JAKARTA, KOMPAS – Pemerintahan lima tahun ke depan menghadapi tantangan yang tidak mudah di tengah pusaran kepentingan koalisi partai pendukung dan pembelahan sosial di masyarakat. Alih-alih bergantung pada mesin partai, efektivitas pemerintahan dapat lebih tercapai jika koordinasi presiden dengan kepala daerah ditingkatkan.
Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Phillip Vermonte dalam diskusi “Titik Temu: Panggung Politik Indonesia Pasca Pemilu 2019” yang diadakan Litbang Kompas di Jakarta, Senin (20/5/2019) mengatakan, jika terpilih kembali, Joko Widodo hanya punya waktu efektif dua tahun untuk melakukan reformasi dan menerapkan program-programnya.
Jika terpilih kembali, Joko Widodo hanya punya waktu efektif dua tahun untuk melakukan reformasi dan menerapkan program-programnya.
Itu karena pada tahun ketiga, partai-partai diprediksi akan sibuk mempersiapkan diri mengikuti Pemilihan Umum 2024. Di tengah koalisi yang cair itu, Jokowi tidak perlu bergantung penuh pada partai politik pendukungnya, melainkan membangun aliansi strategis dengan kepala daerah.
Hubungan yang efektif antara pemerintah pusat dengan daerah diharapkan akan lebih mudah tercapai, mengingat sejumlah tokoh kepala daerah muda disinyalir siap mencalonkan diri di pemilihan presiden 2024.
“Jokowi tidak perlu lagi bergantung pada partai-partai, yang perlu ia bangun adalah aliansi strategis dengan kepala daerah. Mereka pasti membutuhkan insentif besar membangun wilayahnya untuk persiapan maju di pemilu 2024,” kata Phillip.
Tantangan
Peneliti Litbang Kompas Bambang Setiawan menilai, pemerintahan ke depan menghadapi tantangan yang tidak mudah. Meski memiliki koalisi politik mayoritas, Jokowi harus menghadapi kepentingan partai yang akan memengaruhi konsolidasi politik serta efektivitas pemerintahan.
Dengan koalisi yang gemuk, Jokowi dinilai takut untuk mengendalikan partai-partai di luar PDI-P. “Koalisi seperti ini sewaktu-waktu bisa rapuh. Ini masalah dalam sistem presidensial yang sistem kepartaiannya multipartai,” ujar Bambang.
Selain tantangan politik, Jokowi juga harus menghadapi tantangan sosial. Situasi politik belakangan ini semakin mempertegas segregasi ideologis dan etnisitas di masyarakat. Masyarakat semakin kritis dan vokal dengan preferensi politik yang sudah terbentuk pasca dua kali pemilu yang mempertajam polarisasi.
“Kondisi-kondisi ini menunjukkan tantangan yang tidak mudah serta potensi rapuhnya pemerintahan Jokowi,” kata Bambang.