Empat Tewas Ditembak
Data Dinas Kesehatan DKI, total ada 905 korban kerusuhan 22 Mei, termasuk delapan korban tewas. Dari delapan korban tewas, empat di antaranya karena luka tembak.
Data Dinas Kesehatan DKI, total ada 905 korban kerusuhan 22 Mei, termasuk delapan korban tewas. Dari delapan korban tewas, empat di antaranya karena luka tembak.
JAKARTA, KOMPAS — Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti, Jumat (24/5/2019), dalam keterangan tertulis menjelaskan, pada 21-24 Mei 2019, Dinas Kesehatan memberikan layanan kesehatan kepada 905 orang, 8 orang di antaranya meninggal. Untuk korban meninggal, Dinkes merujuk hasil otopsi RS Polri terkait penyebabnya.
Untuk delapan orang yang meninggal, kata Widyastuti, semuanya adalah laki-laki dengan usia 16-31 tahun. Empat orang dari Jakarta, dua orang dari Tangerang, satu orang dari Depok, dan satu orang dari Pandeglang.
Untuk empat korban meninggal yang dirujuk ke RS Polri dan dilakukan otopsi, sesuai dengan pernyataan Kepala RS Polri, keempatnya meninggal karena luka tembak. Untuk empat jenazah lain, keluarga menolak dilakukan otopsi dan keempatnya sudah dibawa pulang oleh keluarga.
Pihak kepolisian dikabarkan akan membentuk tim khusus untuk menyelidiki kasus delapan korban meninggal ini.
Baca juga: Keluarga Menanti Kepastian
Adapun dari ratusan orang yang dirawat, data berasal dari posko lapangan (ambulans) sebanyak 159 orang, rumah sakit (20 RS) sebanyak 732 orang, dan puskesmas (2 puskesmas) sebanyak 14 orang.
Korban paling banyak berusia 20-29 tahun, yaitu sebanyak 360 orang atau 40 persen dari total jumlah korban. Kondisi korban saat dirawat ada yang mengalami luka ringan (lecet, luka sobek, memar, iritasi mata) sebanyak 578 orang, luka berat (patah tulang, cedera kepala, luka akibat benda tajam dan benda tumpul) sebanyak 95 orang, serta dirawat karena penyakit lain (tekanan darah tinggi, ISPA, pingsan) sebanyak 224 orang.
Sampai saat ini, yang masih dalam perawatan di rumah sakit sebanyak 58 orang.
Fasilitas rusak
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebutkan, demonstrasi hasil pemilu yang terjadi pada Selasa hingga Rabu kemarin mengakibatkan kerusakan taman dan pagar di sejumlah kawasan Ibu Kota.
Anies saat ditemui seusai buka bersama DPRD DKI, Jumat (24/5/2019), mengatakan, kerusakan terjadi di sekitar kawasan Jalan MH Thamrin, Tanah Abang, dan Petamburan. Nilai perbaikan fasilitas umum tersebut sebesar Rp 465 juta.
Anies menyampaikan, Pemerintah Provinsi DKI tak perlu menganggarkan kembali dana perbaikan kerusakan. Sebab, Dinas Kehutanan DKI memiliki anggaran perbaikan taman.
”Bukan sesuatu yang harus pengadaan. Anggaran ada, sudah dialokasikan dan harus dipakai. Kebetulan, (kemarin) baru (ada) kejadian, jadi dipasang lebih awal,” kata Anies. Lagi pula, lanjutnya, fasilitas yang perlu diperbaiki hanya sebagian, tidak sepenuhnya.
Bukan sesuatu yang harus pengadaan. Anggaran ada, sudah dialokasikan dan harus dipakai. Kebetulan, (kemarin) baru (ada) kejadian, jadi dipasang lebih awal.
Di luar taman dan pagar milik DKI, lima pos polisi di Jakarta juga rusak saat kerusuhan. Kepala Subdirektorat Penegakan Hukum Ditlantas Polda Metro Jaya Komisaris M Nasir mengatakan, kelima pos polisi yang rusak itu berlokasi di Slipi Jaya, Cut Mutia, simpang Sarinah-Bawaslu, Tugu Tani, dan Jalan Sabang.
Nasir menyebutkan, pos polisi yang rusak pasti diperbaiki. Namun, ia tidak menyebutkan siapa yang akan melakukan perbaikan, apakah Pemprov DKI atau Polda Metro Jaya.
”Perbaikan akan dilakukan. Sementara masih fokus pada langkah-langkah pengamanan elemen masyarakat terkait dengan pengamanan pilpres,” kata M Nasir.
