DUBAI, SELASA — Houthi kembali menyerang Arab Saudi dengan pesawat tanpa awak. Kali ini sasarannya adalah bandara Najran yang diduga menjadi salah satu pangkalan intelijen Amerika Serikat di Arab Saudi.
Dalam pernyataan pada Selasa (21/5/2019), Houthi dan Riyadh sama-sama membenarkan ada serangan di Najran. Juru bicara pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi, Kolonel Turki al-Maliki, menyebutkan, Houthi mencoba menyasar fasilitas sipil. Ia tidak menyebutkan sasaran yang dimaksud. Tidak dijelaskan pula soal korban akibat peledakan bom itu.
Ia hanya menyebut akan ada pembalasan kuat atas serangan itu. Tidak lupa, ia menyatakan bahwa Houthi adalah milisi teroris sokongan Iran.
Pekan lalu Houthi juga melancarkan tujuh pengeboman dengan pesawat tanpa awak ke Arab Saudi. Sebagai balasannya, koalisi Arab Saudi melancarkan 11 serangan udara ke Sana’a, ibu kota Yaman yang kini dikontrol Houthi, dan sekitarnya.
Dalam pernyataan terpisah, Houthi menyebut serangan ke Najran menyasar fasilitas militer di sana. Houthi menggunakan Qasef2K untuk menyerang bandara dekat perbatasan Arab Saudi-Yaman itu.
Tahun lalu bandara itu dilaporkan menjadi pangkalan para analis intelijen AS di Arab Saudi. Para analis itu memasok informasi ke koalisi pimpinan Arab Saudi dan pasukan AS di dekat perbatasan Arab Saudi-Yaman. Kementerian Pertahanan dan Komando Tengah AS, membawahkan operasi militer AS di Timur Tengah, belum berkomentar soal serangan itu.
AS selama bertahun-tahun memasok informasi intelijen dan aneka persenjataan ke koalisi Arab Saudi. Pasokan itu kerap dikritik sejumlah pihak, terutama karena berkali-kali serangan koalisi menimbulkan korban jiwa pada anak-anak dan warga sipil.
Iran
Serangan Houthi dilancarkan beberapa jam setelah Presiden AS Donald Trump memperingatkan Iran. Trump menyatakan, AS akan membalas dengan sangat keras jika Iran mengganggu kepentingan AS di kawasan. ”Jika mau berkelahi, maka akan menjadi akhir bagi Iran,” tulis Trump di media sosial.
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zari membalasnya dengan menyebut pernyataan itu sebagai ajakan genosida. Ia menyebut Iran sudah ribuan tahun melawan para penjajah dan selalu menang. Pada masa lalu, Iran pernah diserbu pasukan Alexander Agung dan Genghis Khan. Para penakluk itu terusir dari tanah Persia.
Serangan itu juga terjadi di tengah upaya Iran meningkatkan produksi uranium dan air berat. Dalam kesepakatan nuklir tahun 2015 dengan enam negara, Iran setuju menghentikan program persenjataan nuklirnya. Sebagai imbalan, sanksi ekonomi bagi Iran dicabut.
Belakangan, AS mundur sepihak dari kesepakatan yang dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Setelah AS mundur, lima negara—selain Iran—masih terikat dengan kesepakatan itu, yakni China, Rusia, Jerman, Inggris, dan Perancis.
Setelah keluar, AS meningkatkan sanksi terhadap Iran. AS mengancam akan menjatuhkan sanksi kepada siapa pun yang bekerja sama dengan Iran. Ancaman itu menakutkan banyak pihak yang kemudian menunda kerja sama dengan Iran. Akibatnya, imbalan yang ditunggu Iran dari JCPOA tidak kunjung terwujud. ”Jika komunitas internasional dan anggota JCPOA mau menjaga kesepakatan ini, mereka perlu meyakinkan bahwa warga Iran mendapatkan manfaat dari JCPOA,” kata Zarif.
Beberapa pekan terakhir, Iran juga mengancam akan keluar dari JCPOA dan mengaktifkan lagi program persenjataan nuklirnya. Bahkan, Presiden Iran Hassan Rouhani memberi tenggat 60 hari kepada para pihak di JCPOA untuk menunjukkan aksi nyata sesuai dengan kesepakatan itu. Jika tidak, Iran akan memulai lagi proses pengayaan uranium agar bisa memproduksi persenjataan nuklir. ”Proses peningkatan kapasitas dan produksi pengayaan uranium dan air berat dimulai sejak presiden memerintahkannya,” kata juru bicara Badan Tenaga Nuklir Iran, Behrouz Kamalvandi.
Iran dinyatakan tidak akan lagi membatasi cadangan air berat dan uranium. Dalam JCPOA, Iran hanya boleh punya maksimal 130 ton air berat dan 202 kilogram uranium yang belum diperkaya. Kelebihan cadangan harus diekspor ke tempat yang disetujui dan diawasi perwakilan internasional. (AP/REUTERS)