Masyarakat di Kalteng didorong untuk membudidayakan kakao untuk menjaga hutan mereka dari kerusakan. Dalam mengembangkan kakao masyarakat menggunakan teknik tumpang sari bukan monokultur.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Masyarakat di Kalteng didorong untuk membudidayakan kakao sebagai alternatif ekonomi untuk menjaga hutan mereka dari kerusakan. Dalam mengembangkan kakao masyarakat menggunakan teknik tumpang sari bukan monokultur.
Sebelumnya, cokelat dari Kalimantan Tengah mulai dilirik pengusahan cokelat di Eropa, Schell Schokoladen. Sebanyak 50 kilogram ferementasi buah cokelat dibawa dan diproduksi menjadi 1.000 bar cokelat di Jerman.
Para petani Kabupaten Murung Raya dan Gunung Mas didampingi oleh sebuah organisasi asal Jerman, Fairventures Worldwide (FVW). FVW tak hanya mengajari mereka cara membuat fermentasi tetapi juga mencarikan mereka pasar hingga keluar Indonesia.
Mereka membeli cokelat dengan harga Rp 5.000 per buah, jauh lebih mahal dari yang petani jual ke tengkulak dengan harga Rp 20.000 per kilogram. Satu kilogram biji cokelat basah sekitar 15-20 buah cokelat. Jadi untuk 20 buah cokelat petani bisa mendapatkan Rp 100.000.
Program Manajer Non Timber Forest Products (NTFP) dari lembaga FVW Benjamin Schwegler menjelaskan, kakao sudah menjadi salah satu komoditas andalan di Murung Raya dan Gunung Mas. Keterbatasan akses membuat komoditas itu seakan tenggelam.
Menurut Schwegler, tujuan FVW mengembangkan kakao adalah agar menghindari lahan mereka dari kerusakan alam. Schwegler memahami, masyarakat terkadang melakukan hal ilegal seperti pembalakan liar dan tambang ilegal. Dengan begitu FVW mencari alternatif ekonomi dengan memberikan akses ke pasar dan pemberdayaan dari komoditas yang ada.
“Dengan cara itu hutan di sekitar mereka juga aman dari kerusakan yang dibuat oleh ulah manusia, mereka juga bisa lebih sejahtera,” ungkap Schwegler saat dihubungi dari Palangkaraya, Senin (13/5/2019).
FVW sudah membuat beberapa program, selain pemberdayaan petani kakao mereka sebelumnya memiliki program Satu Juta Pohon bersama lembaga lokal Borneo Institute (BIT). Melalui program itu, petani diajak untuk menjaga lahannya dan menanam pohon.
Direktur BIT Yanedi Jagau mengungkapkan, petani tak hanya menanam pohon tetapi juga diajarkan untuk menggunakan teknik tumpang sari seperti yang dilakukan dalam pemberdayaan petani kakao. Mereka tak hanya menanam pohon kakao tetapi juga tanaman lainnya yang bisa dikonsumsi harian seperti sayuran dan buah di sela-sela kakao.
Dengan cara itu hutan di sekitar mereka juga aman dari kerusakan yang dibuat oleh ulah manusia, mereka juga bisa lebih sejahtera
Untuk program Satu Juta Pohon, mereka menanam berbagai tanaman keras seperti sengon, jelutung, dan tanaman endemik hutan Kalimantan lainnya.
“Tak sampai di situ kami juga tetap harus mencari akses ke pasarnya, kalau tidak itu percuma. Kalau sengon kami sudah bekerja sama dengan perusahaan di Jawa Tengah,” kata Yanedi.
Yanedi menjelaskan, dengan alternatif ekonomi petani akan memberikan banyak perhatian pada kelangsungan hutan dan menjaganya. Selain itu, program ini juga mengharuskan petani yang bergabung untuk menyelesaikan konflik lahan di antara petani.
Tak sampai di situ kami juga tetap harus mencari akses ke pasarnya, kalau tidak itu percuma. Kalau sengon kami sudah bekerja sama dengan perusahaan di Jawa Tengah
“Mereka tidak bisa ikut program ini kalau masih ada masalah di lahannya, minimal mereka punya surat-surat sah yang menunjukkan tanah itu milik mereka,” ungkap Yanedi.
Sepine (32), warga Desa Tumbang Talaken, Kabupaten Gunung Mas, Kalteng, mengungkapkan, program Satu Juta Pohon dan pemberdayaan petani kakao memberikan pengalaman dan pengetahuan baru bagi masyarakat. Tak hanya penanaman, tetapi juga proses setelah panen. “Ini menguntungkan, ini usaha untuk anak-anak di masa depan juga,” ujarnya.