Selain itu, ada sejumlah tempat usaha, seperti warung, pusat belanja, dan restoran, juga beberapa mobil dan sepeda motor milik warga, yang rusak. Hingga kini belum ada kepastian ke mana warga yang barangnya rusak itu harus meminta ganti rugi.
Selain itu, ada sejumlah tempat usaha, seperti warung, pusat belanja, dan restoran, juga beberapa mobil dan sepeda motor milik warga, yang rusak. Hingga kini belum ada kepastian ke mana warga yang barangnya rusak itu harus meminta ganti rugi.
Audit
Pemprov DKI Jakarta didorong menginventarisasi semua kerusakan secara detail, mengaudit kerugian dan mengusut siapa yang paling bertanggung jawab untuk dimintai pertanggungjawaban.
Trubus Rahadianysah, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, mengatakan, kejadian pada 22 Mei lalu berskala nasional. Apalagi, sebagian orang-orang yang datang dari luar Jakarta.
Atas kerusakan yang terjadi, Pemprov DKI bisa bekerja sama dengan pemerintah pusat. ”Jadi, bukan Pemprov DKI yang bertanggung jawab,” ujarnya.
Atas kerusakan yang terjadi, Pemprov DKI bisa bekerja sama dengan pemerintah pusat.
Namun, lanjut Rahadiansyah, ia menyoroti sumber pembiayaan kesehatan para pengunjuk rasa yang terluka yang ditanggung Pemprov DKI Jakarta. ”Pemprov DKI menanggung dan membiayai korban luka-luka, yang diambilkan dari APBD. Ini malah keliru,” katanya.
Apabila anggaran diambilkan dari APBD, ujarnya, berarti Gubernur harus bicara, harus konsultasi dulu dengan DPRD. Tidak bisa serta-merta mencairkan anggaran karena anggarannya tidak ada.
Kalaupun diambilkan dari pos bencana, itu juga tidak bisa karena kerusuhan 22 Mei tergolong konflik.
Ketua Fraksi PDI-P DPRD DKI Gembong Warsono mengatakan, ia mempertanyakan anggaran bagi korban itu. Komisi-komisi, lanjutnya, tidak diajak bicara tentang penggunaan anggaran itu.
Ia juga mempertanyakan pos anggaran apa yang dialihkan oleh Dinas Kesehatan untuk membiayai para korban.
Rahadiansyah menambahkan, apabila satuan kerja perangkat daerah mencairkan dana tanpa ada pembahasan dengan DPRD, hal itu berpotensi penyimpangan atau korupsi. Itu bisa dinilai sebagai malaadministrasi.
Selain kesehatan, terkait aset rusak, Transjakarta juga mengalami kerusakan aset berupa kaca-kaca halte yang pecah kena lemparan batu para perusuh. Transjakarta juga sedang menginventarisasi kerusakan.
Pelajaran yang bisa diambil, ke depan pemerintah pusat dan daerah bisa merancang pos anggaran darurat bukan hanya untuk bencana, melainkan juga untuk darurat karena konflik.
Kebijakan lemah
Rahadiansyah melanjutkan, kerusakan pada aset DKI yang timbul sebetulnya bisa dicegah apabila Gubernur melakukan tindakan preventif.
Baca juga: Anies: Jangan Terprovokasi
Baca juga: Bekuk Dalang Aksi Massa 21-22 Mei
Pada masa prakonflik, katanya, Gubernur dinilai tidak maksimal dalam mengambil langkah preventif. Sebagai kepala daerah, ia pasti sudah tahu akan terjadi hal-hal demikian. Seharusnya ia bisa langsung, misalnya, mengumpulkan lurah/camat/wali kota untuk melakukan langkah-langkah preventif. Atau kalau tidak, paling darurat ia bisa memanggil RT/RW. Apalagi, RT/RW mendapat dana tunjangan dari APBD.
Pengurus RT dan RW dinilai paling mengenal warga kampungnya. Setidaknya bisa dilakukan pendekatan dan menanamkan pemahaman bahwa unjuk rasa adalah hak dan memang diberi tempat dalam sistem demokrasi. Namun, tindakan anarkistis jelas melanggar hukum. Untuk itu, diharapkan warga memiliki bekal pengetahuan hak dan kewajiban sesuai koridor hukum berlaku.
Yang ada, ujarnya, malah Gubernur sekarang unjuk kekuatan. Salah satunya mengumumkan jumlah korban tanpa koordinasi dengan polisi. ”Itu bukan tanggung jawab dia, itu polisi. Kebijakan publiknya lemah. Langkah yang diambil spontanitas saja. Bisa merugikan masyarakat,” katanya.
Itu bukan tanggung jawab dia, itu polisi. Kebijakan publiknya lemah. Langkah yang diambil spontanitas saja. Bisa merugikan masyarakat.