Ade M Zulkarnain dan Naryanto Melestarikan Ayam Asli Indonesia
Ade Meirizal Zulkarnain (55) dan Naryanto (40) terdorong untuk melakukan konservasi terhadap ayam asli Indonesia. Mereka prihatin dengan kondisi ayam asli Indonesia yang mulai terancam punah, bahkan ada yang sudah punah.
Ade Meirizal Zulkarnain (55) dan Naryanto (40) terdorong untuk melakukan konservasi terhadap ayam asli Indonesia. Mereka prihatin dengan kondisi ayam asli Indonesia yang mulai terancam punah, bahkan ada yang sudah punah.
Peternakan ayam milik PT Sumber Unggas Indonesia yang berlokasi di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, berjarak sekitar 10 meter dari permukiman penduduk. Kandang-kandang ayam tersebut ditempatkan di lahan seluas 3 hektar. Ribuan ayam menempati ruangan tertutup, tetapi memiliki sirkulasi udara dan pencahayaan yang cukup.
Ayam-ayam itu menempati kandang sesuai dengan strain atau garis keturunan mereka. Ada satu kandang untuk beberapa ayam, tetapi ada yang satu kandang hanya untuk satu sampai tiga ekor. Hal itu bertujuan agar tidak terjadi persilangan dalam proses seleksi.
Pada 2017, PT Sumber Unggas Indonesia menjadi peternak ayam kampung terbesar di Indonesia dengan produksi naik dua kali lipat per tahun. Total induk ayam yang dimiliki sekitar 120.000 ekor yang mampu menghasilkan 600.000 anak ayam per bulan atau 7,5 juta per tahun.
”Kami tidak ingin kehilangan ayam asli yang merupakan kekayaan keanekaragaman hayati (plasma nutfah) Indonesia,” kata Ade, Sabtu (11/5/2019), di Parung, Bogor.
Hingga saat ini, perusahaan mampu mengonservasi lima garis keturunan ayam asli Indonesia dan satu strain ayam pendatang yang telah lama ada di Indonesia. Kelima ayam tersebut adalah gaok, cemani, kedu hitam, black sumatera, dan pelung. Adapun satu jenis ayam pendatang dari China yang sudah lama di Indonesia adalah merawang.
Mereka menyeleksi ayam lokal paling murni untuk konservasi. Ayam konservasi tidak bisa dijual karena masih dalam tahap seleksi pemurnian, sedangkan ayam lokal KUB dan Sentul Seleksi (Sensi) dapat dijual setelah mendapat lisensi dari Badan Litbang Pertanian.
Ade tertarik pada ayam asli Indonesia sejak 2003. Awalnya, selepas pensiun menjadi jurnalis, ia ingin beternak ayam atau ikan gurami. Menurut dia, beternak memiliki peluang usaha yang besar. Lalu, dia memutuskan beternak ayam kampung di Sukabumi, Jawa Barat. Saat itu, Ade belum tahu jenis ayam asli Indonesia.
Pada 2005, ayam peliharaannya mati terkena flu burung. Bukannya menyerah, ia menjadikan peternakannya sebagai tempat kajian lembaga penelitian dalam dan luar negeri untuk mengatasi flu burung.
Ia pun memotivasi peternak di Sukabumi untuk tidak putus asa dan mengajak untuk terus bangkit. Pada masa ini pula, ia mulai memahami persoalan terkait ayam asli Indonesia.
Ade mencari berbagai sumber referensi dan solusi untuk mengatasi masalah peternakan ayam. Lalu, lahirlah buku berjudul Restrukturisasi Peternakan dan Kebangkitan Peternakan Rakyat Ayam Kampung (2007).
Kegigihan Ade untuk konservasi ayam lokal Indonesia dikukuhkan dengan deklarasi Selamatkan Ayam Indonesia dan Unggas Lokal Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri. Deklarasi pada 2008 di Yogyakarta itu berisi konsep untuk menyelamatkan ayam asli Indonesia dan langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan. Ade seperti mendapat angin segar ketika pemerintah merespons dengan program Unggas Lokal Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri.
”Sayangnya, belum ada aksi nyata untuk konservasi ayam asli Indonesia dan belum dilakukan secara maksimal dengan berbagai alasan,” ujar Ade.
Tidak menyerah
Berbagai usaha terus dilakukan Ade, salah satunya dengan pembibitan ayam sentul. Lalu, pada 2015, Ade bertemu dengan Naryanto yang mempunyai misi yang sama untuk konservasi ayam lokal.
Awalnya, Naryanto merupakan peternak ayam pejantan. Ia melanjutkan usaha ayahnya, Siu Eng, yang bangkrut pada 1998. Berbekal pengetahuan beternak ayam dari ayahnya, ia membangun kembali usaha tersebut pada 2002 setelah menyelesaikan pendidikan di Australia.
Sayangnya, pada 2004, dia mengalami musibah yang sama dengan Ade. Sebanyak 6.000 ayam mati dalam tiga hari setelah terkena flu burung.
