Koalisi ”Retak” Pasca-pemilu
Apabila Joko Widodo-Ma’ruf Amin dideklarasikan oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai pemenang pemilihan presiden pada 22 Mei 2019, partai-partai politik pengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno akan menjadi koalisi oposisi di DPR. Sejauh mana Koalisi Indonesia Adil Makmur solid mengingat tanda-tanda keretakan telah mulai muncul?
Kunjungan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) ke Istana Negara menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi), awal Mei 2019, melahirkan banyak spekulasi terkait soliditas dan masa depan Koalisi Indonesia Adil Makmur (KIAM) selaku pengusung Prabowo-Sandi, yakni Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Sebelum AHY bertandang ke Istana, spekulasi keretakan koalisi parpol pengusung Prabowo-Sandi sudah muncul secara publik saat Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan bertemu Jokowi seusai pelantikan gubernur Maluku di Istana Negara pada 24 April 2019.
Rumor keretakan koalisi parpol pendukung pasangan calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) 02 bahkan sudah muncul ketika Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyurati jajaran pimpinan Demokrat agar ”para pengurus dan kader Demokrat tidak melibatkan diri dalam kegiatan yang bertentangan dengan konstitusi dan undang-undang (UU) yang berlaku serta tidak segaris dengan kebijakan pimpinan Demokrat.”
Surat tertanggal 19 April 2019, dua hari setelah pemungutan suara, itu ditengarai sebagai respons SBY atas klaim kemenangan yang dilakukan sepihak oleh Prabowo beberapa waktu sebelumnya. Presiden keenam RI itu tampaknya ”gerah” dengan cara Prabowo mendeklarasikan kemenangan tanpa dukungan basis data perolehan suara yang jelas. Dari Singapura, SBY merasa perlu mengingatkan jajaran partainya agar Demokrat taat asas, yakni menunggu pengumuman hasil resmi pemilu yang dilakukan oleh KPU sebagai lembaga yang memiliki otoritas sesuai dengan konstitusi dan UU.
Dalam perkembangan mutakhir, tanda-tanda keretakan itu juga muncul di DPR, yakni tatkala Partai Demokrat tidak turut menandatangani usulan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Pemilu untuk menyelidiki dugaan kecurangan Pemilu 2019, seperti diprakarsai oleh PKS, Gerindra, dan PAN. Partai Demokrat tampaknya konsisten dengan sikap SBY untuk menunggu hasil resmi pemilu dari KPU daripada melakukan manuver politik yang tidak perlu, seperti pembentukan Pansus Pemilu.
Manuver SBY
Terlepas dari respons negatif SBY terhadap klaim kemenangan sepihak Prabowo, sejak awal Demokrat sebenarnya merasa gamang dan tidak nyaman berada di dalam koalisi pengusung Prabowo-Sandi. Pasalnya, negosiasi SBY-Prabowo gagal menominasikan AHY sebagai pendamping Prabowo, padahal putra pertama SBY itu dianggap memiliki elektabilitas cukup baik dibandingkan dengan nama-nama lain yang sebelumnya disandingkan sebagai calon wakil presiden bagi Prabowo. Selain itu, Demokrat juga berpandangan bahwa mereka tidak turut menikmati insentif elektoral dari pasangan Prabowo-Sandi. Tidak mengherankan jika pada saat kampanye pemilu, jajaran Partai Demokrat tidak begitu intens mempromosikan Prabowo-Sandi, seperti yang dilakukan oleh Gerindra dan PKS.
Oleh karena itu, ketika hasil hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga survei memberikan sinyal bahwa Jokowi-Amin lebih berpeluang memenangi pemilihan presiden (pilpres) ketimbang Prabowo-Sandi, SBY segera berubah haluan. Surat SBY, seperti disinggung di atas, adalah pertanda awal perubahan haluan itu, yang kemudian semakin jelas arahnya setelah AHY bertandang ke Istana menemui Jokowi.
