Amandemen Konvensi Basel Perkuat Regulasi Nasional
›
Amandemen Konvensi Basel...
Iklan
Amandemen Konvensi Basel Perkuat Regulasi Nasional
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Hasil Konferensi Para Pihak Ke-14 terkait Konvensi Basel yang mewajibkan pengendalian perdagangan sampah plastik memperkuat regulasi di Indonesia. Pemerintah Indonesia tinggal menjalankan dan menerapkan instrumen antarpemerintah sebagai pelaksananya.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rosa Vivien Ratnawati, Selasa (14/5/2019) di Jakarta, mengatakan impor sampah telah dilarang dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Impor sampah plastik untuk industri daur ulang sesuai UU itu harus dalam kondisi bersih, siap diolah, dan tanpa residu.
Rosa Vivien memaparkan, limbah plastik sebelumnya sudah masuk dalam Konvensi Basel. Namun limbah plastik masuk dalam Annex IX yang dalam pengaturannya belum menyebutkan jenis limbah plastik yang bisa didaur ulang dan yang tak bisa didaur ulang.
Selain itu belum ada pengaturan bila limbah plastik tersebut terkontaminasi limbah lain selain plastik. Itu menyebabkan banyak limbah plastik – tak bisa didaur ulang serta tercemar pengotor lain – yang akhirnya dibuang ke lingkungan tanpa kendali.
Seiring Amandemen Konvensi Basel yang diadopsi dalam sidang 29 April – 10 Mei 2019, limbah plastik mulai ditertibkan dengan mendetilkannya dalam Annex II, Annex VIII, dan Anex IX. Annex II meliputi limbah plastik yang tercampur kayu, kain, dan lain-lain yang dilarang masuk ke negara Indonesia karena berkategori sampah yang dilarang dalam UU 18 tahun 2008.
Annex VIII merupakan limbah plastik yang terkontaminasi limbah bahan beracun berbahaya (B3) atau tercampur dengan limbah B3. “Hal ini sebenarnya selama ini tidak bisa masuk ke negara kita karena telah diatur dalam PP No 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun,” kata Rosa Vivien.
Adapun Annex IX yaitu limbah plastik yang bisa didaur ulang dan dibuat produk tertentu. Proses ekspor-impor limbah plastik dalam daftar itu tidak membutuhkan notifikasi. Hal itu yang meski dalam regulasi nasional Indonesia telah diatur namun lemah dalam pelaksanaan.
“Secara keseluruhan amandemen Annex di Konvensi Basel terkait limbah plastik ini sebenarnya lebih memperkuat lagi kebijakan nasional kita yang sekarang mulai ikut diatur dalam Konvensi Basel. Jadi, dari negara pengimpor dan pengekspor bisa memiliki pemahaman mana yang dilarang dan mana yang diizinkan karena telah diatur secara internasional,” katanya.
Dari negara pengimpor dan pengekspor bisa memiliki pemahaman mana yang dilarang dan mana yang diizinkan karena telah diatur secara internasional.
Diakui Rosa Vivien, dampak Konvensi Basel bagi pengelolaan ekspor-impor limbah plastik kini menghadapkan negara pengekspor dengan negara tujuan ekspor atau antarnegara. Sebelumnya, hubungannya perusahaan eksportir dengan importir atau negara tujuan ekspor.
“Negara eksportir akan ikut bertanggung jawab terhadap kualitas skrap plastik yang diekspor,” kata dia. Pelaksanaan amandemen Konvensi Basel ini mulai berlaku penuh pada 1 Januari 2021.
Mencemari laut
Terkait impor sampah ini, dalam diskusi di Bentara Budaya Jakarta, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti turut menyinggungnya. Ia mengatakan Indonesia akan menjadi sasaran kiriman sampah-sampah dari dunia karena China tahun lalu telah melarang impor sampah plastik diikuti Malaysia, Thailand, dan Filipina.
“Impor plastik itu hanya 40 persen yang bisa didaur ulang, sebanyak 60 persennya jadi sampah. Ini yang akan mengotori sungai dan laut kita,” ujarnya. Ketegasan untuk menolak impor sampah plastik diperlukan agar janji Indonesia pada dunia untuk mengurangi 75 persen sampah di laut pada tahun 2025 dapat dipenuhi.