Panjat Pohon Cari Sinyal dan Naik "Trail" Demi Hitung Cepat Kompas
Kredibilitas menjadi pertaruhan kami. Sampel Tempat Pemungutan Suara (TPS) menjadi faktor penting di hitung cepat Kompas di Pemilu 2019. Demi mengejar akurasi di 2.000 sampel TPS, Litbang Kompas mengerahkan 2.387 tenaga lapangan sampai ke pelosok-pelosok daerah di nusantara.
Kredibilitas menjadi pertaruhan kami. Sampel Tempat Pemungutan Suara (TPS) menjadi faktor penting di hitung cepat Kompas di Pemilu 2019. Demi mengejar akurasi di 2.000 sampel TPS, Litbang Kompas mengerahkan 2.387 tenaga lapangan sampai ke pelosok-pelosok daerah di nusantara.
Kami tidak tahu persis di mana lokasi 2.000 sampel itu sebelumnya. Untuk mencari lokasi TPS, kami menggunakan sampel daftar pemilih tetap (DPT) yang dipilih acak. Karena ada 2.000 sampel, kami mencari bilangan interval dengan membagi total DPT ke 2.000 bagian.
Kami tentukan titik sampel pertama di Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh. Dari sini, penentuan lokasi sampel diurutkan ke lokasi berikutnya dengan menggunakan bilangan interval bilangan hasil pembagian DPT dengan 2.000 sampel. Dari sini, kami menelusuri lokasi TPS di 34 Provinsi berdasarkan bilangan interval.
Dari Jakarta, nomor TPS, nama desa atau kelurahan, kabupaten, serta provinsi sudah kami dapatkan. Namun kami tidak tahu, bagaimana akses menuju semua TPS itu. Sebagian mudah dijangkau, sementara yang lain tidak kami ketahui sebelum turun ke lapangan. Disinilah ketegangan bermula.
Untuk memastikan lokasi TPS itu, kami harus datang ke lokasi sebelum hari penghitungan suara Rabu (17/4/2019). Rata-rata, tim dari Jakarta berangkat Rabu (10/4/2019). Untuk memudahkan kerja di lapangan, kami merekrut tenaga pewawancara (interviewer), koordinator lapangan, koordinator daerah, dan membuka mini war room di Medan dan Makassar.
Pelacakan TPS dimulai. Salah satu TPS yang harus kami jangkau berada di Dusun Huliang, Desa Cenrana, Kecamatan Camba, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Kawasan ini dikelilingi oleh hutan dan jalur perjalanan terjal.
Nuraeni (21), seorang interviewer yang melaksanakan tugas di lokasi itu harus menempuh perjalanan panjang dan cukup menantang. Dari Makassar, mahasiswi Universitas Hasanuddin ini harus menempuh tiga jam perjalanan menuju Desa Cenrana. Jalanan poros Makasar-Bone cukup lancar. Namun, perjuangan sesungguhnya dimulai ketika Nuraeni tiba di Desa Cenrana untuk menuju TPS 4, lokasi sampel hitung cepat Kompas.
Jalanan menuju Dusun Huliang berupa tanah berbatu yang menanjak dan berliku. Tidak sembarang kendaraan bisa mencapai dusun tersebut karena sulitnya jalanan. Hanya motor trail yang bisa mencapai dusun tersebut. Jika tidak ada motor trail, terpaksa harus berjalan kaki.
Untuk menuju TPS 4 di Dusun Huliang, ia harus menempuh jarak kurang lebih tujuh kilometer (km) dari Kantor Desa Cenrana. Beruntung, ia didampingi petugas desa untuk menuju lokasi tugas. Dengan menggunakan sepeda motor, mereka menuju dusun tetangga yang berjarak tiga kilometer. Perjalanan sepeda motor berakhir di dusun tersebut.
Baca juga: Jalan Terjal Merintis Sistem Hitung Suara
Dari dusun itulah, Nuraeni harus berjalan kaki kurang lebih empat kilometer untuk mencapai Dusun Huliang. Hutan pinus dan tanaman-tanaman hutan lainnya menjadi pemandangan sepanjang perjalanan.
Setelah tiga jam perjalanan, sampailah Nuraeni di Dusun Huliang. Namun, setibanya di lokasi, ia masih harus berjuang mencari sinyal telepon. Di dusun itu, tidak semua bagian wilayah dusun terjangkau sinyal telepon.
Sehingga ketika mengirim data, Nuraeni harus mencari titik pusat sinyal komunikasi. Oleh karena penghitungan suara berlangsung sampai malam hari, terpaksa ia harus menginap di rumah Ketua KPPS untuk tugas survei esok harinya.
Daerah rawan
Lain lagi yang dihadapi tenaga lapangan di Papua, Enri Pakka (24), satu dari 55 tenaga lapangan di Provinsi Papua yang diterjunkan di Kampung Koya Koso, Distrik Abepura, Jayapura.
Lokasi yang terletak lebih dari 30 kilometer dari Kota Jayapura ini mengundang banyak tantangan. Pertama, perjalanan menuju ke lokasi harus melalui jalur tanpa aspal sejauh lima kilometer, belum termasuk melewati jalan rusak dan medan berbukit-bukit.
Kedua, aspek keselamatan menjadi taruhan saat menuju ke lokasi atau kembali ke arah kota. Banyak kebun kosong dan hutan yang harus dilalui sepanjang perjalanan, ditambah lampu penerangan yang belum tersedia. Hal tersebut menggambarkan lokasi rawan tindak kriminal, terutama pembegalan.
