Menarik juga temuan perusahaan penelitian Inggris, YouGove, yang menempatkan Indonesia di urutan tertinggi yang tidak percaya pema- nasan global dipicu manusia.
Hal ini melahirkan kesimpulan bahwa pemahaman atau kesadaran masyarakat Indonesia masih rendah dan itu berimplikasi pada kurangnya tanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan (Kompas, 13/5/2019).
Kesimpulan tersebut bisa ditafsirkan luas. Pertama, masyarakat umum kurang tertarik pada soal semacam perubahan iklim. Kedua, masyarakat umum sampai tingkat tertentu mendengar soal perubahan iklim, tetapi memendam sikap skeptis, apakah benar hal itu terjadi.
Dari sisi literasi atau sosialisasi masalah, kita berpandangan bahwa media massa di Indonesia sudah cukup memberikan ruang bagi pemberitaan tentang perubahan iklim dan fenomena pemanasan global. Kalaupun berita tentang perundingan dan perjanjian internasional terkait isu ini dan upaya penanggulangannya melalui pengurangan emisi karbon masih terlalu teknis, ada buku dan film ilmiah populer, seperti An Inconvenient Truth karya mantan Wakil Presiden AS Al Gore, tahun 2006, yang diberitakan luas. Karya Al Gore didesain untuk mengedukasi khalayak akan perubahan iklim.
Akan tetapi, alih-alih mengubah cara pandang warga dunia, keraguan atas kebenaran tesis perubahan iklim masih terjadi di negara maju, termasuk AS. Pemerintah di negara adidaya ini masih enggan untuk mengurangi emisi karbon secara drastis, terutama karena melakukan hal itu akan mengurangi daya saing industri dan juga perekonomian negara.
Sebagian pemerintah di negara berkembang juga enggan memangkas emisi karbon karena belum cukup menguasai teknologi pengganti bahan bakar fosil. Secara prinsip mereka berpandangan bahwa negara majulah yang pertama-tama harus bergerak mengurangi efek pemanasan global.
Di luar perbedaan pandangan tentang sahih tidaknya fenomena perubahan iklim, sudah ada banyak kemajuan yang dicapai. Riset dan pengembangan untuk energi baru dan terbarukan terus dilakukan, sekaligus penerapannya. Misalnya saja, semakin banyak kita melihat kincir angin dibangun di negara seperti Denmark untuk menggantikan energi fosil.
Kembali pada Indonesia, isu perubahan iklim/pemanasan global tak muncul dalam wacana sehari-hari warga masyarakat. Ini menyiratkan bahwa isu ini bukan isu arus utama atau dengan kata lain belum mendesak.
Jika dikatakan pemanasan global dipicu oleh aktivitas manusia, itu kian jauh dari imajinasi bahwa manusia bisa mengubah iklim bumi yang mahaluas ini. Padahal, semakin luas diterima bahwa suhu permukaan bumi benar-benar meningkat, terutama setelah terjadinya Revolusi Industri yang disertai penggunaan bahan bakar fosil secara besar-besaran. Pembabatan hutan dan pembukaan lahan dengan membakar juga merupakan kontribusi manusia pada pemanasan global.
Tak ada cara lain, pemerintah dan media, serta lembaga pendidikan, masih harus meningkatkan literasi publik tentang isu perubahan iklim dan pemanasan global.