Keberadaan pedagang kaki lima seringkali dipandang negatif. Namun di sisi lain, keberadaan mereka sebenarnya dibutuhkan. Untuk itu, penataan pedagang menjadi penting.
Oleh
Stefanus Ato
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Keberadaan pedagang kaki lima seringkali dipandang negatif, seperti menghalangi pejalan kaki atau memicu kemacetan. Namun di sisi lain, keberadaan mereka sebenarnya dibutuhkan. Untuk itu, penataan pedagang penting guna menjawab kedua isu tersebut.
Pantauan Kompas, Minggu (19/5/2019), di trotoar Jalan Raya Pasar Minggu, tepatnya di depan Stasiun Pasar Minggu, Jakarta Selatan, puluhan pedagang kaki lima (PKL) menjajakan aneka dagangan, mulai dari minuman kemasan, tisu, buah-buahan sampai aksesori lebaran. Mereka sibuk melayani pembeli yang hendak ke stasiun maupun yang keluar dari area stasiun.
Afrizal (40) salah satu PKL minuman kemasan, mengatakan dia sudah berjualan di tempat itu selama 20 tahun. Lelaki itu juga sudah terbiasa "kucing-kucingan" dengan petugas Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta yang sering melakukan penertiban di kawasan itu.
"Saya pasang roda di gerobak, jadi kalau ada petugas, lebih gampang untuk menghindar," ucap lelaki kelahiran Jakarta itu.
Afrizal mengaku setiap hari mendapatkan keuntungan minimal Rp 100.000 dari hasil berjualan minuman kemasan.
Meski keberadaan PKL seringkali dipandang negatif, seperti merampas hak pejalan kaki atau memicu kemacetan, mereka sebenarnya juga dibutuhkan.
Ini seperti disampaikan salah satu warga, Ius Nailiu (27). Dia yang hampir setiap hari melintas di trotoar di sekitar Stasiun Pasar Minggu, mengeluhkan keberadaan PKL di trotoar karena menyulitkan pejalan kaki. Tak hanya itu, keberadaan PKL kerap menjadi salah satu pemicu kemacetan.
"Kalau hari Minggu sepi. Tetapi kalau hari biasa jalan ini (Jalan Raya Pasar Minggu) padat sekali," ucapnya.
Di sisi lain, Ius mengaku terbantu dengan keberadaan PKL. Sebab, dia bisa dengan mudah berbelanja air minum atau makanan dengan cepat, mudah, dan murah. Oleh karena itu, menurutnya, keberadaan mereka hanya perlu ditata, sehingga tidak membuat kemacetan atau menyulitkan pejalan kaki.
Zonasi PKL
Dihubungi terpisah, Pengamat Perkotaan Yayat Supriatna, menilai penertiban PKL yang intens dilakukan selama ini tidak efektif karena keberadaan PKL sesungguhnya dibutuhkan oleh warga.
"Masyarakat kecil segan masuk ke toko untuk belanja kebutuhan. Mereka belanjanya ke PKL. Ini cocok dengan karakteristik PKL yang memiliki modal terbatas dengan barang dagangan yang sedikit. PKL ingin dagangannya cepat habis, jadi harus jual ditempat ramai. Sasarannya kelompok kecil (penghasilan rendah-Red)," ucap Yayat.
Untuk itu, pemerintah dinilainya perlu melihat persoalan ini, sehingga tidak hanya menertibkan para PKL. Pemerintah bisa saja memperbanyak zona khusus bagi PKL di tempat-tempat keramaian. Zona khusus ini bisa diberlakukan sepanjang hari atau di jam-jam tertentu.
Namun zona khusus PKL ini jangan sampai memicu kemacetan atau merampas hak pejalan kaki.
"Sebelum itu dilakukan, jumlah PKL di Jakarta perlu didata terlebih dahulu. Tujuannya, agar keberadaan mereka bisa dipantau, dan jika ada pendatang baru lebih mudah untuk dideteksi," tambahnya.
Selain memperbanyak zona khusus PKL, pemerintah hendaknya tegas menegakkan aturan mengenai zonasi khusus PKL yang sudah ada. Sebab kecenderungan yang terlihat belakangan, pemerintah terkesan seperti membiarkan PKL yang berjualan di luar zona PKL. Satpol PP DKI Jakarta misalnya, kurang aktif menertibkan pelanggaran PKL di luar zona PKL.
Akibatnya, PKL melihat hal itu sebagai peluang mereka untuk berjualan di luar zona. "Kita tunggu saja, sejauh mana Gubernur DKI Jakarta bersikap. Kalau sesuai aturan seharusnya ditindak. Tetapi mungkin ada kelonggaran seperti saat bulan Ramadan," kata Yayat.