Di Bukit Duabelas, Jambi, ikatan terjalin antara manusia dan pohon. Setelah lahir, setiap bayi akan diolesi ubun-ubunnya dengan kulit pohon sengeris (”Koompassia malaccensis”).
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Ritual adat yang sarat makna itu semula ditutup rapat-rapat. Namun, kini, hal itu diceritakan kembali oleh Sepintak, anak rimba yang menghuni bagian selatan Bukit Duabelas tersebut. Ia ingin dunia mengetahui nilai dan kearifan hidup komunitas Orang Rimba.
Setelah dicungkil sedikit kulit luarnya seukuran ibu jari, lalu dibungkus dengan daun, kemudian dipanaskan di atas api. Sedikit saja serbuk dari kulit kayu dioleskan pada ubun-ubun bayi. Sembari menyematkan doa, orangtua memberikan nama untuk bayinya.
Pohon sengeris menjadi salah satu jenis tanaman yang paling dihormati dan dilindungi Orang Rimba. ”Setiap anak yang baru lahir akan mempunyai pohon songoriy (sengeris),” ujarnya.
Ritual kelahiran serta makna ikatan manusia dengan alam dikabarkan Sepintak, Sabtu (18/5/2019), kepada wadah jurnalisme warga yang dibangun anak-anak muda di Bukit Duabelas, ”Kabaron Rimba Beik”.
Di situ mereka bercerita kepada dunia akan kehidupan, budaya, serta kearifan yang diajarkan secara turun-temurun. Tak ketinggalan soal ancaman kerusakan hutan. ”Kalau hutan sudah hilang, ritual adat kami juga akan hilang,” katanya.
Akan sangat jarang didapati Orang Rimba menebang pohon, khususnya pohon sengeris. Sebab, hal itu sama artinya dengan menghilangkan nyawa seseorang.
Jika ada orang tertangkap tengah menebang pohon, dia sudah pasti dihukum. Pelaku dikenai denda terberat yang berlaku dalam adat, yaitu 500 lembar kain. ”Denda seberat ini setara dengan perbuatan membunuh orang,” kata Anggun, pendamping Orang Rimba dari Komunitas Konservasi Indonesia Warsi.
Kalau hutan sudah hilang, ritual adat kami juga akan hilang.
Selain Sepintak, ada pula Beteguh yang mengabarkan tentang kerusakan jalan kabupaten menuju permukiman mereka di Kecamatan Air Hitam. Meskipun jalan itu kerap dilintasi banyak pejabat pusat dan daerah, kondisinya hingga kini rusak sepanjang 40-an kilometer.
Baca juga: Kisah Lenyapnya Bunga-bunga Rimba
Pemuda lainnya menceritakan soal bantuan permukiman oleh pemerintah yang banyak ditinggalkan Orang Rimba. Alasannya, mereka belum dapat hidup menetap di luar Bukit Duabelas. Apalagi, bantuan rumah yang diberikan pemerintah itu tidak dilengkapi lahan garapan. Orang Rimba menjadi seolah-olah dikandangkan. Lain halnya apabila Orang Rimba tinggal dalam hutan, segalanya tersedia di alam.
Dengan kemampuan bahasa yang terbatas, remaja Rimba berupaya memperkenalkan kehidupan mereka kepada dunia. Selain Kabaron Rimba Beik, mereka juga mengembangkan radio komunitas Benor FM. Studio kecil dibangun di puncak Bukit Suban, tepi barat Taman Nasional Bukit Duabelas.
Rutin mengudara
Dengan perlengkapan sederhana, mereka rutin mengudara lewat gelombang 88,8 FM. Siaran tertangkap hingga jarak 30-an kilometer di lima kabupaten sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas, yaitu Sarolangun, Batanghari, Merangin, Tebo, dan Bungo. Walaupun di tengah hutan sekalipun, anak-anak rimba dapat saling berkirim pesan dan lagu.
Selain Sepintak dan Beteguh, ada pula anak-anak lain yang berusia di bawah 10 tahun, seperti Bepuncak, Bekaram, dan Pengarang Gading. Para penyiar muda itu pernah mendapatkan pendidikan baca, tulis, dan hitung yang dikembangkan guru-guru sukarelawan.
Meskipun begitu, setiap kali mengudara, mereka tetap bersiaran dengan bahasa asli. Tujuannya, agar komunikasi dengan pendengar radio lebih lancar, sekaligus pula siaran itu menunjukkan identitas diri sebagai Orang Rimba.
Setiap hari macam-macam berita disampaikan. Mulai dari naik turunnya harga rotan, getah karet, atau buah-buahan. Ada cerita soal tercemarnya sungai atau masuknya perambah liar.
Bahkan, diberitakan pula jika ada kabar kematian. Biasanya hal itu diikuti kelompok yang melangun, yaitu berpindah ke tempat hidup baru karena ada warganya yang meninggal.
Pada malam hari, siaran diselingi cerita-cerita budaya yang tersemat dalam ritual kelahiran dan perkawinan. Tak ketinggalan soal beragam hukum dan denda adat yang berlaku dalam rimba. Sesekali diperdengarkan musik khas Orang Rimba.
Harus tetap siaran karena selalu ditunggu-tunggu pendengar.
Khusus hari Minggu pagi, penyiar anak membawakan dongeng yang diceritakan orangtua mereka sebelum tidur. Isi cerita biasanya mengaitkan ikatan manusia rimba dengan seisi hutan, termasuk satwa dan pepohonan. Di situ banyak hal menarik serta pesan-pesan yang tersemat.
Jurnalisme warga di tengah rimba tumbuh sejak 2014. Dalam perkembangannya, pengabaran berita dari rimba kepada dunia mengalami naik turun. Menurut Sepintak dan Beteguh, ada kalanya mereka sibuk dengan urusan masing-masing.
Beteguh, misalnya, kini terlibat sebagai anggota pengamanan hutan bersama tim dari Balai Taman Nasional Bukit Duabelas. Sementara Sepintak kerap mendampingi para peneliti yang kerap masuk ke Bukit Duabelas.
Meski begitu, mereka sepakat radio Benor harus rutin mengudara. ”Harus tetap siaran karena selalu ditunggu-tunggu pendengar,” ujar pemuda yang kini mempunyai banyak penggemar karena suaranya sering terdengar di radio.