Harga di Daerah Sentra Penghasil Cenderung Stagnan
›
Harga di Daerah Sentra...
Iklan
Harga di Daerah Sentra Penghasil Cenderung Stagnan
Produksi kakao di daerah sentra penghasil nasional di Sulawesi Tenggara diprediksi cukup meningkat untuk panen tahun ini. Meski demikian, harga di tingkat petani stagnan cenderung turun dibanding tahun sebelumnya.
Oleh
Saiful Rijal Yunus
·4 menit baca
KOLAKA, KOMPAS - Produksi kakao di daerah sentra penghasil nasional di Sulawesi Tenggara diprediksi cukup meningkat untuk panen tahun ini. Meski demikian, harga di tingkat petani stagnan cenderung turun dibanding tahun sebelumnya. Petani pun berharap harga kakao di tingkat bawah bisa membaik tahun ini.
Sejumlah petani di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, misalnya, mulai memasuki masa panen kakao. Buah kakao tumbuh subur dan tidak terganggu hama serta cuaca. Kolaka merupakan salah satu daerah sentra penghasil kakao di Sultra.
Duhaena (56), petani kakao di Kelurahan Ulunggolaka, Kecamatan Latambaga, Kolaka, menuturkan, produksi kakao di lahannya tahun ini cukup baik dibanding tahun sebelumnya. Gangguan hama jauh berkurang dan cuaca yang stabil membuat buah tumbuh baik di lahan seluas satu hektar miliknya.
“Tahun lalu hasil panen sekitar 70 kilogram cokelat kering. Tahun ini semoga bisa 100 kilogram,” kata Duhaena, saat ditemui di lahan miliknya, Minggu (19/5/2019) siang.
Meski hasil panen cukup baik, Duhaena was-was dengan harga kakao yang cenderung stagnan beberapa bulan belakangan. Ia pun berharap harga kakao di tingkat petani jauh lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Karena itu, banyak yang dulunya garap kakao sekarang ganti tanam cengkeh.
Saat ini, kata Duhaena, harga kakao kering berkisar Rp 30.000 hingga Rp 35.000 per kilogram (kg). Sementara, harga kakao basah di kisaran Rp 20.000-Rp 27.000 per kg. “Semoga makin bagus harganya kalau panen raya nanti. Dulu pernah bagus (harga), tapi sekarang turun lagi,” kata ibu dua anak ini.
H Sakka (50), petani lainnya, juga berharap sama. Beberapa tahun terakhir, harga kakao di tingkat petani stagnan dan malah cenderung turun ketika panen raya. Harga kakao tahun lalu menyentuh Rp 40.000 per kg. Adapun tahun ini berada di kisaran Rp 30.000 per kg. Padahal, petani terus berusaha menjaga agar produksi bisa lebih baik dengan membeli pupuk, obat penangkal hama, dan beberapa obat perawatan tanaman lainnya.
Di lahannya yang seluas 3 hektar, kata Sakka, ongkos produksi terus bertambah dari tahun ke tahun. Meski ada subsidi harga pupuk, tapi penyemprotan rutin juga terus dilakukan. “Untuk pembasmi rumput saja kita rutin lakukan tiga kali sebulan. Sementara, harga kakao tidak berubah. Karena itu, banyak yang dulunya garap kakao sekarang ganti tanam cengkeh,” ujarnya.
Kakao merupakan salah satu komoditas andalan Sultra. Selain Kolaka, beberapa sentra penghasil kakao lainnya adalah Kabupaten Kolaka Timur, Kolaka Utara, dan Kabupaten Konawe Selatan.
Luas lahan perkebunan kakao di Sulawesi Tenggara mencapai 255.380 hektar. Kakao merupakan tanaman perkebunan dengan lahan paling luas dibanding tanaman perkebunan lainnya. Sementara itu, produksi kakao pada tahun 2017 mencapai 125.054 ton. Jumlah ini turun dari tahun sebelumnya yang mencapai kisaran 134.000 ton.
Sekarang baru mulai panen, dan banyak teman-teman yang jual meski belum kering.
Dihubungi terpisah, Sekretaris Asosiasi Petani Kakao Indonesia Sultra Sigit Nurcahyono mengatakan, saat ini awal masa panen kakao mulai berlangsung. Panen raya diprediksi sekitar tiga bulan lagi atau pada Agustus. Sejauh ini, panen awal kakao menunjukkan hasil yang lumayan baik dengan produksi yang lumayan tinggi.
“Sekarang baru mulai panen, dan banyak teman-teman yang jual meski belum kering. Ada yang dihargai Rp 15.000 per kg karena masih basah. Mereka butuh uang, jadi langsung dijual. Kalau kering, harganya Rp 25.000 ke atas,” ucap Sigit.
Produksi kakao di tingkat provinsi, ujar Sigit, beberapa tahun terakhir menunjukkan penurunan produksi. Tahun ini produksi diharapkan jauh lebih baik dari sebelumnya. “Kita fokus di pembinaan 110 Lembaga Ekonomi Masyarakat (LEM). Jumlah anggota juga bertambah. Semoga produksi semakin baik karena permintaan cukup banyak dan semoga harga juga semakin bagus,” ujarnya.
Sementara itu, Mohammad Tafsir, pendamping petani kakao dari LSM Buana Lestari, menjelaskan, panen raya memang akan lebih mundur dari biasanya karena waktu penanaman yang juga lebih mundur. Meski begitu, hal ini tidak mempengaruhi kualitas dan produksi di tingkat petani.
Sejauh ini, kata Tafsir, belum banyak laporan warga terkait buah kakao yang terserang hama atau serangga. Biasanya, menjelang masa panen, banyak laporan serangan hama Penggerek Buah Kakao (PBK) atau hama VSD.
“Tahun ini semoga produksi jauh lebih bagus dengan harga yang lebih bagus. Menurut informasi, permintaan di pasar cukup banyak karena produksi kakao di Afrika sedang tidak bagus,” tutur Tafsir.
Pendampingan
Kakao di Sultra banyak mendapat perhatian selama beberapa tahun terakhir. Peremajaan pohon, subsidi pupuk, pembentukan kelompok, pendampingan petani, banyak dilakukan pemerintah maupun swasta. Meski begitu, harga kakao yang cenderung stagnan menjadi salah satu penyebab berkurangnya petani kakao saat ini.
Tafsir menjelaskan, faktor harga yang tidak menentu membuat banyak petani yang tidak mampu bertahan. Selain itu, kurangnya regenerasi petani adalah faktor lain yang membuat jumlah petani kakao turun.
“Sekitar 30 persen petani kakao meninggalkan pekerjaannya. Banyak yang menjadi pedagang atau wiraswasta. Kalau dulu, animo menjadi petani tinggi, sekarang sudah tidak konsen (fokus) lagi,” kata Tafsir.
Oleh sebab itu, lanjut Tafsir, diperlukan pendampingan yang berkelanjutan kepada petani kakao agar tetap bertahan dan terus mengembangkan produksi. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah adanya jaminan harga dari pemerintah agar harga kakao di tingkat paling bawah semakin membaik.