Bahruddin, Sang Penggerak Pendidikan yang Memerdekakan
Bahruddin (54) meyakini, konsep pendidikan yang berbasis konteks kehidupan, berpusat pada anak, dan menghargai keberbagaian jenis kecerdasan anak ialah segala-segalanya. Lewat Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah, ia memerdekakan anak-anak yang didampinginya untuk berkreasi.
Bahruddin (54) yakini, konsep pendidikan yang berbasis pada konteks kehidupan, berpusat pada anak, dan menghargai berbagai jenis kecerdasan anak adalah segala-segalanya. Lewat Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah, ia memerdekakan anak-anak untuk berkreasi.
Sore itu, Senin (22/4/2019), di salah satu ruangan Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT) di Kalibening, Tingkir, Kota Salatiga, Jawa Tengah, Bahruddin, yang akrab disapa Pak Din atau Kang Din, menghampiri sejumlah anak didiknya yang sedang mencari ide desain di depan komputer. Sesekali, Bahruddin mengajak mereka berdiskusi ringan.
Di dinding ruangan berukuran sekitar 5 meter x 2 meter itu, tertempel jadwal semester II. Tak seperti sekolah pada umumnya, jadwal itu berisi antara lain gelar karya, bakti sosial, dolan bareng, Latsar Theater, dan liburan. Di situ juga ada ada perencanaan dan pembuatan jadwal semester baru yang dirembug bersama.
Qaryah Thayyibah, yang berarti desa yang indah, berdaya, atau mandiri merupakan sekolah nonformal yang didirikan Bahruddin pada 2003 dengan mendobrak paradigma lama. Di sekolah itu, tidak ada pakaian seragam, tidak ada pembatasan jam pelajaran, dan tak ada bangku-bangku yang sama dalam kelas. "Kami tekankan betul konsep pendidikan yang memerdekakan," ujarnya.
Dengan praktik pembelajaran yang berpusat pada anak, tidak ada istilah guru di KBQT, melainkan pendamping. Fungsinya antara lain sebagai penyemangat sehingga anak bukan lagi menjadi obyek yang diajar, tetapi subyek yang belajar. Dalam konsep ini, kemauan dan kemandirian menjadi kunci.
Model pendidikan seperti itu, lanjut Bahruddin, nyatanya kini relevan dengan era digital. "Tak harus bergantung pada apapun dan siapapun karena sumber pembelajaran sudah tersedia luar biasa, termasuk di alam. Masalah bisa dianalisis dengan mengakses informasi berbasis digital," ujarnya.
Serikat tani
KBQT mulanya didirikan sebagai sekolah alternatif bagi anak-anak petani yang tergabung dalam Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah. Bahruddin sendiri aktif berkegiatan di serikat tani itu. Saat pertama dibentuk, KBQT berstatus sekolah formal, dengan menginduk pada SMPN 10 Salatiga melalui program SMP terbuka.
Model pembelajaran yang diterapkan di KBQT tak lepas dari pengalaman Bahruddin aktif di serikat tani. "Saya merasakan betul bagaimana musyawarah dengan petani. Mereka menghadapi persoalan dengan berembug dan mencari solusi bersama. Cara-cara seperti inilah yang mencerdaskan," katanya.
Tak ada gedung mewah. Tak ada lapangan cor yang luas. Namun, ada satu sarana yang sangat bermanfaat di KBQT saat awal berdiri, yakni koneksi internet. Maka, selain sumber-sumber belajar langsung seperti alam, kala itu laman Google juga menjadi akses untuk mencari berbagai informasi.
Saat awal berdiri, ada 12 peserta yang mayoritas merupakan anak petani. Diupayakan agar mereka memiliki uang saku sehingga ada kewajiban bagi orangtua untuk memberi uang saku Rp 3.000. Uang itu untuk tabungan umum, tabungan khusus komputer, dan konsumsi, masing-masing Rp 1.000.
Setelah berstatus formal dengan menginduk pada SMPN 10 Salatiga, pada tahun keempat, KBQT mendapat izin penyelenggaraan sekolah nonformal, yang sebelumnya diajukan Bahruddin. Perubahan status membuat penyelenggaraan belajar lebih fleksibel.
Awalnya, para pendamping di KBQT yakni para pegiat di serikat tani. lalu para sarjana sejumlah perguruan tingi di Salatiga. "Saat awal berdiri, bahkan muridnya 12 dan pedampingnya 15. Mereka, para aktivis sudah terbiasa dengan model seperti ini, jadi tetap mengasyikkan dan (proses belajar) berpusat pada anak," katanya.