Ternyata, tantangan yang dihadapi tenaga lapangan di Jayapura bukan hanya medan yang berat. Saat hari pemungutan suara, Enri harus pindah lokasi TPS sejauh 10 kilometer, karena belum siapnya logistik pemilu di TPS tujuan awal. Alhasil, dia baru menyelesaikan tugasnya hingga tengah malam.
Saat hari pemungutan suara, Enri harus pindah lokasi TPS sejauh 10 kilometer, karena belum siapnya logistik pemilu di TPS tujuan awal. Alhasil, dia baru menyelesaikan tugasnya hingga tengah malam.
Hampir 24 jam dia berada di lapangan, yakni sejak pukul 06.00 waktu Indonesia timur. Pengalaman serupa dirasakan seluruh tenaga lapangan lain di Jayapura, mengingat saat pemungutan suara, terjadi keterlambatan logistik yang berimbas ditundanya pemilu hingga keesokan harinya.
Faktor keselamatan juga dialami tenaga lapangan di Sumatera Selatan. Setiap interviewer yang tergabung dalam tim Hitung Cepat Kompas dijadwalkan melakukan cek lokasi TPS yang akan disurvei.
Kegiatan ini dilakukan dua hari menjelang hari pemungutan suara. Tujuan dari cek lokasi untuk memastikan keberadaan TPS, mencocokkan DPT dari sampel terpilih, mencari kontak KPPS, serta memastikan sinyal telepon di lokasi TPS.
Baca juga: Hitung Cepat Kompas 2019, Menjaga Demokrasi
Tepat malam hari sebelum jadwal cek lapangan, Minggu (14/4/2019), terjadi pembegalan di Desa Talang Baru, Kecamatan Pajar Bulan, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Korban pembegalan, seorang bapak lanjut usia dalam kondisi kritis dan menjalani perawatan di rumah sakit.
Kejadian ini cukup mengguncang nyali interviewer yang akan mengunjungi lokasi TPS sampel di Desa Sukorharjo. Ditambah, kondisi jalanan di daerah Lahat dan Muara Enim yang memang dikenal sebagai area rawan aksi begal.
Untuk tetap mengawal TPS sampel terpilih, seluruh interviewer dan koordinator lapangan yang bertugas melewati daerah tersebut berangkat dengan kendaraan yang disewa Kompas. Keselamatan tenaga lapangan adalah prioritas utama dalam bertugas.
Memanjat pohon
Sandi (29) interviewer Kompas yang bertugas di TPS 4 Desa Lage, Kecamatan Tongko, Kabupaten Poso juga menghadapi masalah serupa. Walaupun relatif mudah untuk dijangkau, tak ada jaringan internet dan telepon di desa ini. Bahkan, untuk mengirimkan pesan singkat atau telepon pun tidak dapat dilakukan.
Untuk mengirimkan data survei pascapilih (exit poll), ia harus memanjat pohon durian agar ponselnya dapat menangkap sinyal. Naas, karena data yang harus dikirim ke sistem lebih dari satu, Sandi pun harus berkali-kali naik turun pohon.
Tidak hanya faktor alam, faktor manusia pun menjadi salah satu tantangan dalam menjalankan tugas di lapangan. Salah satu risiko yang harus dihadapi ketika di lapangan adalah dimarahi atau bahkan diusir oleh panitia KPPS.
Untuk mengirimkan data survei pascapilih (exit poll), ia harus memanjat pohon durian agar ponselnya dapat menangkap sinyal. Naas, karena data yang harus dikirim ke sistem lebih dari satu, Sandi pun harus berkali-kali naik turun pohon.
Hal ini dialami Rangga Eka Sakti, peneliti Kompas ketika bertugas di TPS 6 Kelurahan Petobo, salah satu daerah terdampak bencana di Kota Palu. Rangga ditugaskan melakukan penghitungan langsung (live count) di TPS daerah bencana. Kegiatan live count ini dilakukan di TPS yang bukan menjadi sampel hitung cepat Kompas.
Ia ditolak oleh petugas KPPS dan hansip saat hendak melaksanakan penghitungan langsung. Mereka tidak peduli dengan penjelasan bahwa Kompas telah mengantongi izin resmi dari KPU RI dan KPUD Sulawesi Tengah serta Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri RI. Akhirnya, proses live count dilakukan di TPS terdekat yang masih dalam area pengungsian di daerah Petobo.
Bagi 2.387 tenaga interviewer, koordinator lapangan, dan koordinator daerah yang melakukan pengumpulan data hitung cepat, perjalanan berjam-jam yang sulit, medan berat, dan terkadang berbahaya harus mereka jalani.
Sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa dan sudah bergabung menjadi relawan Kompas sejak survei pilkada serentak 2017. Hambatan tak hanya di perjalanan. Sampai di TPS tujuan, mereka pun harus mendapatkan izin dari kelurahan hingga RT, mencari spot sinyal telepon, hingga mencari akomodasi, mengingat pelaksanaan pemilu serentak berjalan hingga larut malam.
Baca juga: Mengawal Marwah Demokrasi Rakyat
Faktor penting proses hitung cepat adalah kecepatan pengiriman data hasil pemungutan suara di TPS dari surveyor di lapangan kepada pusat data. Data yang terkirim itu kemudian dikonfirmasi validitasnya melalui proses cek dan cek ulang kepada interviewer di lapangan atau petugas KPPS.
Kekuatan hitung cepat ditentukan oleh ketepatan pemilihan sampel dan jumlah sebaran sampel. Perjuangan para relawan membantu pelaksanaan hitung cepat berperan penting dalam menjaga pemilu yang berkualitas. (LITBANG KOMPAS)