Menghadapi Masyarakat Pasca-kebenaran
People don’t want to hear the truth because they don’t want their illusions destroyed.
Friedrich Nietzsche
Seorang wartawan muda bertanya kepada penulis, ”Apa yang terjadi setelah era masyarakat pasca-kebenaran?”
Dilanjutkannya, ”Apa yang bisa kita lakukan menghadapi masyarakat yang lebih memilih percaya pada keyakinannya ketimbang menerima dan memeriksa fakta yang disodorkan kepadanya?” Tanyaan itu tak mudah dijawab; seadanya penulis jawab saat itu. Kali ini penulis mencoba menuliskan lebih rinci dan sistematis.
Mari kita layangkan ingatan ke Eropa abad pertengahan, ketika kekuasaan gereja demikian besar dan membuatnya terlibat dalam politik. Dogma agama dijadikan dogma politik. Paus turut dalam berbagai kegiatan politik, termasuk mengerahkan pasukan ke pelbagai perang kala itu. Referensi atas situasi ini tersua pada literatur sejarah filsafat, sejarah Eropa, dan kemunculan Era Pencerahan di Eropa.
Abad pertengahan kerap disebut sebagai masa kegelapan sebab masyarakat masa itu mudah sekali menerima informasi tak benar dan seturut dengan kepercayaannya.
Masyarakat menghukum orang-orang yang dianggap bertindak tak sesuai dengan kepercayaan arus utama. Sejumlah orang yang dituduh tukang sihir dikejar-kejar kemudian di(pers)eksekusi. Sejumlah perempuan yang mau memperjuangkan otonominya tak luput dari hukuman sadis: dibakar hidup-hidup. Otoritas agama yang kuat saat itu membuat pihak lain yang hendak melawannya seolah-olah menghadapi batu karang.
Masa abad pertengahan yang berlangsung 1.000 tahun berakhir ketika muncul pemikir Masa Renaisans macam Francis Bacon (1561-1626), Rene Descartes (1596-1650) yang mengumandangkan cogito ergo sum ’aku berpikir, maka aku ada’, Baruch de Spinoza (1632- 1677), Leibniz (1646-1716), Blaise Pascal (1623-1662), dan para penerus mereka. Pada titik itulah kekuasaan agama dipisahkan dari kekuasaan politik dan rasionalisme mengajak banyak orang selalu
memeriksa klaim kebenaran yang disampaikan otoritas tertentu.
Jika ditarik ke dalam kondisi hari ini, kita berharap bahwa rasionalisme akan membawa kita pada suatu kondisi keluar dari masyarakat pasca-kebenaran. Di sini ada komplikasi: masyarakat pasca-kebenaran yang kita hadapi bukanlah mereka yang tak berpendidikan atau yang berpendidikan rendah.
Sebagian yang masuk dalam kondisi pasca-kebenaran ini berpendidikan tinggi, tak jarang bergelar tinggi dalam dunia akademis. Bagaimana menghadapi kondisi ini?
Media dan verifikasi
Bicara ihwal masyarakat pasca-kebenaran terkait dengan politik: keyakinan politik, pertarungan politik, juga kalkulasi politik. Rasionalisme masa sekarang mungkin berjalan evolutif berhadapan dengan mereka yang percaya pada kondisi pasca-kebenaran itu. Di sini kita akan berpegang pada media yang terus setia mengemukakan fakta dan menguji fakta yang dikemukakan pihak lain.
Sejumlah media telah berinisiatif memeriksa fakta: pernyataan politisi atau pihak lain diperiksa dahulu kebenarannya ataupun klaim-klaimnya. Misinformasi ini tak melulu terjadi dalam dunia politik, juga merambah ke sektor lain, antara lain kesehatan. Masyarakat sering bingung menerima informasi semacam ini; bisa diterima atau tidak? Kegiatan periksa fakta harus terus dilakukan oleh media yang ada.