Singkatnya, jika Jokowi-Amin akhirnya memenangi pilpres dan mantan Wali Kota Solo itu membuka pintu bagi AHY, Demokrat sangat mungkin akan berlabuh di pangkuan Koalisi Indonesia Kerja (KIK), koalisi parpol pengusung Jokowi. Jika Demokrat dan SBY hendak mempromosikan AHY sebagai capres pada Pemilu 2024, putra sulung SBY-Ani Yudhoyono ini membutuhkan pengalaman pemerintahan sebagai bekal menuju pemilu mendatang. Peluang untuk itu terbuka jika AHY menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi-Amin kendati tidak mudah. Persoalannya, kehadiran AHY memerlukan ”restu” Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dan pimpinan parpol KIK lainnya karena, bagaimanapun, Demokrat dan AHY tidak turut ”berkeringat” dalam memenangkan Jokowi-Amin.
Zulkifli Hasan vs Amien Rais
Berbeda dengan Demokrat, PAN hampir tidak memiliki beban politik dalam berkoalisi dengan Prabowo-Sandi. Satu-satunya beban PAN adalah kegagalan parpol pimpinan Zulkifli Hasan ini mengusung kadernya sendiri sebagai capres ataupun cawapres bagi dua kubu koalisi yang bersaing. Meskipun Rapat Kerja Nasional PAN pada pekan kedua Agustus 2018 memutuskan untuk menominasikan Zulkifli Hasan (dan Ustaz Abdul Somad) sebagai pendamping Prabowo, jajaran PAN akhirnya bisa menerima pengusungan Sandiaga Uno sebagai cawapres Prabowo. Semula ditengarai ada mahar politik di balik kerelaan PAN dan PKS menerima Sandi, tetapi Bawaslu gagal membuktikannya.
Sebelum mendukung Prabowo-Sandi, PAN sempat bergabung sebentar ke dalam pemerintahan Jokowi dengan kompensasi jabatan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi bagi kader PAN Asman Abnur. Menteri Asman mundur ketika PAN akhirnya meninggalkan Jokowi.
Kecenderungan PAN untuk keluar- masuk koalisi ini menimbulkan berbagai spekulasi. Di antara spekulasi-spekulasi tersebut adalah berkembangnya friksi internal yang tajam antara kubu pendukung Prabowo yang patronnya Ketua Dewan Pertimbangan PAN Amien Rais dan kubu pendukung Jokowi yang secara diam-diam dibiarkan tumbuh, dan tidak mustahil, dinakhodai oleh Zulkifli Hasan sendiri.
Oleh karena itu, salah satu kendala bagi PAN untuk bergabung kembali dengan koalisi Jokowi-Amin adalah resistensi faksi Amien Rais yang masih kuat bercokol di internal PAN. Selain resistensi internal, sangat mungkin muncul pula resistensi eksternal yang tak kalah kerasnya dari anggota partai politik KIK yang tidak bisa menerima berbagai kritik Amien Rais terhadap Jokowi yang sering kali di luar batas kewajaran. Apalagi, seperti halnya Partai Demokrat, PAN pun tidak turut berkeringat memenangkan pasangan Jokowi-Amin.
Koalisi semu dan cair
Meski demikian, tidak ada yang tidak mungkin dalam politik. Dalil klasik yang sering dirujuk dan menjadi dasar para politisi berubah-ubah posisi, sikap, dan pendirian, biasanya adalah cara pandang yang melihat politik sebagai ”seni dari berbagai kemungkinan” sehingga mereka percaya tidak ada musuh ataupun kawan abadi dalam politik.
Cara pandang seperti ini pula yang cenderung dianut dan berkembang dalam perilaku partai-partai politik dalam berkoalisi menjelang dan pasca-pemilu di negeri kita pasca-Orde Baru.
Pengalaman pemerintahan SBY selama 10 tahun memperlihatkan begitu cairnya posisi dan sikap parpol dalam berkoalisi. Partai Golkar dan PKS acap kali berbeda sikap dan posisi politik dengan SBY, padahal berada dalam koalisi politik pendukung presiden keenam RI tersebut.
