merupakan penggabungan antara etiket dan tata cara makan ala Eropa dengan menu-menu makanan yang ada dan populer di kalangan masyarakat pribumi k.etika itu. Tata cara dan etiket makan dimulai dengan makanan pembuka, makanan utama, dan hidangan penutup.
Sementara itu, Wagiman dari komunitas WG Heritage Photo Tour menyebut, pihaknya biasa menggelar kegiatan setidaknya dua kali sebulan, biasanya pemotretan foto dengan model, lokakarya dengan mengundang pembicara, dan acara amal.