Kita di Indonesia yang baru saja menyelesaikan pemilu merasa lelah ketika setiap hari dibombardir hoaks atau disinformasi (penyampaian fakta secara salah yang dilakukan secara sengaja, definisi UNESCO, 2019). Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika, pada April 2019 ada 486 hoaks yang teridentifikasi; 209 di antaranya hoaks dari kategori politik.
Dengan bombardir hoaks itu, ditambah dengan kondisi masyarakat pasca-kebenaran, peran media makin penting. Baik media arus utama maupun media daring wajib memverifikasi berbagai misinformasi ataupun disinformasi. Sumber sebagian besar misinformasi dan disinformasi ini media sosial. Terkadang ada situasi di mana media daring maupun media arus utama mengambil yang muncul di media sosial tanpa verifikasi.
Pengamat media dan budaya populer, Ariel Heryanto, dalam salah satu kiriman di media sosial mengibaratkan hoaks di sekitar kita sebagai debu-debu beterbangan. Kita mungkin tak dapat membuat sekitar kita bebas debu selamanya. Lalu, apa yang bisa kita lakukan agar tak terkena penyakit oleh debu tersebut?
Ariel mengajukan tawaran agar kita memperkuat diri menghadapi debu dengan pakai masker penutup hidung atau mengenakan baju atau celana panjang supaya debu tak menyentuh permukaan kulit kita.
Vaksin hoaks
Jika analogi ini diterjemahkan dalam kondisi yang sedang kita bahas, yang kita perlukan: memperkuat diri saat berhadapan dengan hoaks dengan memiliki kemampuan literasi digital (untuk anak kecil, remaja, hingga orang dewasa) agar kita bisa mengonsumsi isi media apa pun lebih bijak. Pemikiran kritis skeptis memiliki nilai lebih di sini karena dengan praktik itu, kita bisa menghindari atau mengurangi penyebaran informasi yang belum terverifikasi.
Kita sebagai masyarakat perlu memastikan bahwa pemerintah lewat instansi terkait telah menyiapkan vaksin lengkap pembuat kekebalan tubuh kita kuat menghadapi debu-debu itu. Jika pun kekebalan tubuh kita kurang, instansi pemerintah harus menyiapkan tempat orang bisa dirawat jika menghirup debu berlebihan dan mengganggu pernapasannya.
Dengan kata lain, mencegah berarti memperkuat literasi media (digital) masyarakat kita. Pada hemat penulis, urgen materi semacam ini masuk dalam kurikulum nasional: tak melulu soal teknis penggunaan media, tetapi bagaimana peserta diajak memiliki kerangka pikir kritis saat hendak mengonsumsi media yang ada di sekitar kita.
Jika upaya penangkalan sudah disiapkan, bagaimana menanggulangi ”korban-korban” hoaks yang sudah berjatuhan? Ini bisa dilakukan dengan pendekatan pendidikan hingga pengambilan jalur hukum.
Yang perlu mempertanggungjawabkan peredaran hoaks bukan semata orang per orang, melainkan juga jalur-jalur atau sarana yang memungkinkan penyebaran hoaks terjadi—media arus utama, media daring, atau media sosial.
Apakah ini tidak menjadi represi ala Orde Baru dalam mengontrol informasi? Tidak! Yang terjadi saat ini, udara yang demikian tercemar oleh hoaks, perlu upaya khusus pembuat udara di sekeliling kita kuyup informasi yang tak berasal dari hoaks. Tindakan hukum kepada mereka yang nyata-nyata melakukan misinformasi perlu diteruskan.
Adagium informasi adalah oksigen demokrasi (istilah kelompok Artikel 19 di London) sudah kita kenal, tetapi yang terjadi hari ini adalah demokrasi yang pengap dengan udara yang tak bersih, bahkan beracun. Karena itu, kewajiban banyak pihak untuk membuat udara kembali bersih sehingga demokrasi pun bisa kembali berjalan dengan oksigen yang lebih segar.
Ignatius Haryanto Pengajar Jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara