JAKARTA, KOMPAS — Pengamat menilai, ada potensi persaingan tidak sehat di industri ojek daring. Perang tarif berpeluang menyingkirkan operator baru untuk masuk di pasar yang sama.
Ketua Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha periode 2015-2018, Syarkawi Rauf, dalam diskusi publik ”Aturan Main Industri Ojol: Harus Cegah Perang Tarif” yang digelar Komunitas Peduli Transportasi di Jakarta, Senin (20/5/2019), berpendapat, aplikator menerapkan promo besar-besaran yang mengarah ke predatory pricing.
Predatory pricing merupakan salah satu strategi pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga yang sangat rendah. Pemberian tarif promosi yang berlebihan merupakan praktik yang tidak sehat. Sebab, selain bisa menyingkirkan pesaing, strategi itu juga menghalangi pemain baru yang ingin terjun di bisnis serupa.
”Awalnya, penumpang memang diuntungkan karena tarif murah, tetapi tarif murah ini membuat kompetitor terpental. Akhirnya, penumpang hanya dilayani oleh satu penyedia layanan, harga hanya ditentukan oleh satu pihak. Akhirnya akan terjadi monopoli,” kata Syarkawi.
Promo besar-besaran dimaksudkan mengambil pasar sebesar-besarnya. Pasar yang sangat senang dengan harga rendah akan beralih ke penyedia harga terendah. Akhirnya, pengusaha yang tidak memberikan tarif promo merugi. ”Pemerintah harus turun tangan merevisi aturan soal tarif ojek daring ini,” ujarnya.
Celah regulasi
Saat ini ada dua payung hukum yang diterbitkan pemerintah untuk mengatur bisnis transportasi daring. Keduanya, yaitu Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 348 Tahun 2019 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi, dinilai masih memiliki celah yang bisa disalahgunakan oleh perusahaan penyedia aplikasi ojek daring (aplikator).
”Dalam aturan itu ada ketentuan tarif batas atas untuk melindungi konsumen serta tarif batas bawah untuk mencegah perang tarif. Namun, keduanya tidak mengatur soal promosi,” ujar Syarkawi.
Pengamat Transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Muslich Zainal Asikin, mengatakan, Kementerian Perhubungan bisa menerapkan pengaturan transportasi konvensional dan transportasi roda empat daring yang melarang promo di bawah batas bawah ke pengaturan ojek daring.
”Contohnya di industri transportasi konvensional, Blue Bird dan Express tak bermain di ranah harga atau promosi jor-joran, tetapi di layanan dan produk yang solutif. Kementerian Perhubungan seharusnya bisa menerapkan beleid pembatasan promo di aturan ojek daring, seperti yang diterapkan di Peraturan Menteri Perhubungan tentang taksi daring,” tutur Muslich.
Pengaturan tarif saja tanpa pengaturan promo atau subsidi, menurut Muslich, tidak cukup. Ia menilai perlunya penyempurnaan pengaturan yang jelas dan tegas untuk menghentikan perang harga, promosi, dan diskon yang agresif.
Ekonom Universitas Airlangga, Rumayya Batubara, menambahkan, saat pemerintah menerapkan tarif batas, jumlah penumpang menurun. Hal ini terjadi karena penerapan tarif ini membuat harga yang harus dibayarkan oleh penumpang menjadi lebih tinggi.
Saat pemerintah menerapkan tarif batas, jumlah penumpang menurun.
”Dari survei kami, ada responden yang menolak kenaikan harga dan ada juga yang bisa menerima kenaikan, tetapi hanya bersedia mengalokasikan sedikit saja tambahan pengeluaran. Saat ini, penumpang kembali banyak karena aplikator menerapkan tarif promosi,” tutur Rumayya.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi mengatakan, pihaknya telah mendengar masalah itu. Namun, pemerintah tidak bisa masuk terlalu jauh di masalah bisnis. ”Saya akan membawa masalah ini ke Menteri Perhubungan,” kata Budi.
Meski demikian, kata Budi, apabila memang dicurigai ada predatory pricing, hal itu menjadi wilayah Komisi Pengawasan Persaingan Usaha.