Dengan model pembelajaran yang mengasah kreativitas, banyak peserta didik di KBQT yang tertarik dengan seni mulai seni rupa, seni suara, sastra, film, teater, musik, dan lainnya. Minat itu terus dipupuk dengan membebaskan mereka untuk berkarya seluas-luasnya. Sebagian peserta didik menorehkan prestasi dalam berbagai lomba seperti desain poster, penulisan esai dan sebagainya di Salatiga. Sebagian lagi menghasilkan karya berupa buku, esai, cerpen, novel, dan lainnya. Pencapaian itu membuat KBQT dikenal luas di Salatiga.
Paradigma lama
Bahruddin menilai sistem pendidikan yang tidak terpusat pada siswa, tidak akan optimal. Seringkali siswa hanya disuruh menghapal pelajaran, padahal apa yang dihapal oleh siswa acap kali bukanlah sesuatu yang dibutuhkan atau sesuai dengan minatnya. Ia mencotohkan salah satu pertanyaan dalam ujian SMP yang masih ia ingat benar, yakni "Kemerdekaan Indonesia terwujud berkat ... dan ...?"
Ketika ada anak yang jawab berkat perjuangan nan gigih para pahlawan, dianggap salah. Sebab, kuncinya persatuan dan kesatuan, sesuai dengan materi yang dihafal.
"Selain itu, saya pernah juara taekwondo se-Jawa Tengah, tetapi kenyataannya di ijazah, nilai olahraga saya paling rendah sekelas. Salah satunya, karena waktu ujian mata pelajaran olahraga ada pertanyaan berapa tinggi mistar gawang," kenangnya dan ia tidak menjawab sesuai hafalan.
Bahruddin menyadari, meski sudah ada perubahan, paradigma lama dalam pendidikan di Indonesia masih cukup kuat. Dalam benak masyarakat banyak, sekolah itu untuk mendapat ijazah, bukan menghasilkan komik, novel, sebagainya seperti di KBQT.
Di mata masyarakat, Qaryah Thayyibah sempat dianggap sebagai tempat belajar bagi anak-anak yang tak diterima di sekolah reguler atau yang dianggap bermasalah. "Ini tidak masalah bagi saya, sebab ini memang problemnya negara," ujarnya.
Ia tetap konsisten dengan menghadirkan pendidikan yang sederhana, tetapi bermutu. Ia juga memberi keleluasaan bagi anak untuk mengembangkan diri sesuai minatnya. Saat ini, ada 35 murid di KBQT. Mereka membayar SPP berdasarkan kesepakatan, yakni Rp 60.000 per bulan untuk kebutuhan koneksi internet, listrik, air, dan lainnya.
Bahruddin kini memiliki ruang lebih untuk menyumbangkan pikiran dan gagasannya demi sistem pendidikan yang lebih baik di Indonesia. Ia merupakan Anggota Badan Akreditasi Nasional (BAN) PAUD dan PNF Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, untuk periode 2018-2022.
Ia optimistis pada masa depan pendidikan di Tanah Air. "Indonesia negara yang pro perubahan, dan perubahan itu mengarah lebih baik. Saat ini, negara-negara yang disebut hebat dalam pendidikan, seperti Singapura dan Korea cenderung stuck karena mereka menikmati masa lalu, sedangkan Indonesia menyesuaikan dengan era. Semua masih sangat mungkin untuk diubah," ujarnya.
Bahruddin
Lahir: Semarang, 9 Februari 1965
Istri: S Miskiyah
Anak: Rasih Mustaghis Hilmiy, Theofani Zahra, Yudhatama Abdurrahman Addakhil
Pendidikan:
- Madrasah Ibtidaiyyah (MI) Kalibening, Tingkir, Salatiga (lulus 1997)
- Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Salatiga (lulus 1981)
- Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Salatiga (lulus 1984)
- Pesantren Hidayatul Mubtadiin Ngunut, Tulungagung (lulus 1986)
- Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga (lulus 1992)
Organisasi/Lembaga:
- Paguyuban Petani Berkah Alam (Albarokah) (1993-1998)
- Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (2000-2018)
- Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah | Pemrakarsa (2003-sekarang)
- Yayasan Pendidikan Qaryah Thayyibah Indonesia | Ketua Pembina (2016-sekarang)
- Badan Akreditasi Nasional (BAN) PAUD dan PNF | Anggota (2018-2022)
Penghargaan:
- Penemu Model Community Based Education oleh GP Ansor (2006)
- Piagam Pejuang Pendidikan oleh Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (2006)
- Ma\'arif Award oleh Ma\'arif Institute (2012)
- Insan Pendidikan Terpuji oleh LPMP Jawa Tengah (2012)
- Kickandy Heroes oleh Yayasan Kickandy (2013)
- Adhikarya Pangan Nusantara oleh Gubernur Jawa Tengah (2013)
- MNC Pahlawan untuk Indonesia oleh MNC Media (2016)
- 72 Ikon Prestasi Indonesia oleh Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (2017)
E-mail: bahruddin65@gmail.com