Kebuntuan negosiasi antara AS-China agar perang dagang berhenti dapat menghambat langkahnya untuk menang.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
WASHINGTON, SELASA - Presiden Amerika Serikat Donald Trump diperkirakan akan mulai berkampanye untuk Pemilihan Presiden 2020 secara resmi pada Juni 2019. Isu perang dagang antara AS dan China yang belum juga usai dapat menjadi tantangan bagi Trump untuk menjaga dukungan suara.
Trump diperkirakan akan berkampanye mulai 15 Juni 2019. Pemilihan hari itu mendekati peringatan empat tahun ia mencalonkan diri sebagai presiden untuk Pilpres 2016 pada 16 Juni 2015.
Sebuah sumber yang menolak menyebutkan nama pada Senin (20/5/2019), menyampaikan, Trump akan mulai berkampanye di negara bagian Florida, tempat ia menang pada Pilpres 2016. “Setelah itu, ia akan melanjutkan kampanye di sejumlah negara bagian dimana suara untuk Demokrat dan Republik relatif imbang (battleground states),” tuturnya.
Tim kampanye Trump masih menolak berkomentar lebih jauh terkait rencana kampanye Trump. Namun, ia telah menggalang dana kampanye dan mengadakan pertemuan umum dengan pendukungnya selama berbulan-bulan.
Kemarin, Trump kembali bertemu dengan para pendukungnya di Pennsylvania, salah satu negara bagian yang dianggap sebagai battleground states. Ia hadir untuk mendukung calon anggota kongres dari Partai Republik dalam pemilu khusus untuk Dewan Perwakilan Rakyat.
Trump melihat negara bagian Pennsylvania, beserta Michigan, dan Wisconsin, sebagai kunci untuk memenangkan Gedung Putih. Pada Pilpres 2016, ia memperoleh margin kemenangan dari ketiga negara bagian ini.
Salah satu sumber yang dekat dengan tim kampanye menyatakan, posisi Trump di Pennsylvania, Michigan, dan Wisconsin kini berada dalam kondisi yang sulit. “Mereka sadar bahwa Republik memiliki basis yang solid, tetapi banyak pemilih independen yang membuat margin suara di ketiga negara bagian tersebut tidak bagus,” tuturnya.
Kepada para pendukung, Trump kerap memamerkan pertumbuhan ekonomi AS dan penurunan jumlah pengangguran yang signifikan sebagai pencapaian masa pemerintahannya. Hanya saja, kebuntuan negosiasi antara AS-China agar perang dagang berhenti dapat menghambat langkahnya untuk menang.
Dalam pertemuan di Pennsylvania, Trump kembali berupaya mengamankan suara dukungannya. Ia mengklaim, perang dagang justru berdampak positif pada perekonomian AS karena memperkuat industri dan menambah lapangan pekerjaan di wilayah battleground states. Investasi pada industri baja di Pennsylvania, misalnya, meningkat setelah tarif impor naik.
“Ketika anda memiliki tingkat ketersediaan lapangan pekerjaan dan pengangguran terbaik dalam sejarah serta tingkat perekonomian yang belum pernah kita capai, bagaimana bisa anda kalah dalam Pilpres 2020?” kata Trump.
Klaim Trump berlawanan dengan berbagai analisis ekonom bahwa perang dagang memunculkan potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi global. Selain itu, para ekonom juga berpendapat bahwa perang dagang dapat membuat biaya operasional perusahaan dan harga barang semakin mahal di AS.
Serang Demokrat
Meskipun belum memulai kampanye secara resmi, Trump mulai melancarkan serangan kepada para kandidat calon presiden dari Demokrat yang adalah partai oposisi. Trump kerap mempertanyakan dan menyindir kemampuan mereka untuk menjadi pemimpin.
“Joe yang loyo (Sleepy Joe) mengatakan ia mencalonkan diri untuk menyelamatkan dunia. Ia akan menyelamatkan seluruh negara kecuali AS,” kata Trump, yang menyasar pada Joe Biden, kandidat pertama calon presiden dari Demokrat dan Wakil Presiden AS ke-47.
Melalui cuitan di Twitter, kemarin, Trump mengejek calon presiden lainnya dari Demokrat, Bernie Sanders. Ia menyebut Sanders sebagai “sejarah” karena jajak pendapat menunjukkan popularitasnya masih kalah unggul dibandingkan Biden.
Baik Biden dan Sanders juga tidak kalah vokal untuk mengkritik berbagai kebijakan Trump. Selama beberapa bulan terakhir, Biden terus menyuarakan agar AS kembali bersatu, sedangkan Sanders menolak sikap Trump yang dapat memicu perang dengan Iran.
Demokrat melihat ada peluang untuk memenangkan Pilpres AS pada 2020. Pada umumnya, presiden yang mampu memacu perekonomian akan menjadi kandidat kuat untuk terpilih kembali. Namun, formula yang berbeda sepertinya akan berlaku bagi Trump karena ia dinilai telah mempolarisasi negara. (Reuters)