Seiring kehadiran armada AS di wilayah Teluk, terjadi insiden serangan atas kapal tanker Arab Saudi di perairan Uni Emirat Arab. Uni Eropa kukuh pertahankan perjanjian nuklir.
RIYADH, SENIN— Kondisi di sekitar Teluk Persia memanas setelah dua tanker Arab Saudi diserang pihak tidak dikenal. Insiden itu terjadi di tengah ketegangan akibat pengerahan gugus tempur Amerika Serikat ke Timur Tengah dan ancaman Iran untuk mengaktifkan lagi program nuklir.
Menteri Energi Arab Saudi Khalid al-Falih mengatakan, salah satu tanker itu akan mengangkut minyak dari Pelabuhan Ras Tanura yang terletak di wilayah Saudi di pesisir Teluk Persia. Dari sana, tanker itu akan mengantar minyak ke AS. ”Komunitas internasional bersama bertanggung jawab melindungi keselamatan pelayaran dan keamanan tanker minyak untuk memitigasi ancaman dari kejadian sejenis pada pasar energi dan dampaknya pada perekonomian global,” ujarnya, Senin (13/5/2019), di Riyadh.
Uni Emirat Arab (UEA) mengumumkan, kedua kapal Saudi itu bagian dari empat kapal yang diserang di lepas pantai Pelabuhan Fujairah, UEA. Pelabuhan itu terletak di ujung Selat Hormuz, selat sempit yang memisahkan Iran dengan rivalnya di kawasan Teluk. Selat itu dilalui kapal-kapal tanker yang membawa minyak hingga 174 juta barel per hari atau setara seperlima pasokan global sepanjang 2018. Selat itu juga dilalui kapal-kapal pengangkut gas bumi dari eksportir terbesarnya, Qatar.
Reaksi Iran
Kementerian Luar Negeri Iran mendesak penyelidikan menyeluruh atas insiden itu. Serangan itu dinyatakan mengerikan dan mematikan. ”Kejadian itu menimbulkan dampak negatif bagi keamanan pelayaran,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Abbas Mousavi.
Ia menuding ada pihak asing yang bermain dalam insiden itu. Tidak dijelaskan lebih lanjut maksud tuduhan itu.
Iran bereaksi cepat di tengah ketegangan di kawasan. Iran kini sedang dalam tahap saling ancam dengan AS. Ketegangan meningkat selepas Washington mengirimkan gugus tempur berkekuatan kapal induk, kapal perang, kapal pendarat, pesawat pengebom B-52, dan sistem rudal antirudal ke Timur Tengah. Manuver itu menyusul keputusan AS-Iran saling menyatakan militer masing-masing sebagai organisasi teroris.
AS lebih dulu menetapkan Garda Revolusi Iran (IRGC) sebagai organisasi teroris. Teheran membalasnya dengan menetapkan Komando Tengah AS, yang mengendalikan operasi militer AS di Timur Tengah, sebagai organisasi teroris. IRGC juga menyatakan seluruh personel dan aset militer AS di Timur Tengah sebagai sasaran operasi.
Selepas menambah kekuatan di sekitar Iran, AS memperingatkan kapal sipil bisa menjadi sasaran serangan. Tidak disebutkan kapan dan siapa penyerang yang dimaksud AS.
Nuklir
Meningkatnya ketegangan itu tak bisa dilepaskan dari langkah sepihak AS keluar dari perjanjian nuklir yang dibuatnya bersama sejumlah negara lain dengan Iran (JCPOA) pada 2015. AS menambah sanksi dan memutus ekspor minyak Iran yang menjadi sumber pendapatan utama Iran.
Iran menanggapinya dengan mengancam akan mengaktifkan lagi program nuklirnya. Teheran tidak akan melakukan itu apabila penandatangan JCPOA lainnya memastikan semua kesepakatan JCPOA dijalankan.
”Meninggalkan kesepakatan 2015 adalah kesalahan karena itu membatalkan yang sudah dilakukan. Karena itu, Perancis akan bertahan. Tergantung kita untuk meyakinkan para pihak,” kata Presiden Perancis Emmanuel Macron.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini menekankan pentingnya persatuan Eropa untuk masalah itu. ”Kami tetap berkomitmen sepenuhnya menerapkan kesepakatan nuklir. Ini masalah keamanan bagi kita dan seluruh dunia,” ujarnya.