Warga Dusun Thekelan di Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, terus menyebarkan semangat perdamaian kepada sesama. Dengan mengutamakan dialog, segala permasalahan dapat teratasi dengan aman, damai, dan tenteram.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
SEMARANG, KOMPAS - Warga Dusun Thekelan di Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, terus menyebarkan semangat perdamaian kepada sesama. Dengan mengutamakan dialog, segala permasalahan dapat teratasi dengan aman, damai, dan tenteram.
Mandar (50), sesepuh Dusun Thekelan yang juga penganut agama Buddha, mengatakan itu di sela-sela perayaan Hari Raya Waisak pada Minggu (19/5/2019). Menurutnya, salah satu upaya memupuk perdamaian ialah dengan terus melakukan hal-hal baik kepada sesama.
"Jika kita mau terus berbuat baik dan memaafkan orang lain, maka negara ini akan menjadi damai. Dengan menanam perbuatan baik kepada lingkungan sekitar, masyarakat akan damai. Lebih jauh, ini akan berkontribusi bagi negara untuk menjadi kuat dan tahan dari perpecahan," ujar Mandar.
Dusun Thekelan, yang terletak pada ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut (mdpl) lereng Gunung Merbabu, seperti Indonesia mini. Warga terdiri dari agama Buddha (mayoritas), Islam, Kristen, dan Katolik. Ada tiga tempat ibadah dusun itu, yakni Masjid Abu Bakr As-Siddiq, Wihara Buddha Bhumika, dan Gereja Thekelan.
Pada Minggu, warga pemeluk agama Buddha berjajar rapi di sisi jalan dusun dengan pakaian putih. Mereka kemudian dihampiri warga yang beragama Islam, Katolik, dan Protestan untuk mendapat ucapan selamat. Tradisi ini sudah berjalan tiga tahun, yang juga dilakukan pada Hari Raya Idul Fitri dan Natal.
Jika kita mau terus berbuat baik dan memaafkan orang lain, maka negara ini akan menjadi damai. Dengan menanam perbuatan baik kepada lingkungan sekitar, masyarakat akan damai. Lebih jauh, ini akan berkontribusi bagi negara untuk menjadi kuat dan tahan dari perpecahan
Suasana haru karena pemberian ucapan itu juga menjadi momen saling memaafkan. "Sebagai manusia, terkadang ada salah ucap atau bicara kurang enak yang membuat tersinggung. Kami saling bermaafan dengan tulus. Selama ini, dialog selalu kami utamakan sehingga tak pernah ada cekcok," kata Mandar.
Terus diperkuat
Kepala Dusun Thekelan, Supriyo (44), menuturkan, kerukunan antarumat beragama terus diperkuat dengan acara pemberian ucapan kepada yang merayakan hari raya. Hal itu juga sebagai kontrol dalam berkehidupan yang harmonis, yang tetap kompak meskipun berbeda kepercayaan.
Ia berharap, apa yang ada di dusunnya menjadi motivasi saat di daerah-daerah lain muncul percikan atau gesekan, terlebih di tahun politik. "Kami senang jika memang menjadi motivasi bagi siapapun di luar sana yang sarat konflik, apalagi karena politik. Kami berharap semua bisa bersatu," katanya.
Tugimin (50), pemeluk Buddha di Thekelan, mengemukakan, selama ini, kerukunan terjaga karena tak mengedepankan perbedaan dalam berkehidupan. Sebaliknya, warga saling menghormati serta membantu apabila ada yang kesusaha. Nilai-nilai toleransi itu telah tertanam sejak lama.
"Meskipun berbeda agama, kami terus menjaga kekompakan. Acara seperti ini (bermaafan) rutin setiap hari raya keagamaan, baik Buddha, Islam, Kristen, dan Katolik. Berkumpul seperti ini kami tunggu-tunggu," kata dia.