Kecenderungan yang sama tampak dalam koalisi cair pendukung Prabowo-Hatta Rajasa pasca-Pilpres 2014, Koalisi Merah Putih (KMP). Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan PAN yang semula berada di dalam KMP akhirnya beramai-ramai angkat kaki dan bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mengusung Joko Widodo-Jusuf Kalla pada momen pilpres yang sama.
Jadi, kalaupun pada akhirnya Partai Demokrat dan PAN meninggalkan KIAM dan berlabuh ke pangkuan KIK, realitas politik seperti ini bukanlah fenomena baru. Kalaupun ada yang bersifat baru barangkali lebih pada kenyataan bahwa sinyal perpisahan itu sudah muncul sebelum hasil pemilu diumumkan secara resmi oleh KPU. Soalnya dahulu, PPP, Golkar, dan PAN baru meninggalkan koalisi Prabowo-Hatta Rajasa setelah DPR hasil Pemilu 2014 bekerja dan Kabinet Kerja Jokowi-Kalla terbentuk.
Paling tidak ada tiga faktor di balik koalisi semu dan cair koalisi-koalisi politik yang terbentuk menjelang dan pasca-pemilu. Pertama, partai-partai politik kita pada umumnya tidak ideologis sehingga basis koalisi pun lebih pada kesamaan kepentingan jangka pendek para elite politik ketimbang kesamaan visi dan haluan politik tentang Indonesia yang lebih baik.
Kedua, koalisi politik yang terbentuk sejak era almarhum Presiden Abdurrahman Wahid hingga Jokowi pada umumnya lebih sebagai gentleman’s agreement yang bersifat longgar di antara para elite parpol yang berkoalisi sehingga hampir tidak ada yang mengikat kesepakatan kecuali komitmen moral para peserta koalisi.
Ketiga, sangat mungkin ada partai politik yang merasa terpaksa harus berkoalisi karena diwajibkan oleh undang-undang. Jika parpol tidak turut mengusung calon presiden, partai politik tersebut tidak diperkenankan oleh UU untuk mengikuti pemilu berikutnya.
Kerugian bagi bangsa
Pertanyaannya, perlukah Demokrat dan PAN ”bercerai” dari KIAM demi bergabung dengan KIK? Jika pembentukan koalisi dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan hasil pemilu, KIK yang berisi lima parpol utama saat ini, PDI-P, Golkar, Nasdem, PKB, dan PPP, dengan asumsi Partai Hanura tidak lolos ambang batas parlemen 4 persen, sebenarnya sudah cukup. Hasil sementara rekapitulasi perolehan suara enam parpol tersebut secara total mencapai 56,15 persen. Itu artinya, besaran koalisi pendukung Jokowi-Amin di DPR sudah lebih dari cukup untuk meloloskan berbagai kebijakan pemerintah di DPR.
Meski pilihan koalisi adalah hak politik setiap partai politik, pilihan terbaik bagi bangsa kita adalah membiarkan Demokrat dan PAN tetap berada dalam pangkuan KIAM pengusung Prabowo-Sandi sebagai bagian dari koalisi oposisi di DPR. Bagaimanapun demokrasi yang sehat membutuhkan oposisi yang relatif kuat pula agar berbagai kebijakan pemerintah bisa dikritisi dan dikoreksi oleh kekuatan oposisi di parlemen. Selain itu, koalisi pendukung pemerintah yang terlampau besar berpotensi menghasilkan politik transaksional, yang pada akhirnya hanya menguntungkan para elite parpol yang berkoalisi.
Menurut saya, merupakan suatu kerugian bagi bangsa kita jika semua parpol ingin masuk ke pemerintahan dan menjadi bagian dari kekuasaan eksekutif. Toh, memperjuangkan aspirasi dan nasib rakyat tidak harus sepenuhnya melalui jalur eksekutif. Jalur oposisi politik di DPR, dan juga jalur kekuatan civil society di luar DPR, tidak kalah terhormat dibandingkan dengan perjuangan melalui jalur eksekutif.
Syamsuddin Haris Guru Besar Riset LIPI