Bencana itu membuatnya berhenti beternak selama hampir 3 tahun. Pada 2008, ia kembali beternak ayam dan mulai beternak ayam kampung. Pada 2011, ia mulai pembibitan ayam Kampung Unggul Balitnak (KUB). Ayam ini merupakan hasil seleksi ayam lokal dari Balai Penelitian Ternak (Balitnak) di Ciawi, Bogor, Jawa Barat. Pada tahun yang sama, ia mulai mengusung bendera PT Sumber Unggas Indonesia.
Pada 2015, ia bertemu dengan Ade. Setelah mematangkan konsep, pada 2016 konservasi ayam asli Indonesia pun dimulai. Dia membeli induk ayam sentul seleksi sebanyak 1.500 ekor dari PT Ayam Kampung Indonesia (PT AKI).
Setelah PT AKI tidak memproduksi lagi, mereka mengambil lisensi ayam KUB dan Sensi (Sentul Seleksi) dari Balitnak Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. Ia membeli sebanyak 5.000 ayam Sensi. Dua ayam lokal ini dikembangkan untuk komersial.
Naryanto mengatakan, tantangan dalam konservasi ayam asli Indonesia adalah sulitnya mencari induk ayam. Selain itu, mereka perlu kandang yang luas.
Dana yang dibutuhkan untuk konservasi juga cukup mahal. Sebagai contoh, seekor ayam membutuhkan pakan dengan biaya Rp 150.000 tiap satu generasi. Satu generasi membutuhkan waktu selama 1,5 tahun. Untuk pemurnian, mereka membutuhkan lima generasi. Idealnya, mereka seharusnya membutuhkan delapan hingga 13 generasi.
Dalam proses pemurnian, mereka harus menyeleksi ayam. Dalam proses seleksi, dari 100 ayam hanya akan dipilih 10 ekor yang paling murni. Sisanya harus dijauhkan dari ayam yang sudah diseleksi. Selain untuk menjaga kemurnian, hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi perkawinan sedarah.
Ade mengatakan, biaya pemurnian ayam asli Indonesia sangat besar. Biaya pakan dan perawatan selama enam hingga tujuh generasi dapat mencapai Rp 8,4 miliar untuk 1.000 ekor. ”Tugas konservasi ini seharusnya dilakukan pemerintah untuk menjaga keanekaragaman hayati Indonesia,” ujarnya.
Konservasi ini dibutuhkan agar ayam asli Indonesia tidak punah. Ayam sangat penting karena menyangkut kebutuhan hidup manusia, yakni makan.
Bagi peternak, ayam lokal berada pada tingkat tertinggi di atas ayam persilangan dan pejantan. Sebagian besar ayam persilangan dan pejantan didapat secara impor.
Ayam kampung memiliki kandungan asam amino yang lebih lengkap dibandingkan dengan ayam broiler atau ayam ras pedaging. Ayam broiler merupakan jenis ras unggulan hasil persilangan dari berbagai bangsa ayam yang memiliki produktivitas tinggi, terutama dalam memproduksi daging. Ayam broiler lebih rawan penyakit dan memiliki tingkat resistensi hingga 63 persen.
Tugas konservasi ini seharusnya dilakukan pemerintah untuk menjaga keanekaragaman hayati Indonesia.
Ade berharap pemerintah dapat ikut berkontribusi dalam konservasi ini jika tidak ingin kehilangan ayam asli Indonesia. Selain mencegah kepunahan, garis keturunan ayam Indonesia dapat dimanfaatkan untuk ayam konsumsi sehingga dapat mengurangi ketergantungan impor sumber bibit ayam komersial. Lebih dari 50 tahun, sumber bibit (grand parent stock) ayam komersial merupakan hasil impor.
”Selamatkan ayam Indonesia dan jadikan ayam lokal tuan rumah di negeri sendiri,” ucap Ade tegas.
Ade Meirizal Zulkarnain
Lahir:
Jakarta, 4 Mei 1964
Pendidikan:
Jurusan Akidah dan Filsafat, IAIN Jakarta (1983)
Institut Studi Arus Informasi (1996)
Pengalaman:
Wartawan Harian Ekonomi Neraca (1989)
Wartawan Harian Bisnis Indonesia (1990)
Wartawan Majalah D&R (1996)
Wartawan Majalah SWA untuk Tabloid Marketing (2001)
Organisasi:
Salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen
Presidium Aliansi Jurnalis Independen (1995-1996)
Mendirikan Kelompok Peternak Rakyat Ayam Kampung Sukabumi (2004)
Ketua Umum Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia (2008-2013 dan 2013-2018)
Sekretaris Jenderal Dewan Peternak Rakyat Nasional (2016-2018)
Duta Ayam Lokal Indonesia dari Japfa Foundation (2017-2018)
Penghargaan:
Pelopor Peternakan Ayam Kampung Pola Intensif dari Bupati Sukabumi (2005)
Mendapatkan penghargaan dari Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia Awards sebagai peternak/organisasi pelestari plasma nutfah (2017)
Pegiat/Pelaku Usaha Perbenihan/Perbibitan Masyarakat Perbenihan dan Perbibitan Indonesia Award (2017)
Naryanto
Lahir:
Bogor, 1 April 1979
Pendidikan:
Bachelor of Commerce, Macquarie University, Sidney, Australia (2002)
Penghargaan:
Anugerah Nastiti Budidaya Satwa Nugraha Kategori Biosekuriti Ayam Lokal, Indonesian Livestock Industry Award 2018